webnovel

Pandangan Orang

***

Tok, tok, tok

"Masuk!" seru Sisi sambil menutup botol minumnya.

"Permisi, Mbak," ujar Aletta saat masuk ke ruangan. Gadis itu berjalan sampai berjarak tiga langkah saja dari meja Sisi.

Ketua tim translator itu mengeluarkan map berwarna cokelat dari tas, kemudian meletakkannya di meja sembari menatap Aletta.

"Sudah disetujui pak CEO, Le. Ini dokumennya. Kamu simpan baik-baik, ya," ujar Sisi menyodorkan map tersebut.

"Oh, sudah?" Aletta melangkah maju, kemudian mengambil map tersebut dan didekapnya dengan erat.

"Ya karena kekurangan orang juga, sih." Sisi tersenyum sejenak sebelum menatap Aletta lagi dengan ekspresi yang serius. "Yang benar, Le. Jangan lupa dengan janjimu, karena nama baikku juga dipertaruhkan di sini."

Aletta mengangguk paham. "Iya, Mbak. Aku ingat janjiku." Dia menunduk, memperhatikan map yang tertera nama lengkapnya di sana, kemudian tersenyum simpul.

"Oh iya, aku lupa sudah memberitahukan hal ini padamu atau belum," ujar Sisi menumpu dagunya dengan tangan. "Proyek percobaan kerja sama dengan MH fashion itu proyek dalam jangka waktu yang cukup panjang. Bukan satu atau dua bulan saja. CEO mereka dan perusahaan kita membuat kontrak percobaan selama enam bulan."

"Oh? Begitu?" ucap Aletta yang sedikit terkejut. Karena Varrel pernah memberitahunya, kalau jarang ada pimpinan perusahaan yang memutuskan untuk melakukan kerja sama di masa percobaan selama enam bulan. Rata-rata mereka mengambil satu sampai dua bulan dan paling lama itu tiga bulan, kemudian setelah kontrak selesai, pimpinan perusahaan bisa mengambil keputusan ulang untuk melanjutkan atau membatalkan kontrak.

"Iya. Pak Nanggala memang cukup perfeksionis, tetapi beliau juga cukup sering melakukan hal yang tak pernah dilakukan CEO perusahaan lain. Mungkin karena sistem pimpinannya yang sedikit unik itulah yang membuat perusahaannya naik daun," ujar Sisi sambil mengangguk-angguk kecil.

"Seperti ini," ujar Sisi sembari menunjukkan kemeja berwarna beige yang dipakainya. "Yang ku gunakan ini merk MH fashion. Aku mengoleksi barang-barang mereka karena kualitasnya bagus dan tidak terlalu mahal."

Aletta mengangguk. Bahkan sebelum Aletta bertemu dengan tim yang mengerjakan proyek MH fashion, Sisi telah memberikan seputar informasi lebih dahulu yang tak diketahuinya karena telah lama meninggalkan Indonesia.

"Makanya, bekerja sama dengan MH fashion adalah suatu kebanggaan tersendiri untuk perusahaan kita. Kalau perusahaan percetakan yang lama tak membuat pak Nanggala kecewa, sulit untuk dibayangkan, MH fashion bisa bekerja sama dengan kita," jelasnya lagi. "Kamu tahu, Le?" tanya Sisi sembari menurunkan kacamata bundarnya.

"Tidak, Mbak." Aletta menggeleng. "Kenapa?"

"CEO MH fashion masih muda, loh. Mungkin saat kamu mengerjakan proyek, kamu akan bertemu dengannya, setidaknya satu atau dua kali," ujar Sisi sembari tersenyum simpul. "Aku bangga, sih... Indonesia semakin punya banyak generasi muda yang mengharumkan bangsa dan membawa karya-karya mereka ke kancah internasional."

"Yah... itu kan sebuah kemajuan yang bagus, Mbak. Malu juga kalau kita jalan di tempat terus," ujar Aletta tersenyum tipis.

Sisi terkekeh kecil mendengarnya. Dia berdeham singkat. "Ya sudah. Kamu pasti banyak pekerjaan. Silakan kembali, Aletta."

"Baik, Mbak. Sekali lagi, terima kasih," ujar Aletta membungkukkan badan, kemudian ke luar dari ruangan.

Saat Aletta ke luar dari ruangan, dia melihat Tissa yang tengah berdiri sembari merapikan dokumen dengan terburu-buru.

