***
Hujan deras mengguyur rata Kota Jakarta di hari Senin. Membuat orang-orang yang beraktivitas harus memaksakan diri menurunkan selimut, turun dari kasur, dan meninggalkan rumah dengan membawa rasa malas dan kantuk yang semakin parah akibat hujan.
Sebuah Pajero Sport berwarna putih yang sedikit kotor karena cipratan air jalanan itu berhenti cukup jauh dari PT Sinar Juanda.
"Kenapa tidak diantar sampai depan perusahaan saja, sih, Le?" tanya Varrel memperhatikan putrinya yang tengah mengeluarkan payung berwarna abu-abu dari tas kerjanya.
Aletta menoleh sejenak. "Tidak enak kalau ada yang lihat, Pa."
"Tidak enak kenapa? Papa tidak mengerti maksud kamu. Kan tinggal Papa antar saja. Kenapa ribet begitu?" protes Varrel sambil menggenggam erat kemudi.
"Yah, tidak enak saja. Nanti membawa gosip tidak enak dari orang-orang. 'Eh, tadi aku lihat ada anak baru, si Aletta, datang naik mobil.' Aku mau hidup tenang dulu." Aletta tersenyum simpul pada Varrel.
"Ah, Papa ini... seperti tidak tahu saja."
"Apa, sih? Kamu ribet sekali," ujar Varrel tak mengalihkan tatapan dari Aletta.
Aletta tersenyum menanggapinya. "Aku masuk sebagai karyawan biasa walaupun sudah punya pengalaman dan skill yang baik. Kalau aku punya posisi tinggi saat baru masuk, aku tidak akan masalah kalau Papa mengantarku sampai ke depan perusahaan. Membawa mobil pun aku tak masalah," ujar Aletta memberikan penjelasan pada Varrel.
"Kamu aneh, Le." Kening Varrel mengerut. "Orang-orang di perusahaan, SCBD, daerah-daerah industri, malah rela loh menyewa mobil untuk pergi dan pulang kantor. Kamu yang Papanya punya Pajero Sport keluaran terbaru malah tidak mau diantar sampai depan perusahaan," ujar Varrel panjang.
"Yah, terserah Papa saja lah. Aku mau bekerja, bukan mau mencari masalah dengan orang lain," balas Aletta sembari meminta tangan Varrel untuk disalami. Pria itu memberikan tangannya sembari memperhatikan putrinya yang sudah siap menerjang hujan deras.
"Aku pamit, Pa. Pulangnya hati-hati, jangan mengebut. Jangan lupa bubur pesanan Mama," kata Aletta memperingati Varrel sebelum membuka pintu mobil.
"Iya-iya. Kamu juga hati-hati jalannya, awas licin!"
Aletta mengangguk singkat, kemudian membuka pintu mobil sembari membuka payung, lalu menutup pintu dan melambaikan tangan pada Varrel, kemudian pergi dari sana dengan berjalan kaki menuju PT Sinar Juanda.
"Aneh-aneh saja," ujar Varrel sembari memperhatikan kepergian Aletta yang semakin menjauh.
Dia menancap gas dan mengemudikan mobil sembari mencari putaran di depan sana.
***
Untung saja Aletta sudah mempunyai stater pack saat hujan. Dia menggunakan sandal dan menggulung celana jeans yang dipakainya saat menerjang hujan dengan payung. Hanya butuh waktu tiga menit baginya untuk sampai di perusahaan percetakan ini.
Satpam yang menjaga pintu masuk PT Sinar Juanda menyapanya dan beberapa karyawan lain yang baru datang.
"Taruh di dalam saja, Mbak." Satpam itu mengarahkannya untuk meletakkan payung di kendi besar yang berada di lobby.
"Oh, iya, Pak. Terima kasih," ujarnya mengangguk kecil, lalu menutup payung dan masuk. Hanya tiga langkah dari pintu, dia menemukan sebuah kendi besar yang terisi banyak payung di dalamnya. Aletta langsung meletakkan payung miliknya di sana, kemudian berjalan ke arah lift yang terlihat sepi.
Dia melihat jam tangannya. 07.47 WIB. Padahal, biasanya di jam segini, lobby perusahaan penuh dengan para pekerja yang hendak ke lantai masing-masing dan mengetap kartu untuk menandakan kehadiran.
Hanya ada tujuh orang yang sedang mengantre lift, termasuk dirinya. Dia melihat ke kanan dan kiri, tidak ada satupun yang dikenalnya. Dan hanya menunggu sekitar satu menit, lift pun terbuka. Tujuh orang itu masuk dan mengambil posisi. Sebelum lift tertutup, ada seseorang yang tiba-tiba berteriak, minta untuk ditahan liftnya.
Aletta memicing. Kali ini, dia mengenal orang itu. Adnan. Rekan satu timnya yang kata Tissa, agak kaku. Sepertinya, ini pertama kalinya, Aletta mendengar suara Adnan yang terdengar agak nge-bass.
"Terima kasih," ujar Adnan saat memasuki lift dan kebetulan mengambil posisi di samping Aletta.
"Loh, Aletta?" ujarnya saat menoleh. Dia agak menunduk saat menatap Aletta karena tubuhnya yang cukup tinggi. Aletta pun agak kaget saat Adnan terdengar lantang menyapanya.
"Iya. Selamat pagi, Adnan." Aletta tersenyum. 'Waduh, tidak apa-apa, kan? Toh, kata Mbak Sisi, tim translator rata-rata seumuran,' batinnya yang canggung menatap Adnan.
"Pagi juga." Adnan mengangguk dan tersenyum sangat tipis, sampai Aletta tidak tahu itu bisa disebut senyum atau tidak. Dan setelahnya, tidak ada lagi pembicaraan di antara mereka. Adnan yang sibuk dengan rambut dan pakaiannya yang agak basah, serta Aletta yang merasa enggan untuk mengajak Adnan bicara ketika pria itu pun sedang disibukkan dengan dirinya sendiri.
