webnovel

LADUREE

Kisah perempuan jutek, judes, keras kepala, introvert, namun memiliki hati yang pure. Selain jones di usia 36 tahun, Ree juga seorang halu akan lelaki yang menurutnya 'perfect' untuk dijadikan pasangan atau untuk sekadar dipandang mata. Gagal membangun karir kantoran, membina hubungan asmara, belum lanjut kuliah master, hingga berdagang konvensional dan multi level marketing, menjadi pengiring sejarah hidup seorang Ree yang bertipikal pantang menyerah. Namun, Ree harus terlibat cinta lokasi saat kembali ke dunia perkantoran yang pernah digelutinya. Kisah asmara yang dibungkus cekcok dunia perkantoran dibalut luka batin, yang baru Ree ketahui bahwa dia lahir dari seorang toxic mother. Apakah Ree mampu menyembuhkan dirinya dari tekanan mental akibat ulah sang ibu? Bagaimana pula akhir dari kisah cintanya?

MetroWoman · Thành thị
Không đủ số lượng người đọc
125 Chs

Detik menegangkan

Hari ini aku menggunakan lift. Tubuhku sakit dan kurang tidur gara-gara banjir kemarin. Mataku terlihat panda tapi tidak terlalu kelihataan, karena sudah diakali menggunakan bedak cair daganganku.

"Selamat pagi, Pak."

Dia berada di ruangan sepagi ini saat aku datang. Jantungku deg-degan duduk di hadapannya, postur tubuh tegap dan siap menunggu perintah atau membahas topik pekerjaan yang lainnya. Profesional adalah prinsipku, jadi melupakan rasa malu yang menghinggapi sejak kemarin karena pesan chat, harus kubuang jauh-jauh.

Kertas laporan neraca triwulan milik perusahaan ini sudah berada di mejanya. wajahnya serius sekali. Aku suka dia yang seperti ini. Pantas dia tidak menjawab sapaku tadi.

"Jam sebelas saya rapat di Zoune, saya minta siapkan surat kontrak, lampiran anggaran biaya operasional, dan –"

Dia menggantung kalimatnya tanpa mengalihkan mata dari laptop dan papan huruf. Konsentrasinya terganggu ketika menyampaikan sesuatu, sama sepertiku. Dia mendorong kursi ke belakang dan bangun ke lemari mengambil map binder besar. Aku mencatat permintaannya.

"Presentasi saya belum selesai –"

Lagi-lagi dia menggantung perkataannya. Terlihat sekali dia stres dari keningnya yang mengerut. Penampilannya rapi seperti biasa, tidak terlihat lelah kalau tidak diperhatikan dengan saksama. Aku mengerti setiap orang tidak akan menyelesaikan kalimatnya ketika panik atau stres atau semacamnya, tapi membiarkanku di sini seperti nyamuk?

"Rin, bawakan proposal kita untuk Swers," perintahnya di interkom.

Dia menarik napas dalam-dalam kemudian membuangnya keras-keras. Kedua alisnya naik membentuk guratan kerut di sepanjang dahi. Oh, tidak Pak direktur. Anda terlihat semakin menggoda. Eh!

(Otakmu, Ree … otakmu ….)

"Apa sudah bisa saya kerjakan yang tadi Bapak minta, Pak?"

(Dia bergeming).

Aku tidak membalas pesan terakhirnya semalam, sebab pesan itu terbaca Shubuh tadi. Selama menunggunya melanjutkan perintah, setan-setan jahat dalam otakku melintas-lintas membawa ingatan saat di restoran. Aku berpikir apa sebaiknya aku meminta maaf lagi? Sekarang?

"Saya tunggu dalam satu jam, ya."

Aku memastikan perintahnya sebelum mengerjakan, dan dia menjawab, "iya, itu aja," lalu melanjutkan keluar dari ruangan mengambil anggaran biaya operasional yang sudah siap tiga hari lalu. Rini masuk bersama proposal di tangannya. Penampilannya hari ini tampak berbeda. Aku tidak tahu di bagian mana, tapi mataku melihat ada yang janggal dengan bahasa tubuhnya kali ini. Aku kembali ke dalam menghidupkan komputer, lantas duduk.

Kudengar si duren mengucapkan terima kasih pada Rini sebelum staf finance itu keluar. Aku fokus menyiapkan draft kontrak yang ternyata cukup memakan waktu. Perusahaan itu bisa kumasukkan sebagai perusahaan yang cukup banyak cincong. Dari sejumlah request yang diajukan, bisa kusimpulkan manajemennya terlalu ketat seperti perusahaan distributor farmasi nasional terbesar di negara ini.

Hampir satu jam berlalu, draft kontrak hampir selesai, namun tiba-tiba komputer itu pun padam.

"Eh, what happen?" pekikku tak terkendali.

"Kenapa?"

"Mati sendiri tiba-tiba, Pak," sahutku panik.