"Mau rapat, Tis?" tanya Aletta saat melewati mejanya.

Tissa menoleh sejenak, kemudian mengangguk. "Rapat pertama proyek MH fashion."

"Loh? Tis, aku baru saja mendapat dokumen persetujuan dari mbak Sisi," ujar Aletta memamerkan map cokelat yang didapatkannya tadi.

"Oh, disetujui?" Tissa menggeleng sejenak. "Ah, bukan waktunya untuk seperti ini! Ayo, kamu juga harus ikut, Ale!"

"Oh, astaga... tunggu sebentar! Aku mau menaruh map ini dahulu," ujar Aletta yang berlari kecil memasuki ruangannya, kemudian meletakkan map tersebut di laci meja. Dia mengambil pulpen, notebook, dan ponselnya untuk dibawa saat rapat.

Ketika Aletta ke luar dari ruangan, Tissa, Ester dan Maya dari tim editorial telah menunggunya sembari membawa laptop yang akan digunakan nanti.

"Mbak Ester, aku tidak membawa berkas apapun. Tidak apa-apa?" tanya Aletta dengan ekspresi panik saat menyadari hanya dia yang tak membawa berkas ataupun laptop.

Ester tersenyum. "Tidak apa-apa, Le. Mbak juga hanya bawa laptop untuk mencatat hasil rapat nanti."

"Aku juga, Mbak. Santai saja. Ini baru rapat pertama. Biasanya hanya berkenalan dan membahas yang ringan-ringan saja," ujar Maya memberikan pengertian pada Aletta.

"Kalau aku sih disuruh mbak Sisi untuk membuat proposal. Jaga-jaga saja katanya," ujar Tissa menunjukkan dokumen tadi.

"Huh... syukurlah. Tidak menunggu siapapun lagi, kan?"

"Tidak. Ayo!" ajak Ester membawa mereka menuju lift untuk pergi ke lantai teratas perusahaan ini.

***

Ruang rapat utama, lantai lima PT Sinar Juanda.

"Perkenalkan, saya Aletta Coline dari tim translator. Saya bergabung dalam proyek MH fashion sebagai asisten translator dan asisten DKV. Mohon bantuannya, Mas, Mbak," ujarnya sembari membungkukkan badan di hadapan 22 orang, termasuk CEO PT Sinar Juanda beserta sekretaris dan Wakil CEO MH fashion beserta sekretaris.

Bisik-bisik di ruangan rapat yang besar itu terdengar membicarakan Aletta, terkhusus dari tim percetakan yang paling banyak tergabung dalam proyek ini dan paling banyak anehnya, kalau kata Sisi.

"Anak baru?" tanya Aris, pimpinan tim percetakan, pada Ester dengan nada yang ketus. Wanita yang seumuran dengan Sisi itupun mengangguk kecil.

"Yang benar saja! Mbak Sisi yang merekomendasikan?" tanya rekan sejawatnya, Julia.

"Pak CEO sendiri yang telah menyetujuinya," ujar Ester sembari tersenyum tipis pada Julia dan Aris, kemudian menoleh dan mengangguk kecil pada CEO PT Sinar Juanda dan Wakil CEO MH fashion.

"Tapi, anak baru itu... bukannya agak...," ujar Julia lagi dengan menggantung. Membuat orang-orang di sana kembali berbisik-bisik. Tatapan Julia pun meremehkan Aletta yang masih berdiri dan belum diperkenankan untuk duduk.

"Saya sudah membaca surat rekomendasinya dengan baik. Mbak Aletta ini punya pengalaman dan skill. Dia juga lulus dengan nilai yang sangat baik di NYU. Jadi, Mbak Julia, saya cukup terganggu dengan ucapan anda yang meragukan keputusan saya," ucap Haris, CEO Sinar Juanda yang akhirnya buka suara. Membuat orang-orang yang membicarakan Aletta langsung terdiam.

Julia langsung berdiri dan menunduk berkali-kali sembari mengucapkan permintaan maaf pada Haris dan juga Wakil CEO MH fashion.

Haris mengangguk kecil, lalu memandang Aletta yang berada di ujung meja.

"Silakan duduk, Mbak."

Dia menoleh pada Jasmine, Wakil CEO MH fashion. "Maaf atas keributannya, Bu."

Jasmine tersenyum tipis. "Tidak apa-apa, Pak. Boleh saya yang bicara sekarang?"

