webnovel

Lorex 19

Sebuah benda misterius berbentuk bola besi, menghantam halaman depan rumah. Roki Helberm datang mendekat lalu tiga serum hitam misterius keluar dari dalam bola tersebut. Tiga serum tersebut masuk ke dalam tubuhnya secara paksa. Tubuhnya mulai terbakar dan bermutasi menjadi mutan. Bola besi itu, pernahan menyatu pada tangan kanannya hingga menjadi tangan besi. Tanpa sengaja, dia terlempar ke tahun 2500 dan terdampar di sebuah kota tua penuh dengan zombie. Di sana dia bertemu dengan Profesor Xenom dalam wujud hologram. Beliau merupakan orang bertanggung jawab membuat serum dan memaksanya datang ke tahun 2500. Dalam perjalanannya, Roki bertemu dengan seorang gadis kecil bernama Angela. Dia merupakan turunan terakhir keluarga Van Helix setelah kematian kakaknya di kota itu. Kemudian mereka bertiga, bertemu dengan Ninja Cyborg di dalam sebuah gedung. Cyborg mengucap sumpah setiap kepada Roki lalu dia memberi nama Jhon Luwis. Perjalanan mereka dimulai menuju Laboratorium Bawah Tanah milik Profesor Xenom. Sesampainya di sana, Roki melakukan time travel ke tahun 2015 lalu kembali ke tahun 2500 dan memulai dari awal untuk menyusul kekuatan berperang melawan Kota Horizon.

Tampan_Berani · Khoa huyễn
Không đủ số lượng người đọc
152 Chs

Tempat tinggal sementara

Jeritan kesakitan dan raungan Zombie, terdengar di balik pintu kamar mandi. Sementara Roki tersenyum puas, sudah menjalankan aksinya membalas dua kali lipat dari apa yang dilakukan kakek psikopat itu. Beberapa saat kemudian, terdengar seseorang sedang memanggil lalu mereka bertiga mencari dimana suara tersebut. Namun betapa mengejutkan mereka, rupanya suara itu berasal dari sosok patung manusia, menjadi sesembahan kakek psikopat.

Mereka berempat, melihat sebuah fakta mengejutkan yaitu jantung serta organ lainnya yang masih bergerak. Sebelumnya, mereka menyangka bahwa manusia yang dijadikan patung sudah mati, dan faktanya ia masih hidup. Suatu cairan, keluar dari sela topengnya lalu Roki pun membukanya. Tampak sosok pemuda, bermuka pucat dengan raut wajah tersenyum menatap mereka berempat.

"Apakah kakek gila itu sudah mati?" Tanya pemuda tersebut.

"Sudah," jawabnya sembari menahan tangis.

"Akhirnya dendamku, beserta orang-orang disini terbalaskan," ujarnya.

"Sebenarnya apa yang terjadi?" Tanya Profesor Xenom pada pemuda tersebut, menatap prihatin.

Pemuda itu mulai bercerita, mengenai apa yang sebenarnya terjadi. Sebelum mulai bercerita dia pun memperkenalkan diri, pemuda itu bernama Steve Verhesin, penduduk Desa Verlan yang berlokasi 4 km dari sini. Kesehariannya, dia bekerja sebagai pekerja serabutan.

Semua itu, dia lakukan demi merawat seorang adik serta melamar seorang gadis di Desanya. Sudah lima tahun lamanya Desanya di teror oleh sosok penculik misterius, ketika malam hari semua orang masuk ke dalam lalu mengunci pintu dan jendelanya masing-masing serapat mungkin. Seketika suasana di Desa berubah menjadi kampung hantu.

Tak ada satu toko pun yang buka, kecuali toko senjata buka selama 24 jam. Warga setempat, mencurigai pria berkumis baplang sebagai pelaku dibalik penculikan tersebut. Dan akhirnya dengan terpaksa, pemilik toko tersebut harus menutup usahanya dan pindah ke tempat lain. Dari situlah, awal dari mimpi buruk awal mimpi buruk dimulai. Satu minggu kemudian, setelah kepergian sosok penjual tersebut, penculikan dan pembunuhan semakin meningkat. Banyak orang yang menjadi korban termasuk dirinya.

Sebelum tragedi itu terjadi, adik Stave sedang mengalami demam tinggi. Selama adiknya sakit, dia merawatnya di dalam rumah seharian tapi suhu tubuhnya tak kunjung turun. Terpaksa pada pukul sembilan malam, dia pergi seorang diri mengunjungi sebuah apotek yang ada di Desanya, sebab jasa pengiriman lokal sudah tutup. Dia menelusuri jalan setapak, seorang diri hanya ditemani lampu jalan. Suasana Desa yang sunyi, serta mencengkram.

Kemudian dia pun mempercepat langkahnya, agar segera tiba di apotek. Sebuah benda tumpul, tiba-tiba saja mengenai kepalanya dengan sangat keras. Darah pun mulai mengucur dengan jelasnya, sebelum dia menutup mata Stave melihat sosok orang yang telah memukul kepalanya.

