webnovel

Bab 13: Selfish

Tubuh Hana masih mematung, rasanya seluruh sendi dalam tubuhnya sudah tak berfungsi. Bahkan Hana tidak bisa menggerakkan mulutnya, untuk menentang semua tuduhan ibunya. Bahkan Hana tak bisa menahan, semua perlakuan ibunya.

"Kak Hana udah berhenti, Bu," ucap Dirga menjelaskan.

"Terus ini semua apa?! Hadiah dari om-om yang mana lagi?! Ibu malu, Hana! Malu sekali!" teriak sang ibu.

"Enggak, Bu. Hana nggak tahu," ucap Hana sambil terisak. "Hana udah nggak kerja di sana lagi, Bu. Hana berani sumpah."

Di hadapan Hana yang masih terisak, mendadak sang ibu tumbang. Untungnya, ada Dirga yang siap menopang tubuh kurus ibunya.

"Ibu!"

"Kamu bohong, Hana. Kamu membohongi Ibu," ucap sang ibu sebelum akhirnya pingsan tak sadarkan diri.

"Baringkan ibu di kasur, Dir," ucap Hana pelan.

Sambil menyeka air mata dari wajahnya, Hana bergegas mengikuti Dirga yang sudah berjalan lebih dahulu membawa ibu mereka ke dalam kamar. Hingga sebuah kartu ucapan, terjatuh dari salah satu buket bunga yang ada. Hanya satu logo, tanpa tulisan bahkan tanpa nama. Namun Hana sudah tahu betul, siapa pelaku yang mengirimkan semua hadiah tidak berguna itu ke rumahnya.

"Dirga, tolong jaga Ibu."

***

Dengan tubuh gemetar dan jemari yang mengepal, Hana pergi menuju sebuah tempat yang belum pernah ia datangi sebelumnya. Bahkan membayangkan dirinya datang ke tempat ini saja tidak pernah. Setelah memohon pada Dirga untuk menjaga ibunya, Hana bergegas meninggalkan rumah. Ia hanya ingin menyelesaikan semua yang belum selesai, ia hanya ingin menuntaskan semua yang belum rampung.

Hingga di sinilah Hana berdiri. Di depan sebuah bangunan yang berdiri angkuh dan kokoh. Kantor pusat Darma Group. Sebelumnya, Hana sempat melihat logo Darma Group pada salah satu kartu ucapan yang tersemat pada buket bunga di rumahnya, dan dalam sekejap Hana tahu siapa yang mengirim semua itu. Siapa yang menjadi alasan, semua kekacauan ini terjadi.

Hana masuk dengan tergesa-gesa, tanpa dirinya sadari kalau orang luar yang hendak masuk ke bangunan kantor besar itu butuh sebuah kartu akses. Baru mau masuk ke lobby saja, Hana sudah ditahan oleh security yang berjaga.

"Maaf, Mbak. Tolong tinggalkan tanda pengenal Mbak di sini untuk ditukar dengan kartu akses," ucap petugas itu dengan ramah.

"Baik, Pak." Hana mengangguk, kemudian meninggalkan kartu pengenalnya dan bergegas masuk.

Tapi sayangnya, Hana kembali kena masalah. Ia benar-benar tidak tahu, di mana letak ruangan Ganendra atau di mana dirinya bisa bertemu dengan orang itu. Dengan pikiran yang kalut, juga perasaan yang kacau, Hana menelusuri lorong demi lorong sambil menangis. Dadanya terasa sesak sekali. Hingga Hana menemukan meja resepsionis dan menanyakan di mana ruangan Ganendra.

"Maaf, Mbak, sudah buat janji sebelumnya?" tanya sang resepsionis dengan ramah.

"Janji apa? Saya mau ketemu Ganendra." Hana menangis lagi.

"Mbak, jangan menangis. Mbak datang saja lagi besok, lagi pula di jam segini Pak Ganendra mungkin sudah pulang."

"Beri tahu saya saja di mana ruangannya, lantai berapa?" ucap Hana pelan, seraya menahan isak.

"Mbak, lebih baik besok saja kembali lagi."

"Di mana Ganendra?! Saya mau ketemu sekarang! Kasih tau saya di mana Ganendra!"

Mendengar teriakan Hana, membuat semua mata kini tertuju pada gadis itu. Namun Hana sudah tidak peduli lagi, ia hanya ingin bertemu dengan Ganendra dan menyelesaikan semuanya. Hana sudah tidak tahan lagi. Hana benci diperlakukan seenaknya hanya karena dirinya tidak bisa apa-apa. Hana tidak bisa tahan di remehkan seperti ini.

