webnovel

Penguntit

Bel pulang sekolah telah berdering sejak 5 menit yang lalu. Kini aku, Rebecca, Clairy dan Luna tengah mengobrol ringan sambil memasukkan kembali buku-buku ke dalam loker sekolah.

"Tampaknya kau memiliki penggemar baru," ujar Clairy tiba-tiba. Ia mengedikkan kepala kearah belakangku yang refleks membuatku menoleh ke belakang dan mendapati pria kutu buku tampak salah tingkah ketika aku memergokinya tengah menatapku.

"Apa? Siapa?" tanya Luna yang penasaran.

"Kutu buku itu," Clairy memberitahu. Luna ber-oh pelan.

Rebecca mengangguk-angguk "Siapa dia?" tanyanya.

Aku mengedikkan bahu.

"Eh, bukankah dia satu kelas dengan kita? Yang selalu duduk dibelakang, penyendiri," ujar Luna.

Rebecca tampak tak percaya. "Benarkah? Kurasa aku tak pernah melihatnya," ujarnya.

Aku menggeleng, menyangkal. "Yang benar saja, aku bahkan tak tau namanya," ujarku tak peduli.

Kami pun pergi keluar gerbang sekolah. Rebecca telah dijemput oleh pacarnya, David.

"Aku duluan," pamitnya pada kami sebelum benar-benar pergi.

Tak lama, Luna dan Clairy juga sudah dijemput dan menyisakan aku sendiri.

Aku menghela napas. Tampaknya Ayah sibuk sekali dengan proyek barunya hingga tak bisa menjemputku. Oke, tidak apa-apa. Lagipula jarak sekolah ke rumah hanya 15 menit dengan busway. Aku menunggu bus di halte depan sekolah sendirian. Langit lebih pekat dari yang terakhir kali kulihat. Udaranya pun kini juga menusuk-nusuk kulitku.

Dalam cuaca yang memburuk tiba-tiba itu, aku kembali diingatkan lagi dengan ramalan Moxie Pillarine, Sang Anak Cenayang Sirkus. Itulah julukannya di tempat tinggal kami. Ibunya, Mrs. Pillarine memang peramal sirkus terkenal, Sirkus Grand Barzava. Entahlah, aku juga belum pernah melihat sirkus itu. Namun sirkus itu cukup terkenal 3 tahun belakang, sebelum ada insiden kecelakaan pemain acrobat talinya. Well, kembali ke Moxie Pillarine.

Aku kembali mengingat ramalannya tentang cuaca buruk, Rebecca dan masa depanku. Apa ia benar-benar bisa membaca takdir? Aku menghela napas gusar. Apa sebenarnya maksud dari ramalan Moxie tentangku? Sesuatu yang besar? Apa itu? Semakin aku memikirkannya, semakin aku frustrasi dibuatnya.

Dalam kegusaranku itu, samar samar aku melihat sosok jauh di seberang jalan sana tengah menatapku. Aku tak bisa melihat wajahnya karena tertutupi mantel hitam yang ia kenakan. Aku mengerutkan alis, apa dia benar-benar sedang menatapku? Aku mengalihkan pandanganku ke kanan, kiri dan belakang. Manatahu saja ia sedang menunggu anaknya atau siapapun itu yang bersekolah di sini. Namun tidak ada siapa-siapa selain diriku. Aku kembali menatapnya. Ia masih di sana dan tampak masih menatapku. Sontak mataku melebar, teringat kembali kata-kata Moxie.

'Lyra, aku hanya ingin kau berhati-hati, selama ini ada beberapa orang yang mengawasimu … ada yang sangat dekat denganmu namun ada juga yang hanya memerhatikanmu dari jauh ...'

mengingatnya membuatku dengan cepat berlari kencang. Persetan dengan bus yang tidak kunjung datang. Aku hanya berlari dan berlari, ingin segera sampai ke rumah.

Aku berhenti tepat di halte selanjutnya. Napasku tersengal. Aku duduk sejenak di halte itu. Tertawa kecil, tak menyangka aku bisa berlari secepat ini dan menyangka bahwa orang itu telah tertinggal jauh di belakang sana. Kini tinggal beberapa langkah lagi sampai ke perumahan tempat tinggalku. Aku menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Setidaknya aku aman sekarang.

Keadaan halte sangat sepi, mungkin karena cuaca yang buruk sehingga orang-orang enggan keluar rumah. Tanpa sengaja aku menoleh ke belakang, dan langsung berteriak.

