11 tahun yang lalu, SMA PELITA JAYA
Senin, 08
Hari ini merupakan hari yang paling Kania benci seumur hidupnya. Pagi ini, dia akan melanjutkan jenjang pendidikannya ke dunia SMP, berkutat dengan tugas ini dan itu, semacam PR lah apalah itu dan itu artinya Kania harus merelakan masa kecilnya terenggut paksa oleh keadaan−padahal rasanya baru kemarin Kania mencoba rasa manis dari kembang gula. Saat dia berumur sepuluh.
Ah, sayangnya...
Ibunya membangunkannya sangat pagi sekali, dengan harapan mereka akan tiba di sekolah tanpa terjebak macet. Asal tahu saja, Kania paling benci dengan yang namanya bangun pagi, dan SMP ini mengharuskannya datang jam 07.00 tiap harinya. Alhasil dia harus bangun sedari jam 04.30 agar sempat mandi, ikut sarapan bersama mama dan papa, dan baru berangkat.
Lupakan soal berdandan, Kania tidak suka.
Dia menatap gedung sekolah sekali lagi, yang terkesan megah, yang akan memberikannya secercah harapan. Bukan. Bukan masalah ilmu, dia hanya ingin merasakan sensasi jatuh cinta sedalam-dalamnya, seperti yang tergambar dalam setiap novel romance remaja yang selalu dia baca. Rasanya begitu sweet jika membayangkan hal seperti itu.
"Ah... Ternyata aku sudah dewasa,"
"Kamu, ada apa sih, heboh banget mama lihat."
"Gak, gak papa kok. Aku hanya senang aja."
"Bukannya tadi kamu rewel dan gak mau sekolah hari ini. Pake merajuk ke papa segala lagi..." sorot matai bunya terlihat jengkel menatap kelakuan putrinya, tapi mau bagaimana lagi, putrinya memang sedikit aneh.
"Ih, itu kan tadi, sekarang beda lagi,"
"Terserah kamu sajalah," Ibunya tak menggubris barang sedikit pun. Justru dia semakin memepercepat langkahnya, agar cepat sampai ke ruangan kepala sekolah. Diingatkan tentang diskonan, ibunya memang selalu connect dengan brosur tadi pagi. Di mall X sekarang sedang digelar pre-order barang mewah yang masih murah, saying kalau dilewatkan begitu saja.
"Ah, mama, jalannya pelan-pelan napa? Inget ya ma, ini bukan mau buru fashion di mall yang lagi diskonan, ini Cuma mau nganterin anaknya ke penjara juga."
Yups, Penjara. Sekolah bagi Kania memang sesederhana itu. Sangat menyeramkan bukan?
"Hei, bengong aja. Nama lo siapa?" Kania terlonjak kaget saat bahunya ditepuk sedemikian rupa, membuatnya terhempas dari lamunannya begitu saja.
"Oh−" Kania tak mengerti dengan gadis manis yang berada di depannya. Dia sedang duduk melamun, setelah pelajaran yang membosankan itu usai, dan langsung direcoki oleh orang aneh ini.
"Nama lo siapa, gadis berkuncir dua, yang gak pake make up, dengan behel warna-warni?" Dia tersungut-sungut, Nampak kesal.
"Gu-gue," tunjuk Kania pada diri sendiri.
"Fix, lo gadis gila. Ya iyalah, siapa lagi. Lo pikir gue ngomong sama tembok,"
"Oh−"
"Gue ngomong Panjang lebar, dan lo hanya bales 'OH" kali ini intonasinya semakin meninggi, menirukan bunyi Oh yang membuat Kania sebal.
"Nama gue Kania. Biasa aja dong ngomongnya ga usah nyolot," balas kania tak mau kalah. "Ealah, gue kira lo ada kelainan tadi. Haha," ga lucu. "Nama gue Putri, salken ya." Putri mengulurkan tangannya dan langsung disambut Kania dengan cepat. Semoga urusannya dengan gadis ini cepat selesai. Dia tidak rela jika waktu melamunnya bersama cogan-cogan khayalannya dirusak oleh orang aneh yang bernama Putri.
"Eh, lo lagi ngapain sih?" Serius. Kania pikir setelah dia beramah-tamah seperti itu, Putri-putri ini akan segera pergi, namun nyatanya malah berbasa-basi.
"Gak ada"
"Loh kok gak ada, gue lihat lo dari mulai pelajaran lo seakan sibuk sendiri. Tertawa, cekikikan, dipojokan. Teman sekelas kita bahkan udah beri kamu gelar loh "orang jelek aneh". Hahaha lucu, ya. Gue gak ngerasa lo aneh loh, lo ternyata..."
