3 Merayakan Kepulangan Aletta

***

"Aku pernah cerita padamu tentang taman yang sering kita kunjungi. Kamu mengingatnya, kan?" tanya Gea bersemangat. Gadis itu terus menghadap Aletta yang berada di kursi belakang.

Aletta mengangguk. "Ya, aku ingat. Kamu bahkan mengirimkan fotonya waktu itu. Bukankah tamannya jadi sedikit sejuk?"

"Hei, aku tahu ini, tapi kemampuan matamu memang tajam, ya!" seru Gea yang sejak di bandara tak henti-hentinya berbicara. Membuat suasana menjadi lebih hidup dan hangat. "Bahkan sekarang taman itu dijadikan tempat untuk piknik. Aku berencana mengajakmu ke sana. Kamu mau, kan?"

"Sayang, kamu juga berjanji padaku waktu itu, tapi kita tidak kunjung datang ke sana," sela Dylan yang sedang mengemudi sedan berwarna putih yang mereka tumpangi saat ini. Dia melirik Aletta dari kaca mobil. "Aletta, jangan percaya padanya... dia sulit untuk diajak piknik, sungguh."

"Dylan!" tegur Gea memukul bahu pria yang langsung meringis kesakitan.  Membuat Aletta terkekeh melihat kelakuan keduanya.

"Aku tahu, Dylan. Daripada piknik, Gea lebih suka ke mall." Aletta tersenyum tipis. "Tapi, tidak salah kalau Gea ingin mencoba sesuatu yang baru." Dia menatap Gea, kemudian mengerlingkan mata. "Aku akan  piknik bersamamu. Rencanakan saja kapan waktu yang tepat. Aku yang akan membuat makanan untuk kita," ujarnya yang disambut dengan seruan kemenangan dari sang sahabat.

"Hush, berisik, Gea. Mobil ini bisa bergoyang karena suaramu," tegur Dylan dengan alis yang mengerut. Rupanya suara  Gea yang penuh kemenangan itu cukup mengganggu fokus Dylan yang sedang mengemudi.

Gea memanyunkan bibir. "Iya, iya... aku akan diam."

"Kamu mau ikut, Dylan? Atau kita pergi secara terpisah saja?" tanya Aletta yang merasa sedikit tidak enak karena Gea lebih dahulu membuat janji dengan Dylan.

Dylan mengedikkan bahu. "Yah... daripada tidak jadi piknik bersama Gea, lebih baik kita pergi bersama saja."

"Kamu meragukan ku, Dylan?" tanya Gea berkacak pinggang. Menatap tajam pada kekasihnya yang fokus menyetir.

"Untuk pergi piknik, ya. Apalagi Aletta sudah meyakinkanku kalau kamu lebih suka pergi ke mall," jawabnya mencubit pelan pipi Gea. "Dua loyang pizza untuk makan siang sekaligus merayakan kepulangan Aletta, apa kalian tidak keberatan?" tanya Dylan yang menyadari ada restoran pizza khas Italia di depan sana.

Aletta dan Gea bertatapan satu sama lain, kemudian melompat girang di kursi mobil.

"Tentu tidak!" seru keduanya membuat Dylan refleks menutup mata karena kebisingan itu.

"Baiklah, baiklah... tolong jangan berteriak, Nona-nona. Kita ada di mobil, bukan di hutan," ucap Dylan seraya mengusap telinganya. Bersamaan dengan ucapan Dylan, sedan putih itu berbelok ke kiri, memasuki parkiran restoran pizza khas Italia yang cukup luas untuk merayakan kepulangan Aletta sekaligus makan siang pertamanya di Indonesia setelah delapan tahun berlalu.

***

"Segelas bir tidak apa-apa, kan, Dylan?" tanya Gea bergelayut manja pada lengan kekasihnya. Dylan menatap kekasihnya sejenak, lalu menyentil kening Gea.

"Cola sudah cukup, Sayang. Kamu tidak boleh minum bir, ini masih siang," tambah Dylan setelah menyentil kening Gea.

Gea memegangi keningnya yang cukup sakit. Dia menoleh pada Aletta yang sedang menyeruput segelas cola.

"Ale, bir yang terbaik, bukan?" tanya Gea dengan tatapan berharap.

Aletta mengangkat segelas cola seraya menyeringai kecil. "Cola yang terbaik. Aku tidak terlalu suka minum bir."

Gea mengedipkan mata berkali-kali, lalu menyandarkan tubuh di kursi dengan kecewa.

"Kalian payah," cibirnya seraya mengambil pepperoni yang ada di atas pizza, kemudian memakannya.

"Dylan benar Gea. Ini masih siang untuk minum segelas bir," ujar Aletta menyetujui ucapan Dylan tadi. "Tapi, tidak masalah dengan sebotol champagne atau whiskey di malam hari." Dia mengangkat gelas cola, mengajak Gea untuk bersulang.