Bagaimana tidak? Seseorang itu masih di sana, berlari kecil ingin menyusulku.

Aku berlari lagi, tak peduli pada hujan yang mulai turun. Aku berlari hingga tak terasa sampai di depan rumah. Menoleh lagi dan ternyata orang itu benar-benar mengikutiku! Kini ia memakai payung hitam, wajahnya sempurna tertutupi. Aku membulatkan mata menggedor-gedor pintu. Astaga! Cepat bukalah!

"Lyra, tidak bisakah kau menekan bel?" Protes dari Ibu tak kutanggapi. Aku segera masuk, menyuruh Ibu menyingkir dari pintu dan menguncinya rapat-rapat.

Setelahnya aku baru bisa bernapas lega. Aku terduduk di lantai Ruang Tamu.

Ibu menghampiriku. "Apa ada?" tanyanya khawatir.

Belum sempat aku menjawab, suara bel rumah berbunyi.

"Tidak, jangan dibuka, Bu!" seruku ketika Ibu ingin membukakan pintu. Ibu mengerutkan alis tak mengerti.

"Penguntit," bibirku bergerak-gerak mengucapkan kata itu namun tampaknya Ibu tak bisa membacanya.

Seseorang itu memencet bel berkali-kali, tampak tak sabaran. Jantungku berdegup kencang, penguntit bisa senekat itu? pikirku.

Ibu yang tampaknya mulai geram juga akhirnya membukakan pintu untuknya dan aku tak bisa lagi melihatnya karena terlalu takut akan kemungkinan buruk yang mulai melayang-layang di pikiranku—aku menutup mataku dengan ke dua tangan. Kudengar Ibu dan seseorang itu berbincang-bincang. Entahlah, aku tak mau menyimak pembicaraannya karena terlalu takut.

Tuk!

Tiba-tiba aku merasakan sesuatu membentur kepalaku. "Tidak, jangan!" seruku tanpa membuka mata.

"Hey, buka matamu,"

Eh? Aku sangat mengenal suaranya. Perlahan aku membuka mata.

"Dasar! Aku menemuimu, kau malah berlari! Ingin mengajakku bermain kejar-kejaran tidak begini caranya," ujarnya. Napasnya juga tersengal.

"Kakak!" seruku ketika ia memukul-mukul kepalaku dengan ujung payungnya.

Ibu malah tertawa kecil melihat kami.

"Lagipula kau berpenampilan berbeda, mengenakan hitam-hitam dari atas ke bawah, wajar saja aku tidak mengenalmu, bahkan kau mengecat rambutmu dengan warna hitam! Kau sudah terlihat seperti pengikut kelompok Gothic yang sangat menyeramkan!" Aku membela diri.

"Ini menjadi trend di New York, kau saja yang tidak tau," Ia mendelik menatapku.

Ibu segera menengahi kami dan menyuruhku untuk segera berganti baju. Aku segera ke kamarku dan melaksanakan titah Ibu. Yeah, dia—yang kukira penguntit—adalah kakak angkatku yang bekerja di New York.

Aku menghela napas dan duduk di tepi ranjang, menatap Dreamcatcher. Seketika aku baru ingat jika aku belum menghubungi Berta dan memberikan kabar baik itu padanya. Aku segera meraih ponsel dan menghubunginya, namun ia sama sekali tidak mengangkatnya. Aku mengernyit heran. Aneh, tak biasanya ia menolak panggilanku.

"Uughh, kamarmu sungguh kuno, kau harus merubahnya,"

Aku menoleh dan mendapati kakakku tengah memerhatikan setiap inci kamarku. Kini ia hanya mengenakan tank top dan hot pants. Aku mengedikkan bahu tidak peduli. Menurutku ini cukup bagus.

"Ayolah, apa yang akan dibicarakan teman-temanmu nanti jika mereka melihat kamar yang lebih mirip seperti perpustakaan tua ini," ujarnya lagi.

Aku bangkit berdiri, menyerah. "Oke, lalu apa yang harus kita rubah?" tanyaku.

Ia menyeringai, "Semua,"

Dan begitulah kami mulai mendekor ulang kamarku, yeah, bagaimanapun aku tidak mau dibilang kuno oleh teman-temanku yang—ehm, kalian tau kan—sangat populer itu. Cepat atau lambat juga nanti kami akan saling menginap.

"Heh, bantu aku untuk memindahkan rak besar ini," ujarnya.