Untungnya, lift yang membawa mereka tidak berjalan begitu lama. Pintu lift terbuka dan mengantarkan mereka ke lantai tiga. Aletta keluar lebih dahulu daripada Adnan dan mereka berjalan bersamaan.
"Em, boleh saya minta tolong?" tanya Adnan yang berhenti berjalan dan membuat Aletta mengikutinya juga.
"Iya, boleh. Minta tolong apa?"
Adnan mengeluarkan kartu pekerjanya dari saku kemeja dan menyerahkannya pada Aletta. "Tolong titip presensi. Saya mau ke toilet."
"Ohh." Aletta menerima kartu tersebut. "Memangnya lama?"
"Tidak tahu. Saya titip presensi saja, takutnya telat saat tap kartu. Saya minta tolong, Ale."
"Ya sudah," putus Aletta mengangguk kecil. "Tapi, kembali lagi, ya?"
"Iya. Terima kasih," ujar Adnan yang kemudian berjalan cepat menuju toilet dan meninggalkan Aletta yang mengangkat sebelah alis, memperhatikan kepergian Adnan dan kartu pekerjanya secara bergantian.
Dia memasukkan kartu milik Adnan ke saku celana, kemudian berjalan sendirian memasuki kantor yang terlihat masih sepi.
"Hmm, pagi, Ale." Tissa terlihat lesu dan mengantuk. Gadis itu hanya menjepit rambutnya asal, memakai kaus oblong berwarna putih, dan celana kulot berwarna cokelat muda, serta sandal jepit yang dibelinya di salah satu toko sandal dekat rumah.
"Pagi, Tissa. Masih mengantuk?" tanya Aletta menuju mesin presensi, kemudian menempelkan kartu pekerja Adnan, baru kemudian miliknya.
"Gila saja kalau tidak mengantuk di hari yang sempurna untuk tidur ini," balas Tissa sembari merebahkan kepala di atas meja. "Memangnya kamu tidak mengantuk?"
"Sudah minum kopi sebelum pergi bekerja," jawab Aletta berbalik menghadap Tissa sembari tersenyum.
"Ah... aku ingin tidur, tidur, dan tidur," ujar Tissa sembari memejamkan mata. Sudah mengantuk, meja kanan, kiri, dan depannya masih kosong pula.
"Mau ku buatkan kopi?" tawar Aletta sebelum dia masuk ke kantor pribadinya.
"Tidak usah. Lagipula kopi yang ada di coffee break sudah habis," ujar Tissa dengan lemas.
"Huh?" Aletta berjalan ke meja Tissa dan bertumpu pada penghalang meja. "Kamu sudah pergi ke sana?"
Tissa mendongak, lalu mengangguk lesu. "Saat sampai pun, aku langsung ke coffee break."
"Mau pesan kopi?"
"Aku sedang mengirit. Ini sudah tengah bulan," jawab Tissa dengan cepat. Dia merebahkan lagi kepalanya di atas meja.
"Maksudku, aku yang belikan untukmu."
"Aku mau! Sangat mau!" Tissa langsung duduk tegak. Dia tersenyum lebar pada Aletta. "Americano saja yang murah," ujarnya.
"Bukannya kamu tidak suka kopi hitam?" Aletta membuka ponselnya. Hendak memesan layanan kopi yang ada di kafe perusahaan ini.
"Ah, tidak tahu diri namanya. Sudah ditraktir, malah minta yang lain. Americano saja," ujar Tissa tersenyum sumringah.
Aletta menggeleng. "Ku pesankan Espresso saja, ya?"
"Americano saja," ujar Tissa menatap Aletta dengan mata berbinar. Mulutnya itu berbeda dengan tatapannya.
"Sudah ku pesankan Espresso." Aletta menunjukkan ponselnya. "Pesanan atas nama Tissa, ya. Sudah ku bayar juga."
Tissa langsung memeluk Aletta dan menghujaninya dengan ciuman di rambut. "Aku sayang kamu, Ale. Terima kasih. Kamu penyelamatku di hari Senin. Semoga harimu selalu weekend."
"Astaga... baiklah-baiklah. Omong-omong, ke mana yang lain?" tanya Aletta yang pasrah dipeluk dan dihujani ciuman.
"Oh." Tissa menjauhkan diri dari Aletta, kemudian duduk lagi. "Mereka pasti telat."
"Aku bertemu dengan Adnan tadi." Aletta menunjukkan kartu pekerja milik Adnan. "Dia minta tolong untuk titip presensi."
"Oh, berarti sebentar lagi dia akan datang. Kalau Jojo yang menitipkannya padamu, jangan mau. Dia pasti kabur," kata Tissa memperingatinya.
"Selamat pagi!" seru seseorang yang baru masuk dan membuat keduanya menoleh.
Itu Mbak Sisi yang hari ini memakai outfit santai. Jauh berbeda dengan hari-hari biasa.
"Pagi, Mbak!" balas Aletta dan Tissa bersamaan.
"Tis, tolong cek email yang sudah ku kirim." Sisi mengedipkan mata pada Tissa yang langsung menyandarkan tubuh sembari mengembuskan napas pasrah.
"Ale, kamu ke ruangan ku."
"Sekarang, Mbak?" tanya Aletta yang sudah mengambil ancang-ancang untuk mengikuti Sisi yang hendak masuk ke ruangan.
"Nanti, kalau sudah jam delapan."
07.54 WIB. Masih ada enam menit sebelum jam masuk kerja.
"Baik, Mbak." Gadis yang memakai turtleneck warna cream itu pun mengangguk.
———