***
Tangan Aletta memutar gagang pintu berwarna putih yang ada di pojok kanan lantai atas.
Semerbak parfum yang biasa dipakai Gea menyapa indra penciuman Aletta. Tidak terlalu menyengat, hanya tercium saja. Ruangan sebesar 6x7 meter itu terlihat nyaman dengan dinding berwarna krem yang sudah lengkap dengan ranjang ukuran queen, walk-in-closet, televisi ukuran 35 inchi, dan kamar mandi.
Aletta berjalan masuk. Menjejali kakinya dengan karpet lantai yang menjadi pelengkap seluruh bagian kamar ini.
Dirinya tersenyum saat mendapati sebuah bingkai foto di laci dekat tempat tidur. Fotonya dan Gea saat kelulusan SMA waktu itu. Terlihat Aletta masih tertawa lepas tanpa beban membuat dirinya yang sekarang merasa iri.
"Alangkah baiknya jika aku masih bisa tertawa selepas dan sebahagia ini," gumam Aletta meletakkan kembali bingkai foto tersebut pada tempatnya.
Aletta memutuskan untuk pergi ke kamar mandi. Tak jauh dari sana ada tumpukan handuk yang tertata rapih. Membuatnya memantapkan hati untuk mandi lebih dahulu sebelum tidur.
Berhubung koper yang berisi pakaiannya masih ada di bawah dan belum diantarkan, Aletta berjalan ke walk-in-closet. Seingatnya, dia pernah meninggalkan beberapa pakaian di ruang itu ketika sering menginap di rumah Gea dahulu.
"Wah... semakin maniak saja anak itu," ujar Aletta saat melihat pakaian-pakaian yang tergantung di sana sini beserta aksesoris-aksesorisnya. "Seingatku ruangan ini tidak sebesar itu," sambungnya berdecak kagum. Matanya tertuju pada rak berisi susunan pakaian bertuliskan namanya. Aletta tersenyum lebar. Pakaiannya diberi ruang spesial oleh Gea.
Aletta berdiri di depan rak tersebut. Mengambil beberapa pakaian yang bisa dia gunakan. Harum pewangi pakaian dan lembutnya masih bisa dirasakan.
"Sejak kapan anak itu mempersiapkan kepulangan ku? Jangan-jangan setiap tahun dia menungguku?" tanya Aletta pada dirinya sendiri. Bahkan ada beberapa pakaian baru yang tak pernah dimilikinya ada di rak tersebut. Aletta tebak Gea yang membelikan itu untuknya dan disimpan di sana untuk dipakainya jika dia kembali dan menginap di rumah Gea.
"Aku akan bertanya padanya nanti," ujar Aletta yang kemudian keluar dari walk-in-closet. Dia meletakkan pakaian di ranjang, kemudian mengambil handuk yang masih bersih dan mandi untuk membersihkan tubuhnya yang telah mengudara selama hampir 22 jam.
***
Rambutnya yang basah selepas mandi kini sudah kering berkat hairdryer milik Gea. Aletta yang sudah berganti baju merebahkan tubuhnya di atas ranjang.
"Ah... nikmatnya," gumamnya tersenyum seraya menutupi mata dengan lengan. "Berendam dan tidur adalah hal yang baik dan aku bisa menikmati keduanya sekarang. Ini yang terbaik," sambungnya dengan hati yang senang.
Aletta membuka matanya. Memandang plafon rumah yang terlihat simetris dan indah. "Aku sudah kembali ke Indonesia. Ya... aku kembali." Dia berbaring ke arah kiri, bersembunyi di balik selimut. "Semoga semuanya baik-baik saja," ujarnya penuh harapan.
Karena rasa lelah dan nyaman yang menyatu, mata Aletta mulai terasa berat. Tak butuh waktu lama, akhirnya dia tertidur sembari bersembunyi di balik selimut. Membuat tubuhnya terlihat lebih kecil dan rapuh.
***
"Hai," sapa Arkhano melambaikan tangan di depan pintu rumah.
Alis Aletta mengerut. "Kenapa kamu di sini?" tanyanya pada laki-laki yang memakai celana selutut dan kaus oblong dengan rambut yang tidak ditata. Berbeda seratus delapan puluh derajat dengan tampilannya saat di sekolah.
"Mengajakmu bermain."
"Aku tidak butuh?" ujar Aletta dengan raut tak senang.
Arkhano tersenyum tipis. "Baiklah, aku akan menemui tante Stefani saja. Jadi, biarkan aku masuk, oke?"
Aletta menggenggam gagang pintu, kemudian membukanya lebih lebar. Dia berbalik dan berjalan lebih dahulu. Pergi ke ruang keluarga, di mana Stefani berada.
"Siapa yang datang, Le?" tanya Stefani yang sedang membaca majalah harian.