"Lo.. lesbi" tanya Kania hati-hati. Secara otomatis, kedua tangannya menyilang di depan dada. Tanda cewek dilanda bahaya.
"Wha-what, lo bilang apa? GUE LESBI. Fix lo aneh. Gue normal jirr, tau dari mana lo gue beda orientasi?"
"Kata lo tadi lo terus merhatiin gue dari mulai jam masuk, sekarang udah istirahat. Apa lagi coba kalo lo bukan lesbi, cewek yang tertarik sama cewek?" dia menjelaskan dengan gemetar, tidak peduli dengan ludahnya yang muncrat kemana-mana atau rasa tidak enaknya menahan pipis. Dia ketakutan. Kania sering lihat berita bersama papanya tentang kasus pelecehan seksual. Dan kali ini mungkinkah dia korban selanjutnya? Dilihat dari betapa kosongnya kelas, karena murid lain sedang berpesta pora di kantin.
"Lo bilang gue lesbi?" tunjuk Putri pada dirinya sendiri. Kania mengangguk, mengiyakan. "Gue?" Kania menatap lantai tak berani melihat corak wajahnya. "Gue normal, Nia. Gue suka cowok. Bahkan gue tahu dan punya beberapa kontak cowok keren, tengil, ganteng, popular, pinter..." Dia menghitung jemarinya. "Ah pokoknya cowok terhot yang ada di sekolah ini, deh"
"Se-serius?" bola mata Kania seakan loncat dari kedua matanya. COWOK. Dia mencoba mengeja kalimat sacral itu. G A N T E N G. Uhhh jangan bilang dia mimisan.
"Emm gue boleh lihat gak?" canggung. Tapi mau bagaimana lagi, stok cowok ganteng seolah mengibarkan semangat di hatinya. Stok cowok ter- pokoknya selalu mendebarkan jantungnya. Inderanya seolah mati rasa, dan rasa itu berubah jadi cinta. Fix, ini lebay.
"Ma-maksud gue..." kata-katanya menggantung seolah ditelan udara, semangat yang tadi menggebu kian terkikis. Gugup. Mampu menciptakan suatu senjata untuk menghancurkan rasa percaya diri Kania. Ada dua hal yang selalu saja membuatnya gugup. Satu, bertemu cowok tampan, ganteng, ah pokoknya itulah Namanya. Bahkan, ketika dia masih SD pun, dia sering merasa gemetar, dan yang tahu hal ini adalah omnya−Ervan, yang berjarak delapan tahun dengannya. Entah omnya berpengalaman dalam menilai raut muka wanita atau punya indera ke enam, dia selalu berhasil membuat Kania mendegupkan jantungnya dengan gombalannya yang receh.
Tapi, om Kania itu benar-benar tampan.
Kedua, saat ada orang yang menatapnya intens seolah meminta perhatian lebih. Seperti sekarang ini contohnya, Putri menatapnya tajam dan hal itu membuatnya salah tingkah. Kedua jemarinya semakin bertaut di atas rok biru miliknya. Kedua kakinya semakin merapat satu sama lain.
"Emma da yang aneh?"
Hening. Satu detik. Dua detik. Bahkan helaan napas pun bisa terdengar. Dan kali berikutnya, "Hahahahahaha" Putri tertawa sekencang-kencangnya. Tawa renyah, tanpa beban.
"emm apa ada yang aneh. Plis. Jangan tertawa terus, gue takut." Matanya meredup, menyiratkan ketakutan yang cukup kentara.
"Akhirnya,.. Tuhan. Akhirnya."
"Akhirnya apa?"
"Akhirnya gue nemu sohib penggila cogan. Wah, kayanya memang kita ditakdirkan untuk menjadi sahabat baik deh. Yang saling mendukung untuk mendapatkan cowok ganteng di sekolah ini. Sini gue tunjukin ke lo foto-fotonya, biar lo hapal, paham, ngarti" Putri menarik tangan Kania, membimbingnya agar sampai di meja nya. Paling depan pojok sebelah kiri. Putri menarik sebuah buku yang di dalamnya berisi foto cowok dan biodata.
"Ini adalah harta karun gue yang paling berharga," tunjuknya pada buku bersampul emas itu, dengan tulisan yang sengaja dibuat besar namun bagus.
My
FUTURE Husband
Setidaknya kata itulah yang pertama kali Kania lihat pada covernya. 'My Future Husband'. Dengan perlahan-lahan, seolah kertasnya akan sobek saja jika Putri sembarang dalam membukanya, satu-persatu halaman kini menunjukan apa yang selama ini Kania cari. Benar kata Putri, ini merupakan suatu harta karun yang amat penting dan berharga.