Setelah sadar dia berada pada sebuah ruangan, dipenuhi oleh daging dan potongan tubuh manusia. Sosok pria tua, berwajah dingin berdiri di hadapannya. Tanpa memperkenalkan diri, kakek gila itu bercerita mengenai pasukan pembebasan seperti yang kakek itu ceritakan pada Roki.

Puas bercerita kakek itu, langsung memutus tangan dan kakinya, tanpa obat bius sama sekali. Setiap kali dia merintih kesakitan, kakek itu langsung memukul wajahnya terus menerus hingga ia terdiam. Darah pun semakin bercucuran, raut wajahnya semakin pucat menahan rasa sakit yang luar biasa. Sebelum darahnya habis, kakek itu memasukan sebuah selang dan kabel hingga seperti sekarang.

Tak ada yang bisa dia pikirkan, selain kesembuhan adiknya serta Sang Kekasih yang menunggunya. Dan ternyata kejadian itu terjadi, sekitar sepuluh tahun yang lalu. Suatu keajaiban, Stave masih hidup hingga sekarang.

"Syukurlah kini aku bisa melihat, pasukan pembebasan sesungguhnya seperti kalian. Sebelum aku mati, katakan pada Adikku bahwa diriku sangat menyayanginya," ucapnya meminta pada Roki.

"Kalau begitu, biar kamu sendiri yang mengatakannya. Roki gunakan Genix di tangan kananmu untuk merekam apa yang dia katakan," perintah Profesor Xenom pada Roki.

"Bagaimana caranya?" Roki bertanya, karena tidak mengerti apa yang harus dia lakukan.

"Ikuti kataku, Vidio Scanner Ball Mode activated"

"Vidio Scanner Ball Mode activated!"

Secara perlahan, tangan besi pada tangan kanannya terlepas lalu Genix merubah bentuknya seperti pertama kali dia menemukannya. Sebuah lensa kecil yang ia lihat mengarah pada Stave Verhersin. Professor pun menganggukkan kepala pada Stave, agar dirinya mulai untuk berbicara. Stave pun mulai berbicara, menyampaikan pesan terakhir sebelum kematiannya sementara mereka hanya diam menyaksikan.

Setiap kata yang diucapkan oleh Stave, membuat air mata Roki dan Angela mulai menetes, sedangkan Profesor dan Jhon hanya menundukkan kepala sebagai tanda duka dan kesedihan serta penghormatan sebelum menjelang kematiannya. Selesai menyampaikan pesan, Genix pun perlahan kembali melekat pada tangan kanannya. Lalu dia pun tersenyum lalu dia meminta Roki untuk mendekat.

"Hei pahlawan, tolong sampaikan pesanku pada mereka yah?" Ucapnya sembari tersenyum.

"Apa yang kamu katakan? Aku ini bukan seorang pahlawan, hanya seorang pengembaraan berjalan untuk tujuan egoisnya," ujarnya membantah sebutan pahlawan yang ditujukan pada dirinya.

"Tapi nyatanya, kamu sudah membebaskan arwah penasaran disini. Dan kamu juga sudah menyelamatkanku, walau berujung kematian. Tapi entahlah kawan, aku merasa bahwa dalam beberapa tahun kedepan sosokmu akan dikenal oleh seluruh umat manusia, sebagai orang penting, memegang gelar seorang pahlawan. Setidaknya aku ingin mengatakan hal itu sebelum pergi ke alam baka," ucapnya dengan raut wajah sangat pucat.

"Jangan berharap lebih padaku, bisa saja aku jadi penjahat atau hal yang tidak sesuai dugaanmu," kata Roki sambil berlinang air mata, sembari memintanya agar tidak berharap lebih pada dirinya.

"Ha.ha.ha aku tau dan aku tidak menyesalinya. Oh iya kawan bisakah, kau cabut selang ini dari tubuhku. Setelah kau mencabutnya, secara perlahan aku akan mati jadi tolong yah," pinta Steve pada Roki.

Dengan berat hati Roki, pun mencabut selang dan kabel yang menancap tubuh Steve satu persatu. Rasa sakit mulai Steve rasakan, ketika proses pencabutan selang berlangsung. Pemuda itu tersenyum bahagia, dengan raut wajahnya yang semakin pucat sedangkan Roki berlinang air mata. Dia sempat berkata, bahwa sebenarnya dirinya tidak membencinya. Hanya saja dirinya tidak menyukai caranya, dia mengerti kenapa kakek itu bisa berubah menjadi pria gila yang haus darah.

Steve berandai-andai dirinya bertukar posisi dengan kakek itu, mungkin saja dia akan melakukan hal yang sama. Detik-detik menjelang kematiannya, Steve pun berterima kasih pada mereka berempat karena telah mengabulkan keinginannya yaitu kebebasan. Juga Roki berkata sekali lagi, bahwa jangan berharap lebih pada dirinya dan sebuah pesan yang harus di sampaikan pada adiknya jika masih hidup. Dia pun tersenyum lalu berkata, bahwa dirinya tidak menyesalinya dan jika memang adiknya benar-benar tidak ada ia tidak mempermasalahkannya.