Dengan malas Aletta menjawab, "Arkhano." Yang disebut namanya pun muncul di ruang keluarga dengan senyum tak bersalah karena datang tiba-tiba.
"Halo, Tante Stefani!" sapa Arkhano menghampiri Stefani yang langsung menutup majalah begitu mendapat kabar tentang kehadirannya.
"Halo, Arkhano! Tante tebak kamu sudah mengajak Ale berkenalan. Mendengar namamu keluar dari bibirnya," ujar Stefani berbinar menikmati ketampanan anak itu.
Arkhano terkekeh kecil. Dia menatap Aletta yang hanya berdiri memandangi mereka. "Ya, sudah, Tante. Makanan yang waktu itu kan aku yang bawa."
"Loh?" Stefani memandang Aletta yang berpura-pura tak bersalah. "Ale tidak bilang kalau itu dari kamu."
"Ah, masa?" tanya Arkhano memandang Aletta dan Stefani bergantian. "Kamu tidak mengatakannya, Ale?"
Aletta mengedikkan bahu. "Yah, aku hanya bilang dari tetangga."
"Kamu tidak mengatakan secara spesifik, Ale." Stefani merasa dicurangi oleh putrinya. "Maaf, Arkhano... kalau Tante tahu kamu yang berikan, Tante akan mengucapkan terima kasih secara pribadi."
"Tidak apa-apa, Tante. Omong-omong, boleh aku main dengan Aletta?"
Mata Aletta terbelalak. "Siapa yang mau diajak main olehmu?" ketusnya tak setuju.
"Hush, Ale!" Stefani mendelikkan mata. "Mama tidak pernah mengajarimu untuk bersikap tidak sopan pada tamu. Minta maaf pada Arkhano, cepat!"
"Tante, Ale...." Arkhano memandang keduanya bergantian. Berusaha untuk mencairkan suasana.
Aletta melirik Arkhano dengan wajah tanpa ekspresi. "Maaf," cicitnya lalu pergi dari sana.
"Aletta!" seru Stefani pada putrinya. Dia menoleh pada Arkhano. "Maafkan Tante, Nak. Anak itu memang sulit terbuka dengan orang baru, tapi biasanya dia tidak akan bersikap tidak sopan. Tante akan memarahinya nanti."
"Ah, tidak apa-apa, Tante, sungguh." Arkhano meyakinkan. "Makanya aku datang ke sini untuk lebih dekat dengan Ale dan Tante juga tidak usah memarahinya."
"Kamu ini... sudah diperlakukan tidak sopan, tapi masih ingin dekat dengannya. Ya sudah, Tante mengizinkanmu."
"Wah, terima kasih, Tante." Arkhano berdiri. "Kalau begitu, aku akan menyusul Ale."
"Ya, mungkin dia ada di kamar. Jangan bermain di sana. Ajak dia ke taman belakang atau ruang tamu saja," ujar Stefani mengingatkan.
"Ya, Tante. Aku juga tidak sembrono untuk berduaan dengannya di kamar," sahut Arkhano sambil tersenyum. "Kalau begitu, aku menyusul Ale dulu, Tante."
"Ya. Runtuhkan pertahanan Ale agar kalian semakin dekat."
Dada Arkhano membusung sambil menyeringai kecil. "Aku merasa tertantang untuk itu."
Stefani tertawa, lalu Arkhano pamit dari sana dan pergi dengan langkah lebar untuk menyusul Aletta.
***
Cahaya putih perlahan-lahan terlihat. Aletta menyesuaikan cahaya itu sambil mengerjakan mata. Tubuhnya terasa sulit untuk digerakkan, tetapi dia yakin sudah bangun dari tidur.
"Sudah bangun, Ale?"
Suara Gea menyapa telinganya. Dia menoleh, mendapati Gea yang sedang mengeringkan rambut dengan hairdryer di depan cermin.
Aletta melihat jendela yang sudah ditutup oleh gorden. Tidak ada cahaya yang masuk seperti siang tadi.
"Jam berapa sekarang?" tanyanya dengan suara serak. Dia mulai bisa menggerakkan tubuh, sehingga memutuskan untuk duduk dan mengambil segelas air yang ada di atas laci, lalu meneguknya sampai tandas.
"Jam tujuh malam. Kamu terlihat sangat nyenyak, aku tak tega untuk membangunkan," jawab Gea melirik Aletta dari cermin.
Aletta menyisir rambut dengan jari jemari. "Uh, ya... saking nyenyaknya sampai membangkitkan kenangan lama," ujarnya lemas.
Gea terdiam sejenak. Melirik Aletta dari cermin, kemudian mematikan hairdryer. "Ingin makan malam sekarang?"