"Lo inget-inget ya, Namanya. Karena gue gak mau nunjukinnya dua kali ke lo"
"Yah, kok gitu si?" Wajah Kania memeberengut kesal.
"Bodo amat. Intinya lo pilih mana yang mau lo kejar sebagai 'future husband' lo nanti. Pilih satu ya, ga boleh lebih. Karena wanita itu ga boleh poliandri−memadu pasangannya yang boleh Cuma poligami dan itu berlaku buat cowok."
"Emang lo mau dipoligami?"
"Ya gak lah, gila lo. Meskipun, dia tajir, macho, dan semua hal sempurna yang melekat pada diri seorang cowok, najis gue kalau digituin," Kania mengangguk. "Di mana martabat kita sebagai seseorang yang harus diperjuangkan." Kania mencibir dirinya sendiri, ya benar seorang wanita itu pada hakikatnya hanya boleh dikejar dan bukan mengejar.
"Tapi, beda kasus dengan kita. Kita adalah seorang pejuang yang mencari suami idaman. Ingat coy, demi masa depan. Demi kebahagiaan lo dan anak lo entar. Lo musti pilih-pilih bibit unggul dari sekarang sebelum keabisan. Ingat, populasi cewek di dunia ini lebih banyak dari cowok, dan walaupun cewek itu kodratnya dikejar, namun sekali-kali lo juga musti 'ngejar. Kembali ke teori awal kalau jumlah cewek itu lebih banyak dibandiing cowok, maka bisa disimpulkan kalo kita ini semuanya adalah saingan. Seperti pepatah "siapa cepat dia dapat,"
Lagi-lagi, Kania mengangguk.
"Nah, Oke. Untuk cowok paling pertama yang bakal gue sebutin yaitu seorang famous yang fashionable banget dengan wajah asia-asia gitu. Mukanya bahkan mungkin lo udah hafal. Dia sering dalam kategori banget, muncul di IG took fashion terkenal, jadi brand ambassador, dan pernah beberapa kali masuk TV." Kania mendengarkan setiap kata yang terucap dari mulut Putri, bahkan dia memfokuskan diri pada pergerakan bibirnya.
"Dia sering banget bolos sekolah untuk kegiatan pemotretan lah, syutinglah, dan segala keperluan di dunia entertain. Orang tuanya dukung dia banget, katanya kalo pun dia gak naik kelas, papa mamanya bakal ngadu kesekolah. Ah, enak y ajika mimpimu selalu didukung keluarga. Sayangnya..." Putri tak melanjutkan kata-katanya. Dia hanya menatap Kania sambil mengukir senyum tipis. Kania tahu jika itu adalah senyuman tulus yang diberikan seorang teman. Dan Kania cukup mengerti jikalau ada yang janggal dengan senyum manis itu. Kania balas menatap Putri di sampingnya. Lo kenapa si, Put?
"Nah oke, gue ga sabra pengen nyebutin Namanya keras-keras." Sebenarnya tidak perlu Putri sebutkan juga dia sudah tahu nama lelaki itu. Di buku yang disodorkan Putri ini, selalu ada wajah dan nama yang ditulis besar-besar. Dan Kania cukup familiar dengan wajah ini.
"Cowok ganteng penyuka bakso di kantin sekolah, yang suka nyerobot antrean siswa lain namun sangat takut sekali dengan kucing. JENG JENG JENG Namanya adalah..."
***
Dear Diary,
Ku pikir sekolah itu akan sangat buruk sekali. Hanya berkutat pada aktivitas yang tidak penting, menurutku. Namun, hari ini−hari pertama aku masuk sekolah aku sudah terguncang dengan kebahagiaan yang memporsi seluruh hatiku. Aku bertemu dengan si bawel Putri, seorang gadis yang akan menjadi temen baik gue di sekolah. Pagi ini, dia berhasil mengusir rasa jenuhku dan menggantinya dengan rasa penasaran mengenai cowok-cowok ganteng yang ada di sekolahku.
Dan aku yakin, tak lama lagi aku akan menemukan keping hati yang lain. Yang akan menjadi pasangan sekaligus seseorang yang akan menjadi pelipur lara, pembawa kebahagiaan.
Intinya, semangat menjalani sisa-sisa hidupku selama enam tahun ke depan di sekolah. Dan aku rasa, ini akan menjadi hobiku selain membaca.
Semangat Kania,
Kania