"Mbak, kalau Mbak seperti ini, saya terpaksa panggil petugas keamanan," ucap wanita resepsionis itu lagi.

"GANENDRA! KELUAR KAMU!" Hana meledak.

Dengan cepat, resepsionis itu menghubungi pihak keamanan. Tapi seseorang yang baru saja keluar dari lift, sontak membeku menatap gadis itu berteriak seperti orang gila. Buru-buru ia menghampiri Hana dan menenangkan gadis itu.

"Hana? Kamu kenapa?" tanya Ares pelan. Ia mengangguk singkat pada wanita resepsionis, memberi kode untuk tidak menghubungi pihak keamanan.

"Mas Ares?" ucap Hana pelan. "Ganendra di mana, Mas Ares?"

"Saya antar kamu, jangan menangis, Hana."

Hana kemudian mengangguk, menyeka air matanya dan membiarkan Ares memapahnya hingga memasuki lift. Selama itu pula, Ares tidak berani menanyakan apa yang sebenarnya terjadi pada Hana. Tidak pernah sebelumnya ia melihat Hana berteriak dan menangis sampai seperti itu. Bahkan hingga di dalam lift, Hana masih saja menangis. Entah siapa yang menyakitinya sampai seperti itu, Ares benar-benar tidak habis pikir.

Setelah lima menit di dalam lift, akhirnya mereka tiba di ruangan besar yang tak lain adalah ruang kerja Ganendra. Pria itu masih sibuk dengan berkas-berkas pekerjaannya di kursi kebesarannya. Ia bahkan tidak menyadari saat Ares dan Hana memasuki ruangan.

"Ndra," panggil Ares pelan.

"Jangan ganggu saya, Res." Ganendra berucap pelan, dengan nada bicara yang dingin dan kaku seperti biasanya.

Hingga terdengar suara benturan yang cukup keras, dan mampu mengalihkan atensi Ganendra dari segunung berkas di hadapannya. Tatapannya kini tertuju pada Hana yang sudah berlutut di hadapannya, sambil memohon dan menangis.

"Hana?"

"Pak Ganendra, saya mohon," ucap Hana tertahan. "Saya mohon pecat saya, Pak."

Mendengar tangis pilu Hana, membuat seperti ada ribuan jarum yang menusuk di hati Ganendra. Tubuhnya bahkan masih membeku, tak bisa melihat Hana yang terlihat rapuh dan kacau di hadapannya.

"Kamu kenapa Hana?" tanya Ganendra pelan, seraya berjalan mendekat.

"Jangan mendekat!" ucap Hana. "Pecat saja saya, Pak."

"Saya nggak bisa memecat kamu, Hana."

"Jangan bilang kalau itu semua karena anda mencintai saya, jangan pernah!" Hana mengusap kasar sisa-sisa air mata di pipinya. "Ini semua udah bukan lagi cinta, tapi kegilaan! Anda tahu, apa yang baru saja anda lakukan?!" Hana memberi jeda pada ucapannya.

"Saya nggak mau menyalahkan anda, salah saya yang melakukan pekerjaan itu, tapi apa karena itu saya pantas dapat ini semua?!"

"Maksud kamu apa, Hana?" tanya Ganendra lagi, sama sekali tidak mengerti dengan apa yang dikatakan Hana.

"Ibu saya hampir mati!" Hana kembali terisak. "Ibu saya hampir ... mati."

"Padahal saya sudah berhenti, padahal saya sudah bekerja sekuat tenaga supaya bisa membayar hutang-hutang saya, tapi hanya karena bunga-bunga sialan itu! Hadiah nggak berguna yang anda kirim ke rumah saya, hidup saya jadi hancur. Saya kehilangan kepercayaan keluarga saya, saya diremehkan, saya dibilang pelacur sama ibu saya sendiri!" Hana semakin terisak, suaranya terdengar lirih dan tangisannya begitu pilu.

Ingin rasanya Ganendra menghampiri gadis itu dan merengkuhnya dalam pelukan, tapi tubuhnya seolah membeku. Seperti ada beban ribuan ton yang menimpa dadanya, rasanya sesak. Ganendra sama sekali tidak bisa berkutik melihat Hana yang meraung, menangis seperti orang kerasukan di hadapannya.

"Kenapa? Kenapa harus saya, Pak? Kenapa anda harus jatuh cinta sama saya, Pak?" lirih Hana.

"Saya nggak bisa memilih, kamu tahu," jawab Ganendra pelan.

"Pak, saya capek. Tolong berhenti dan biarkan saya hidup dengan tenang. Saya mohon," ucap Hana lagi, sebelum akhirnya tubuhnya semakin lemas dan segalanya berubah gelap.

***