Juga dia berandai-andai untuk terakhir kalinya, mengenai kehidupan yang damai tanpa adanya zombie dan monster. Dan akhirnya Steve, pergi meninggalkan dunia ini. Setelah itu, mereka bertiga melakukan pekerjaan terakhir, yaitu mempersiapkan tempat peristirahatan terakhir yang indah bagi mereka semua. Mereka membagi tugas, Roki dan Angela memasang peledak pada tiang penyangga, sedangkan Jhon menyiram bensin pada seluruh ruang bawah tanah secara hati-hati.

Selesai melakukan pekerjaan masing-masing, Jhon melemparkan pelontar api pada tempat yang sudah disiram bensin, sementara mereka bertiga naik ke atas dengan sebuah lift. Sesampainya di atas, Roki pun menekan pemicunya dan bom yang terpasang pada tiang-tiang penyangga dan hancur begitu saja. Tanah sekitar bangunan kecil tersebut amblas, menyisakan puing-puing bangunan di atasnya. Kini para korban, bisa beristirahat dengan tenang, sebagai tanda penghormatan terakhir. Mereka semua menunduk lalu berdoa sesuai keyakinan mereka masing-masing. Selesai berdoa, mereka pun berjalan masuk ke dalam rumah, kini untuk sementara waktu rumah kakek itu menjadi milik mereka.

"Akhirnya bisa beristirahat," kata Roki sembari merebahkan tubuhnya di atas sopa.

"Itu benar nak, setelah semua yang terjadi setidaknya kalian masih bisa bernafas lega," ucap Profesor pada mereka bertiga yang sedang duduk dan berbaring dengan santainya.

"Jhon keluarkan semua yang kamu dapatkan di rumah ini," perintah Roki pada Jhon.

Mendengar perintahnya, Jhon langsung menekan tombol Bagscan lalu munculah barang-barang yang ia dapatkan layaknya mengeluarkan sebuah pokemon. Sebuah senjata M1 Garand dengan sangkur yang masih terpasang, sebuah kotak kayu besar berisi amunisi, pistol tipe Desert Eagle beserta amunisi dalam kotak yang sama, armor dada hitam, sepuluh daging kalengan, roti kering, rekening dan dompet berisi sepuluh ribu dolar.

Kedua mata Roki terbuka sangat lebar, lalu melihat barang-barang tersebut layaknya melihat harta karun.

Kemudian Roki berjalan mendekati barang- tersebut, lalu mengangkat senapan dengan kedua tangannya. Dia pun mengelus layaknya mengelus sebuah gitar, sama halnya dengan amunisi yang tergeletak di atas lantai. Terkadang dia mencium kedua senjata miliknya, sehingga mereka bertiga menatap aneh dirinya. Sungguh pendapatan yang luar biasa untuk sekelompok pencuri seperti mereka berempat.

"Apa bagusnya senjata kuno seperti itu? Amunisinya saja hanya ada delapan, daya hancurnya tidak cukup kuat menembus kendaraan biasa yang berlapis baja, dan juga pistol itu yang sedang kau cium sejak tadi. Mungkin daya hancurnya cukup mematikan, hanya saja tekanannya terlalu kuat, dan juga amunisinya juga sedikit," ujarnya merendahkan senjata kuno yang sedang dia pegang

"Aku tidak peduli perkataanmu Profesor, bagiku mereka terlihat seperti harta karun. Daripada kamu terus mengoceh, kirimkan senjata atau apapun yang berguna," sindir Roki pada Sang Profesor.

"Mana mungkin aku melakukan hal itu, kau pikir ini semua adalah sebuah permainan game begitu? Butuh perhitungan yang matang untuk melakukannya nak, lagi pula petualangan kalian semua tidak akan terasa seru," ujarnya pada Roki.

"Kak? Boleh aku memasak ini? Perutku sudah lapar," ujarnya sembari memegang daging kaleng di tangannya.

"Kamu bisa memasak?"

"Bisa masak air sih," timbal gadis polos itu dengan nada bercanda.

"Ya sudah, biar Jhon yang akan membantumu memasak. Setelah makan kita akan makan secara bergantian," perintah Roki pada mereka berdua.

"Siap laksanakan," ujar kompak Angela dan Jhon.

Dan akhirnya mereka berdua, pergi ke dapur untuk mempersiapkan makan malam. Sedangkan Roki tidur di atas sofa sambil menikmati sejuknya pendingin udara. Selesai memasak, gadis kecil itu membangunkan Roki yang sedang tertidur lalu mereka berdua duduk menikmati makan bersama di atas meja.

Suasana hangat kembali dia rasakan, dia teringat kampung halamannya di Negeri Nusantara. Biasanya dia sering berbincang dengan kedua orangtuanya sembari makan menikmati acara TV. Kini semua itu tinggal kenangan, namun dia semakin bertekad agar dirinya segera kembali ke kampung halamannya apapun yang terjadi.