"Ide yang bagus. Aku akan cuci muka dulu," ucap Aletta menyibakkan selimut. Dia berdiri, kemudian meregangkan tubuh. "Kamu baru mandi?"
"Ya, baru saja selesai."
"Dylan sudah pulang?"
"Mungkin dia juga masih mandi."
"Astaga... kalian melakukan apa saja sampai baru mandi sekarang?" ujar Aletta seraya berjalan menuju kamar mandi.
"Yah, Ale... kamu akan tahu rasanya ketika bertemu dengan seseorang yang tepat. Sulit rasanya untuk berpisah."
Aletta merotasikan mata. "Aku masih sayang pada diriku," gumamnya. "Apa kamu tidak lelah?"
"Yah, tidak terlalu. Aku sudah berjanji padamu untuk minum sebotol whiskey di bar malam ini."
Aletta menyalakan keran di wastafel, kemudian membasuh wajahnya. "Kalau kamu lelah, kita istirahat saja. Aku tidak bisa membiarkanmu kelelahan karena memenuhi janji kita setelah digempur berjam-jam oleh Dylan."
"Ah, Ale... aku sudah menunggu untuk pergi ke bar bersamamu malam ini. Lagipula Dylan tidak bermain kasar, dia--"
"Hentikan, bodoh!" celetuk Aletta seraya mengusap wajahnya dengan handuk. Dia menoleh ke arah Gea berada. "Jangan bicarakan hal itu padaku. Aku tidak mau mendengar hal-hal yang seperti itu."
"Padahal tidak terlalu vulgar," cibir Gea membuka jubah mandi yang menampakkan dress selutut dengan seutas tali di leher. "Aku penasaran dengan hidupmu selama di New York. Dunia barat bahkan lebih vulgar. Bagaimana kamu menanggapi teman-teman yang berbicara vulgar di hadapanmu?"
"Aku bertingkah seolah tak pernah mendengarnya."
"Itu sebabnya kamu masih melajang sampai saat ini," ujar Gea menanggapi. "Apa kamu pernah berciuman, Ale?"
Aletta keluar dari kamar mandi. "Bibirku masih suci tahu."
"Wah hebat, kamu bisa membanggakannya pada orang-orang." Gea melambaikan tangan dan berjalan di kamar seolah sedang berjalan di catwalk. "Hei, apa kalian tahu? Bibirku masih suci!"
"Berisik!" Aletta mengambil kopernya yang sudah ada di kamar. Dia membuka dan mengambil dress berwarna hitam, lalu mengganti pakaiannya di walk-in-closet.
Tak lama kemudian, dia keluar dari sana. "Hei, lebih baik digerai atau diikat?" tanya Aletta memainkan rambut panjangnya.
Gea yang sedang memainkan ponsel di pinggir ranjang pun menganga kaget. "Astaga, kenapa dewi satu ini masih melajang sampai saat ini? Apa kamu reinkarnasi Dewi Kesucian?"
Aletta menghela napas panjang. "Digerai atau diikat?"
"Tentu saja diikat! Kamu akan terlihat lebih seksi, Ale!" seru Gea bersemangat.
"Hmm, baiklah, baiklah." Aletta mengikat rambutnya, memperlihatkan leher jenjangnya yang putih dan mulus.
"Astaga, kalau aku laki-laki, aku pasti jatuh cinta berkali-kali denganmu. Katakan, berapa pria yang telah kamu tolak?"
"Menghitungnya dengan jari saja aku tidak bisa," jawab Aletta mengambil lipstick yang terpajang di meja rias milik Gea. "Aku pinjam ini."
"Itu milikmu. Aku sengaja meletakkannya di sana."
Aletta menatap Gea dari cermin. "Aku tidak ingat punya lipstick seperti ini?"
"Aku membelinya untukmu."
Aletta merapatkan bibir, meratakan lipstick yang dipakainya. "Ini terlihat bagus, terima kasih."
"Tentu. Melihat orang-orang yang cantik dan tampan adalah berkah untuk mata ini." Gea berdiri mengambil tas yang digantungnya. "Kamu sudah siap, Ale?"
"Ya. Kita akan pergi dengan siapa?"
"Dylan. Dia masih menunggu di bawah. Ayo!"
"Tunggu sebentar!" Aletta berjalan, mengambil ponselnya. "Gea, bisakah aku menitipkan ponsel padamu?"
"Ya, berikan padaku." Gea menerima ponsel milik Aletta, kemudian memasukkannya ke dalam tas kecil yang dipakainya.
Gea memakai stiletto setinggi 5cm, sementara Aletta memakai sepatu kets berwarna putih yang dipakainya siang tadi. Mereka keluar dari kamar dan menuruni anak tangga, menghampiri Dylan yang telah menunggu keduanya sambil menonton salah satu program televisi yang membosankan.
———