"Silakan, Bu."

"Baiklah. Karena semuanya sudah memperkenalkan diri, sekarang saatnya kami mempresentasikan keinginan MH fashion dalam proyek perdana ini," ujar Jasmine yang kemudian berdiri dan berjalan ke depan untuk memulai presentasi menggunakan proyektor.

Rapat pertama dengan kondisi yang santai, tetapi serius, dimulai. Berbagai opini dan proposal pun mulai diajukan oleh berbagai tim untuk menyukseskan proyek perdana ini.

***

Gea: Sudah dapat apartemen?

Aletta: Mencari saja belum sempat.

Gea: Kamu mau menyewa atau membeli apartemen?

Aletta: Sewa. Aku mana punya uang sebesar itu untuk membelinya.

Gea: Ok.

Gea: Send a link

Aletta yang sedang makan siang sembari memainkan ponsel pun mengklik link yang diberikan Gea.

"Dasar gila!" gerutu Aletta sambil memelototi ponsel saat melihat harga sewa apartemen yang melebihi gajinya.

"Kenapa, Le?" tanya Tissa yang duduk di seberangnya.

"Temanku gila," jawab Aletta singkat sembari mengetik dengan penuh semangat dan menunda kegiatan makan siangnya.

Aletta: Dasar gila!

Aletta: Gajiku hanya 7 juta sebulan!

Aletta: Bisa-bisanya kamu memberikan apartemen seharga 10 juta! Kamu menyuruhku berutang?

Gea: Hah? Yang benar? Kecil sekali...

Aletta: Kamu sedang meledekku atau apa?

Gea: Maaf, maaf. Aku benar-benar tidak tahu.

Gea: Kamu mau budget berapa?

Aletta: 2,5 juta-3,5 juta. Ada?

Gea: Kamu mau menyewa kandang kucing?

Aletta terdiam sejenak, kemudian menghela napas gusar saat membaca pesan yang baru dibacanya itu.

Aletta: Baiklah. Untuk urusan kali ini, selera dan kebutuhan kita berbeda, Gea.

Gea: Mau aku carikan?

Aletta: Yang sesuai dengan budget, ku mohon.

Gea: Akan ku usahakan. Kalau ada 4 juta, kamu mau?

Aletta: Lebih baik aku mengungsi di rumahmu saja.

Gea: Serius? Itu lebih baik!!

Aletta: Aku bercanda.

Gea: Yah...

Gea: Aku menemukan kos-kosan elit seharga 3 juta. Kamu mau?

Aletta: Tidak. Aku mau apartemen.

Gea: Argghhh! Ya sudah, aku cari dulu! Nanti ku kabarkan lagi.

Aletta: Yaaa, terima kasih. Jangan mahal-mahal!!

Aletta menghela napas panjang, kemudian meletakkan ponselnya di atas meja.

"Kenapa?" tanya Tissa yang memperhatikannya dalam diam sejak tadi.

"Aku sedang mencari apartemen. Temanku merekomendasikan dengan harga yang gila. Astaga, dia pikir mencari uang itu semudah memungut sampah?" gerutu Aletta yang kembali menyuap makanan.

"Kamu tidak bilang kalau sedang mencari apartemen." Tissa menghadap ke belakang. Dia menepuk pundak Adnan yang tengah makan siang bersama Jojo. Pria itu menoleh.

"Kenapa?"

"Kamu pernah mengatakan kalau apartemen di sebelahmu kosong, kan?"

"Ya." Adnan memandang Tissa dan Aletta bergantian. "Kosong sejak tiga minggu lalu."

"Berapa harga sewanya?" tanya Aletta.

"Tiga juta setengah. Ada dua kamar tidur lengkap dengan furniture, satu kamar mandi, dapur, dan ruang tamu yang tidak terlalu besar. Siapa yang sedang mencari apartemen?" jelas Adnan tak seperti biasanya.

"Aku!" Aletta mengangkat tangan dengan senyum sumringah. "Kamu bisa membawaku untuk survey?"

"Hari ini?"

"Kalau kamu tidak sibuk. Lebih cepat, lebih baik," ujar Aletta tersenyum senang. Tissa pun menatapnya sambil tersenyum puas.

"Ya, boleh."

Jawaban persetujuan dari Adnan membuat Aletta dan Tissa melakukan toast bersama karena senang.

———