Dylan menatap Aletta terkejut, sementara Gea menyetujui ajakan Aletta dengan bersulang.

"Kamu memang sahabatku, Ale." Gea memberi love sign pada Aletta sambil mengerling nakal.

"Ku pikir kamu ada di pihak ku," kata Dylan menyantap pizza dengan malas.

Aletta dan Gea tertawa kecil karena raut Dylan yang kecewa itu terlihat lucu.

"Kalau kamu khawatir dengan Gea, aku yang akan mengurusnya. Kamu tidak perlu khawatir. Gea sudah dewasa untuk menghabiskan waktu di klub-klub malam. Aku juga orang yang kuat minum," ujar Aletta sambil mengangkat ibu jarinya.

"Lebih baik kalian minum bir saja sekarang," ujar Dylan tak percaya dengan Aletta yang baru saja mengatakan tidak masalah untuk minum sebotol champagne atau whiskey. "Setidaknya ada aku yang tidak minum dan bisa mengantar kalian dengan selamat."

"Sayang, ini masih siang untuk minum segelas bir. Benar, kan, Ale?" ledek Gea dengan wajah yang menyebalkan.

Aletta mengedipkan mata seraya tersenyum, ikut meledek Dylan.

"Kali ini aku tidak akan mengajakmu. Ini girls-time, oke?" ujar Aletta pada Dylan yang mengangguk-angguk kecil.

Dylan kemudian menatap sang kekasih dengan khawatir. "Sebagai gantinya, hubungi aku kalau kalian ingin pulang atau bertemu dengan hal yang merepotkan."

Gea mengecup pipi Dylan tanpa ragu. "Tenang saja, Sayang... nomor ponselmu ada di urutan teratas."

Dylan menggenggam tangan Gea sambil tersenyum hangat. "Aku akan menunggu telepon darimu malam ini." Bibir Dylan perlahan mendekat ke hidung Gea, ingin mengecup bibir merah muda milik sang kekasih.

"Ekhemm...." Aletta mengipasi diri dengan tangannya. "Kehadiranku seperti tidak terlihat di sini. Ya, kan, Dylan, Gea?" tanyanya dengan senyum mengerikan.

"Ah... maaf, Ale." Gea menyatukan tangannya sambil membungkuk. Sementara Dylan menarik tubuhnya agar menjauh dari Gea, kemudian memasang ekspresi kikuk.

Aletta mengambil sepotong pizza lagi, kemudian membuka ponselnya. "Lanjutkan saja. Aku tidak melihat apapun," sambungnya fokus bermain pada ponsel.

"Ale...!" seru Gea seraya menutupi wajahnya yang merah merona karena malu.

***

Selepas mengisi perut sampai kenyang di restoran yang memiliki interior khas Italia, sedan putih itu menuju Jakarta Pusat dengan kecepatan sedang. Tidak butuh waktu terlalu lama, Dylan membawa mereka ke kawasan perumahan elit yang berada di wilayah Senayan.

Ketika klakson mobil dibunyikan, gerbang setinggi dua meter itu dibuka oleh dua orang satpam yang langsung berjejer di sisi kanan dan kiri ketika sedan putih milik Dylan memasuki halaman yang luas itu.

"Rumahmu tidak banyak berubah, Gea." Aletta memandangi rumah besar berwarna putih gading bak istana di film Disney.

Gea memakai tasnya, bersiap-siap untuk turun. "Yah, di bagian luar tidak banyak yang berubah, tapi di bagian dalam banyak yang berubah." Dia membuka seatbelt. Perlahan mobil itu berhenti tepat di depan tangga yang langsung mengarahkan ke pintu utama.

"Kita sudah sampai," kata Dylan membuka seatbelt. Dia mematikan mobil, kemudian keluar dan membukakan pintu untuk Gea dan Ale. Tak lupa dia juga membuka bagasi belakang untuk mengambil koper hitam besar milik Aletta.

"Dylan, biar aku saja." Aletta menghampirinya saat pria itu hendak mengambil koper.

Dylan mengibaskan tangan. Mengusir Aletta dari sana. "Tidak apa-apa. Kamu ikut saja dengan Gea."

"Ah, maaf merepotkan dan terima kasih."

"Santai saja." Dylan mengambil koper besar itu dengan mudah seolah tas besar itu seringan bulu.

"Ale! Ayo, masuk bersamaku!" panggil Gea melambaikan tangan dari tangga teratas.

"Ya, tunggu aku!" sahut Aletta berlari kecil, menaiki tangga untuk menyusul sahabatnya. Dylan mengikuti di belakang mereka dengan langkah santai.

Gea membuka pintu rumah tersebut dengan senyum riang.