Aku setengah mati mengarang surat itu sebagus mungkin dengan bahasa yang tertata, menyusun sedemikian rupa untuk enak dilihat dan dibaca, tapi sekarang harus berakhir seperti ini? Tidak, tidak boleh!

"Kok bisa?"

"Nggak tahu, Pak."

Kutekan tombol power di pc, alat itu menyala namun tidak lama. Sesaat kemudian padam lagi. Begitu seterusnya sampai lima kali.

Dia bertanya, "gimana, bisa?" Dia panik ketika kujawab, "Nggak bisa, Pak."

"Astaghfirullah."

Lafaz  pelan itu berdelan ke telingaku, terdengar putus asa. Tapi, manusia tidak boleh putus harapan, kan? Aku berdoa dalam hati mengharapkan pertolongan Allah agar memberi keajaiban di situasi ini.

Sambil berdiri berpikir apa yang harus kulakukan, lidahku pun mengucap lafaz zikir itu berulang kali tanpa suara. Iya, hanya komat kamit.

(Ya, Allah, tolong … Ya, Allah, tolong … tolong, tolong … Ya, Allah)

"Ada komputer lain yang nganggur, Pak?"

Lidahku berkata tanpa terhalang bagai perosotan anak-anak. Aku akan mencoba mengingatnya dan menyusunnya ulang, dan mungkin saja saat mengetiknya ulang aku mengingat semua yang kuketik. Walaupun yang teringat itu tidak sesuai urutan susunan awal, tapi bisa diurutkan kembali. Dulu aku pernah mengalami seperti ini, dan aku mengetiknya seperti hasil awal sebelum filenya terhapus.

"Komputer ya?"

Dia bingung. Putar-putar kepala mencari sesuatu sambil berpikir. Pekerjaannya di meja tertinggal, pikirannya pecah mencari solusi cepat. Mataku terkunci ke laptopnya.

Otakku blank tanpa memalingkan tatapan dari benda itu. Aku tidak tahu jam berapa sekarang, yang aku tahu kami tidak punya banyak waktu. Aku langsung mengangkat gagang interkom menghubungi nomor yang aku ingat punya stok desktop dan pc.

"Halo, Mas, saya Laduree dari ruangan Pak Rais. Apa ada komputer nganggur yang bisa dipake? Komputer di sini mati tiba-tiba kayak punya saya tempo hari, tapi saya nggak punya banyak waktu karena kontrak harus kelar dalam dua puluh menit."

[Sebentar, saya check].

Bagus! Mereka responsive.

[Halo, Mbak. Kalau dibawa ke ruangan butuh waktu dua puluh menit dengan pemasangan].

"Aduh!" aku menepuk jidat.

Si duren berdiri di dekatku bertanya melalui mimik wajah 'kenapa?' sementara otakku tidak sinkron bekerja antara menjawab dirinya, berpikir solusi, dan deadline.

"Gini aja, Mas. Desktopnya ada di ruangan, kan? Saya ke sana aja. Gak terkejar soalnya."

Aku menarik napas sebelum melanjutkan, "Tolong idupin ya, Mas. Jadi, saya bisa langsung kerja, nggak perlu nunggu," sambungku masih dengan jantung deg-degan.

Aku menutup interkom setelah mendengar dia menjawab, "Ok."

"Pak, saya ke bawah ya, ada stok sama pihak IT," tuturku sambil mengambil semua yang kubutuhkan.

Aku langsung keluar tanpa izin lagi atau mendengar persetujuannya, berlari membawa keperluan masuk ke dalam lift. Untung tidak ada yang menggunakannya.

Lima menit kemudian, aku tiba di lantai satu. Segera aku menuju ke ruang IT, menyapa mereka dengan napas terengah-engah disertai senyum yang aku sendiri tidak tahu apa maknanya.

"Mas, makasih banyak ya, udah bantuin," tuturku pada salah seorang staf ketika duduk.

Tanpa basa-basi apalagi banyak bicara, aku mulai membawa fokusku kembali, menarik semua ingatan untuk melengkapi apa-apa yang tidak lengkap sepanjang menyusun ulang draft. Basmallah tidak kulupakan sebelum memulai dan doa tetap kupanjatkan dalam hati, agar Allah memudahkan urusan ini. Memberiku ingatan kata demi kata yang sudah kuketik.

Pertanyaan-pertanyaan mereka yang terdengar tidak kugubris. Maaf, aku buru-buru. Sampai tidak ada lagi yang bersuara menanyakan ini-itu.

Menit demi menit berlalu, lutut lemas dan rasa gugup tidak juga berkurang. Berkali-kali aku berusaha menetralkan emosi itu. Tanganku dingin bahkan sempat gemetar di awal. Jari-jemariku lincah di papan huruf, menarik garis di excel membentuk tabel, raut wajahku lebih serius dari si duren.

Hatiku terus berteriak, "Ingat, ingat, ayo ingat, aduh apalagi ya?"

Plang

Tanganku tiba-tiba berhenti.