Aku mengangguk. Kami menggeser rak buku besar yang lumayan berat itu dan memindahkannya ke sisi yang lain.

"Lyra, lihatlah!" serunya yang tengah mungutak-atik sesuatu di dinding yang tadinya tertutupi oleh rak buku.

Aku menghampirinya. Ia tanpa seizinku merobek wallpaper dinding itu. Sebelum aku sempat memarahinya, ia berdecak kagum, membuatku lantas menoleh. Dan betapa terkejutnya aku ketika melihat lingkaran besar tergambar jelas di dinding itu dengan ornamen unik ditengahnya.

"Keren," gumamnya.

Aku menelan ludah. Apa ini? Aku merasa tidak asing dengan gambar ini seakan aku pernah melihatnya sebelumnya.

"Kita harus menutupnya," ujarku tergasa. Gawat jika sampai Ibu tau.

"Hey, mengapa? Menurutku itu cukup keren," ujarnya lagi.

"Ibu akan marah jika melihatnya," Aku menjelaskan dengan singkat. Ia terkekeh pelan, membuatku bingung. Ada apa dengannya?

"Dengar, Ibu tidak akan marah, bilang saja aku yang menggambarnya." Ujarnya.

Aku berpikir sejenak. Kakak angkatku memang jarang sekali dimarahi bahkan bisa dibilang tidak pernah. Aku tahu, itu bukan karena Ibu lebih menyayanginya daripada aku. Melainkan masa lalu Kakakku yang sudah cukup kelam, membuat Ibu tidak memiliki alasan untuk menambah bebannya lagi. Terlebih ia kini telah dewasa.

Aku mengangguk setuju. "Baiklah," ujarku.

Aku tanpa sengaja melirik ke arah lengan atas kirinya yang bertato "Ngomong-ngomong, tato yang bagus,"

Ia sumringah, melirik tatonya sekilas lantas berkata "Yeah, aku tau,"

"Apa kau benar-benar masuk ke kelompok itu?" Tanyaku dengan tatapan penuh selidik.

"Ke--kelompok apa maksudmu?" Tanyanya balik, tampak tergagap.

Aku mengedikkan bahu. "Yeah, Gothic itu,"

Ia melotot dan lagi-lagi menjitak kepalaku.

"Kau gila? Aku tak pernah suka kelompok itu," ujarnya tidak peduli dan kami kembali kepada rutinitas awal.

Mendekor ulang kamar.

***

Malam harinya hujan badai mengguyur kota. Aku, Ibu dan Kakak kini berada di ruang bawah tanah untuk berlindung sambil harap-harap cemas sebab Ayah belum juga pulang.

"Sebaiknya ada yang di atas barangkali Ayah kesulitan membuka kunci pintu," usul Kakak.

Aku mengangguk setuju. "Baiklah," aku berkata dan langsung beranjak dari dudukku.

"Aku akan mengeceknya," ujarku.

Ibu tampak begitu khawatir "Biar Ibu saja," ujarnya.

Aku menggeleng. "Aku akan baik-baik saja, Bu," ujarku menenangkan.

"Berhati-hatilah," ujar Kakak.

Aku mengangguk sekilas dan segera menaiki tangga menuju Ruang Tamu.

Aku berjalan perlahan. Angin di luar sana begitu kencang, mereka seakan ingin mendobrak pintu dan jendela, memaksa untuk masuk. Aku menyusuri ruangan demi ruangan, memastikan semua jendela terkunci rapat. Hingga aku dikejutkan cahaya yang bersinar terang dari kamarku. Aku juga mendengar suara berisik darisana.

Dengan sangat berhati-hati aku memasuki kamar dan betapa terkejutnya aku ketika melihat segerombolan kelelawar di dalam kamarku tengah mengitari Dreamcatcher yang diberikan Berta. Aku segera berlari mendekat, ingin mengusirnya. Namun mereka terlalu banyak dan aku baru menyadari bahwa jendela kamarku terkunci rapat. Lalu, darimana mereka berasal?

Bagaimana tanggapan kalian setelah membaca Chapter ini??

Aku penasaran bagaimana raut wajah kalian ketika tau penguntit itu adalah kakaknya sendiri.

Adakah yang berharap lebih dengan sosok penguntit ini?

Anyways, aku membuat kalian penasaran di akhir paragraf, hehee semoga kalian benar-benar penasaran dan menantikan chapter selanjutnya okee??

Have some idea about my story? Comment it and let me know.

LailArahmacreators' thoughts