"Selamat datang lagi di rumahku, Ale."

Ruang tamu berwarna putih dan dua tangga melingkar di sisi kanan dan kiri menjadi hal pertama yang dilihat oleh Aletta. Memang banyak berubah. Terlihat dari sofa-sofa panjang yang sudah diganti dengan yang baru. Karpet dan gorden-gorden yang besar dan tinggi pun sudah diganti. Pencahayaan di rumah itupun jadi lebih terang daripada yang terakhir kali ada di ingatan Aletta.

"Banyak yang berubah, kan?"

Aletta langsung mengangguk. "Jadi, lebih terang."

Gea tersenyum tipis. Dia meletakkan tas di meja kecil dekat pintu. "Aku yang mengubah pencahayaan di rumah ini. Setidaknya rumah ini tidak akan terlalu suram karena ada cahaya yang masuk."

Aletta berjalan mengitari ruang tamu yang besar itu. Sementara Dylan meletakkan koper Aletta di sisi kiri pintu, biar nanti salah satu pembantu yang membawanya ke kamar Aletta. Dylan pun duduk di sofa, lalu mengeluarkan ponselnya.

"Papa Mama tidak ada di rumah. Kamu bisa menginap di sini sampai kapanpun, Ale. Malah aku berharap kamu tinggal di sini saja menemaniku." Gea ikut duduk di samping Dylan. Dia bersandar di pundak sang kekasih. "Entah kapan orang tua itu akan pulang ke rumah. Mendengar kabarnya pun bisa dihitung dengan jari."

Aletta menoleh, memandangi Gea yang berbicara seperti itu seolah bukan hal besar. Namun, Aletta tahu kalau ucapan Gea yang terkesan tidak sopan itu tidak terbentuk secara tiba-tiba. Gadis itu terlalu banyak dikecewakan oleh orang tuanya yang terlalu sibuk mengejar karir dan tidak pernah ada waktu untuknya.

Aletta berjalan menuju sisi kiri pintu seraya tersenyum tipis. "Tenang saja, Gea. Aku akan menerima undangan eksklusif darimu untuk tinggal di sini sampai aku menemukan apartemen yang bagus."

"Hah..." Gea membuka toples makanan ringan berisi cokelat. "Aku berharap kamu  tinggal di sini, tapi aku juga tidak bisa melarangmu untuk mencari tempat lain." Dia membuka bungkus cokelat, kemudian menyuapkannya untuk Dylan yang langsung membuka mulut untuk melahapnya.

"Omong-omong, Ale... kamu lebih nyaman di lantai bawah atau atas?" tanya Gea yang sebenarnya sudah menyiapkan dua kamar untuk sahabatnya, satu di atas yang langsung menghadap ke jalan raya dan satu lagi di bawah yang langsung menghadap ke kolam renang.

"Apa itu penting?" tanya Aletta mengambil koper hitamnya. "Kupikir kamu akan menyelinap masuk ke kamarku di manapun itu."

Gea terkekeh geli. "Kamu tahu aku, Ale. Aku akan mengganggumu setiap malam, sungguh."

"Yah, menginap di rumahmu artinya sudah siap untuk diganggu."

"Baiklah, letakkan saja kopernya di sana. Aku akan meminta seseorang untuk membawakannya ke kamarku. Kamu naik saja dulu untuk istirahat, aku akan menyusul," ujar Gea menghentikan niat Aletta untuk mengangkat koper itu ke lantai dua, di mana kamarnya berada. Dia memeluk erat lengan Dylan yang langsung berhenti memainkan ponsel.

Aletta menatap keduanya. Sepersekian detik gadis itu langsung paham dengan situasi yang terjadi di antara Dylan dan Gea, kemudian dia tersenyum menggoda.

"Kupikir siang ini akan terasa panas untuk kalian. Bukan begitu, Dylan?"

Dylan menyeringai kecil. Dia menatap Gea, kemudian balas menatap Aletta. "Kami bisa mandi untuk mendinginkan tubuh setelahnya."

Aletta merotasikan mata. "Oh, God... Dylan,  jangan terlalu keras pada sahabatku. Dan Gea... kamu juga jangan terlalu bersemangat. Bukankah kita akan pergi ke bar malam ini? Atau kita batalkan saja?"

"Sialan, Ale!" Gea memelototi Aletta. "Ini akan selesai dengan cepat. Kita akan tetap pergi ke bar. Istirahatlah di kamarku!"

Aletta menutupi mulutnya dengan tangan. Dia memasang raut yang meledek. "Yang benar saja, Gea... seharusnya aku yang mengatakan itu padamu. Istirahat saja, jangan bergelut di atas kasur."

"Aletta Coline!" seru Gea pada gadis yang kini telah memutari anak tangga sambil tertawa terbahak-bahak.

———

avataravatar
Next chapter