webnovel

Marriage Contract (Fanfic)

Keluarga Hyuuga memiliki pohon ginkgo di belakang rumah besar mereka. Pohon itu menyimpan cerita mistis hingga sekarang, dipercayai sebagai tempat tinggal Dewa. Pohon ginkgo di rumah keluarga Hyuuga sudah berusia 1500 tahun. Diyakini satu-satunya pohon tertua di dunia. Ginkgo dipagari oleh pagar kayu jati. Rerumputan di sekitar ginkgo ditutupi oleh warna keemasan daunnya yang setiap hari berguguran. Saat berumur sepuluh tahun, Hinata Hyuuga, putri dari Hiashi Hyuuga menjumpai seorang anak laki-laki duduk di atas ranting raksasa pohon itu. Anak laki-laki itu mengenakan hakama berwarna putih, keesokan harinya kadang dia mengenakan hakama berwarna oranye ataupun kuning. Ketika anak itu masih duduk di ranting besar itu, Hinata mencoba meneliti wajahnya yang terselimuti oleh dedaunan ginkgo yang lebat, tetapi pada akhirnya Hinata tidak mendapatkan apa-apa dari itu. Suatu hari tiba-tiba dia mendengar suara anak laki-laki itu berbicara untuk pertama kalinya. Suaranya sangat lembut seperti anak perempuan. "Kalau kau ingin bisa berjalan, kau harus menjadi pengantinku."

BukiNyan · Anime & Comics
Not enough ratings
43 Chs

6

Sebetulnya, ada yang aneh ketika dia dibebaskan dari Okutama yang membosankan. Melihat riuh di sekitar jalanan Tokyo membuat Hinata termenung sejenak. Ini pasti mimpi. Halusinasi. Terjebak di tempat aneh lagi—dia tidak sekali mendapati hal tersebut, ketika dia mulai menyadarinya, pasti akan ada partikel-partikel aneh yang mulai memudar, lalu kegelapan menyelimuti, dia terbang, dihadapkan pada seorang laki-laki yang tertawa geli, "Kejutan," lalu dia akan terbangun dari tidurnya.

Aha, mungkin benar ini sedang di dunia lain, Tokyo cuma fatamorgana, ini tidak nyata, ini bagian dari yang dia mimpikan selama ini. Tapi meski Hinata telah menyadari ini bukan dunia nyata, tidak ada perubahan apa pun. Kedua kakinya masih berpijak di trotoar, menunggu lampu dan pengumuman penyeberangan mendapat giliran di bagian sisinya berdiri.

Hinata mendongak ketika rambu mulai berubah dan orang-orang mulai berjalan untuk menyeberang. Pelayannya seolah menegur kemudian, "Anda sudah bisa jalan, menunggu apa?"

"Aku masih tidak percaya kita keluar dari Okutama," ujar Hinata, ketidakpercayaan selalu menghiasi cara pandangnya dalam beberapa hari ini. "Ini seperti mimpi," sang pelayan memandangi detik waktu—angka mundur itu membuatnya tidak nyaman, tetapi dia tidak bisa memaksa majikannya untuk melangkah. Ia tidak memiliki kuasa untuk mengaturnya, sang pelayan hanya berdiri dan menunggu sang majikan berjalan, berdiri sampai kaki sakit pun sepertinya harus dilakukan.

Hinata mengembuskan napas lelah, kosong, dan begitu membingungkan. "Bagaimana kalau aku mencobanya, apakah ini dunia nyata atau tidak?" sang pelayan bergidik, ia tidak berharap majikannya melakukan hal gegabah, dia pasti akan dihukum seberat-beratnya jika terjadi sesuatu pada orang yang dikenal sebagai pengantin dewa.

Namun sebelum pelayan itu dapat berkata, "Apa yang akan—" Hinata berjalan ketika mobil-mobil dan bus berderam bersamaan usai para sopir itu menekan gas, semua kendaraan itu mulai maju perlahan, Hinata melakukan hal yang sama sampai ke tengah tanpa rasa ketakutan. "Tidak, Tuan Putri!" sang pelayan mencoba meraih, seseorang mendahului lebih dulu. Meraih tangan sang majikan, dan dipeluknya erat hingga terjatuh dan berguling bersama.

Tidak hanya menjadi pusat tontonan di tengah ramainya area penyeberangan, keamanan yang tepat itu berpatroli mendekati kedua muda-mudi dengan sikap waspada, "Telepon ambulans!"

Keduanya duduk mengejutkan yang lainnya, dengan dada yang naik turun, semuanya takut jika keduanya terjadi sesuatu. "Tidak ada yang terluka," kata pemuda pirang, sang penolong itu. "Kami berdua tidak apa-apa," ulang pemuda itu.

"Master," laki-laki tua mendekati, lalu membantunya berdiri. "Mengapa Anda melakukan hal seperti ini, Anda membuat jantung saya sakit."

Hinata dibantu berdiri, sembari itu, gadis tersebut justru melirik sebentar ke kotak putih yang hancur—dari sana keluar stroberi dan krim putih, pasti itu kue tar yang baru dibeli di sekitar sini. Kue tar dengan krim putih itu berceceran menguasai area di mana mereka terjatuh bersama. "Dia adalah adik temanku," pemuda pirang itu bersuara. "Dia baru tinggal di Tokyo, kemungkinan masih tidak tahu yang namanya area penyeberangan!" Hinata tersulut, dengan merasakan tarikan kuat pada lengannya. "Maaf, kami tidak akan mengulanginya lagi."

"Kami kau bilang?" Hinata melipat kedua tangannya di depan dada, ia membuang tawanya ke udara. "Kau tidak dalam daftar kekacauan yang kubuat, terima kasih sudah menolongku, tapi sebenarnya kau itu cuma mengganggu."

Naruto Namikaze meletakkan kedua tangannya pada pinggul. Ia tidak suka mulut gadis itu. "Kau ini, sudah ditolong tidak terima kasih, malah menggerutu. Kau benar ingin bunuh diri di jalan ini? Bilang dong dari tadi, aku tidak bakal menolongmu."

"Kau yang tiba-tiba datang menarikku, mana bisa aku mengatakan padamu; kalau aku akan pergi bunuh diri!" orang-orang berbisik kemudian, tetapi Hinata tidak pernah peduli pada siapa pun, ia terlalu kaku, atau masa bodoh. "Enyahlah dari hadapanku, wajahmu itu mengganggu."

"Aku sama-sekali tidak mengerti dengan apa yang terjadi padamu," kata Naruto, agaknya mulai ikut geram, mengingat ia tidak pernah diperlakukan seperti ini, pemuda itu sangat merasa kesal. "Kau baru saja muncul di sekolah, tapi bilang sudah mengenalku, dan begitu tampak yakin, sori saja, aku tidak mengenalmu! Dan perlu kau tahu saja, aku tidak pernah bertemu cewek aneh dan bodoh sepertimu."

"Apa kau bilang? Cewek aneh dan bodoh?"

"Iya, memang perlu aku sebut apa?"

"Dasar rambut landak!"

"Apa kau bilang?"

Mereka sama-sama ingin mendekat, tetapi kedua pelayan mereka menghalangi. Memegangi majikan mereka masing-masing dari belakang dan tidak berharap ada keributan lebih selain apa yang terjadi barusan di tengah jalan.