webnovel

Marriage Contract (Fanfic)

Keluarga Hyuuga memiliki pohon ginkgo di belakang rumah besar mereka. Pohon itu menyimpan cerita mistis hingga sekarang, dipercayai sebagai tempat tinggal Dewa. Pohon ginkgo di rumah keluarga Hyuuga sudah berusia 1500 tahun. Diyakini satu-satunya pohon tertua di dunia. Ginkgo dipagari oleh pagar kayu jati. Rerumputan di sekitar ginkgo ditutupi oleh warna keemasan daunnya yang setiap hari berguguran. Saat berumur sepuluh tahun, Hinata Hyuuga, putri dari Hiashi Hyuuga menjumpai seorang anak laki-laki duduk di atas ranting raksasa pohon itu. Anak laki-laki itu mengenakan hakama berwarna putih, keesokan harinya kadang dia mengenakan hakama berwarna oranye ataupun kuning. Ketika anak itu masih duduk di ranting besar itu, Hinata mencoba meneliti wajahnya yang terselimuti oleh dedaunan ginkgo yang lebat, tetapi pada akhirnya Hinata tidak mendapatkan apa-apa dari itu. Suatu hari tiba-tiba dia mendengar suara anak laki-laki itu berbicara untuk pertama kalinya. Suaranya sangat lembut seperti anak perempuan. "Kalau kau ingin bisa berjalan, kau harus menjadi pengantinku."

BukiNyan · Tranh châm biếm
Không đủ số lượng người đọc
43 Chs

7

Kushina Uzushio-Windsor dulunya putri kesayangan dari Ashina Uzushio, turun-temurun keluarganya memiliki segudang tanah luas ber hektare-hektare hampir menguasai seluruh wilayah Jepang. Belum cukup dengan status daimyo, pengikut keluarganya menjadi yang paling banyak, sejak turun-temurun itu pun mereka telah memiliki pulau pribadi dalam jumlah yang tak terkira—sebagian pulau kini disumbangkan dengan alasan yang tak dapat dipahami, sebagian lainnya pun menjadi sengketa besar antarnegara. Meski begitu, mereka tentu saja tidak kekurangan harta. Masih banyak bisnis di sana-sini yang membuat mereka mungkin menjadi kaya tak terkira.

Tidak dengan status tuan tanah sampai menjadi kerabat dekat kaisar, Kushina menikah dengan bangsawan yang masih satu garis dengan Pangeran Henry, yang tampan, tentu saja suami Kushina tak kalah tampan, Matthew Windsor, sebut saja Minato Namikaze karena namanya yang diperoleh dari status sebagai seorang Duta dan kecintaannya pada negara ini. Ia lebih dikenal dengan nama penanya itu, sebagai seorang penulis non-fiksi, filsafat, dan puisi-puisi indah yang diterbitkan berbagai negara.

Kini, Kushina sedang duduk di kursi malas lobi tanpa suaminya yang masih terjebak di Inggris, dia baru saja sampai di rumahnya, dengan kacamata hitam masih bertengger, dia membolak-balikkan majalah Vogue. "Lihat, apakah aku sedikit gemuk?" tanya wanita itu pada pelayan pribadinya yang tak kalah ramping dan seksi seperti dirinya. "Aku menyesal tidak pergi suntik botox dulu, lihat, wajahku terlihat seperti orang bekerja mencari uang setiap hari tanpa hari libur," wanita itu menggerutu kesal, tapi masih membolak-balikkan halaman hanya demi melihat dirinya berpose cantik.

Di waktu yang sama, ketika dia terus menggerutu tentang badannya, putra satu-satunya yang lahir ketika umurnya tepat tiga puluh tahun, masuk ke rumah, melewati dirinya yang duduk di lobi, atau anak itu tidak tahu bahwa ibunya sudah ada di kursi malas kulit.

"Anakku. Apa kau bisa melihatnya? Majalah yang merilis foto ibu sudah keluar. Kau harus melihatnya, dan perlukah ibu melakukan operasi plastik pada hidung? Ataukah hanya suntik botox saja?" anaknya justru melihat majalah tersebut dengan enggan, Kushina merengut. "Mengapa mukamu cemberut?"

Naru memejamkan matanya sebentar. "Ibu, terjadi sesuatu ketika pulang sekolah tadi," ungkapnya. "Dan aku luar biasa kesal, karena kue tar yang aku pesan sejak kemarin harus hancur karena seorang gadis idiot, tidak tahu malu, kurang ajar, dia tidak sopan!" putranya mendikte dengan jelas, itu malah terdengar kebalikannya, Kushina mengangguk, menggiring opini tersebut ke suatu hal yang sedikit dinilai positif—hanya untuk dirinya sendiri. "Jadi, aku ingin masuk ke kamar."

"Tapi kau akan datang ke meja makan?"

"Oh tentu, jika memang aku ingin."

Lalu ibunya mengomel menggunakan bahasa Inggris, tetapi Naru berjalan lurus tanpa berniat mendengarkan wanita itu yang terus marah dan langsung membanting majalah Vogue ke lantai. Orang-orang di sekitar Kushina panik bukan main. "Ma'am, mungkin kondisinya memang benar-benar buruk," dalam sekejap Kushina mereda, ia cepat sekali kalau menyangkut kondisi putranya, ia harus menyampingkan bahwa baru saja diabaikan—tak dinilai dengan baik perjuangannya untuk tampil cantik di majalah—meskipun ini bukan yang pertama—masih banyak pemotretan yang lain, dan putranya pasti terlalu bosan untuk menanggapi.

Dengan gaun hitam panjang dan jas hitam yang hanya disampirkan ke pundaknya, Kushina berlari mengejar putranya yang menaiki anak tangga untuk sampai di lantai dua. "Tunggu, Sayangku, gadis idiot yang kau maksud siapa?" menarik lengan putranya, Kushina menunggu jawaban, dia tidak peduli muka masam anak itu. "Apa kau sudah punya pacar?"

"Kau adalah pacarku, selamanya, kau wanitaku," Kushina bersemu merah, memukul dada putranya pelan. "Jadi, aku akan pergi ke kamar, aku tidak mau membahas masalah itu lagi."

"Mungkin saja ibu bisa membantumu," seperti kebanyakan ibu-ibu di luar sana, selalu merasa penasaran dengan kisah asmara putra-putri mereka yang mulai beranjak dewasa, cinta monyet yang manis penuh pertengkaran lucu, ugh, Kushina membayangkan bahwa setiap hari mungkin saja putranya pulang dengan cemberut, dan baginya tidak ada alasan untuk melewatkan itu.

Naru membuang embusan napasnya, dia terasa lelah menemukan sesuatu yang salah dari apa yang dipikirkan ibunya. "Bukan seperti apa yang kau bayangkan, sungguh."