webnovel

Laboratory Doctor and Activist

Adriana Gerrie adalah Mahasiswa Berprestasi Utama Departemen Teknik Pangan, Fakultas Teknik. Adriana yang cerdas, independen, logis, dan selalu rasional itu sepanjang umurnya tidak pernah mengenal namanya hubungan romantis antara pria dan wanita. Hingga akhirnya Adriana bertemu dengan Darren Januar Winata, Ketua BEM Fakultas Teknik. Sayangnya, hubungan mereka tidak bertahan lama karena Adriana merasa tidak nyaman, privasinya terusik, dan berbeda pandangan dengan Januar. Secara kebetulan, setelah hubungan itu berakhir, senior Adriana yang Ia sukai sejak lama mengakui perasaannya. Sayangnya, gayung tidak bisa bersambut, karena Haikal tiba-tiba pergi dan meminta Adriana melupakannya. Sulit bagi Adriana melupakan Haikal, akan tetapi mampukah Januar mengetuk pintu hatinya? Tidak hanya Januar, tapi juga Theodore, sahabat lama Adriana yang sebelumnya hanya dalam diam menyayanginya bertahun-tahun kini berubah terang-terangan menunjukkan perasaannya. Sebelas tahun berlalu, Haikal tanpa diduga kembali, membawa penjelasan yang tidak tersampaikan dengan baik pada Adriana kala itu. Mereka bertemu lewat skandal yang menimpa perusahaan tempat keduanya bekerja sebagai Direktur Utama. Beberapa konflik besar terjadi diantara mereka, menimbulkan banyak perubahan seiring usia dan karir profesional yang juga berubah. Apa yang terjadi pada Januar? Apa yang terjadi pada Theodore? Apa yang terjadi pada Haikal? Lalu ... dengan siapa Adriana berakhir? Unlock the answer by read this story! Bagian I: Masa perkuliahan di Bandung Bagian II: Masa bekerja, menuju pola hubungan serius ------- Halo, readers! Ini adalah novel kedua dari Aleysia Wein. Konsep novel ini pada dasarnya adalah romance, young adult, juga adult romance. Setiap karakter yang digambarkan dalam novel ini adalah representasi ideal dari pemikiran penulis tentang bagaimana sebaiknya seorang wanita perlu memiliki karakter kuat, intelektual, rasional, dan secara bersamaan memiliki empati tinggi, juga lemah lembut seperti yang ditunjukan Adriana Gerrie. Tidak hanya itu, penulis juga menuliskan aspirasinya soal bagaimana sebaiknya menjalani hubungan romantis dengan lawan jenis berdasarkan rasionalitas dan perasaan yang berimbang. Kepada para pembaca, semoga bisa mendapatkan inspirasi dari novel ini disamping 'dash of sweet' romantic affairs antartokoh. Penulis harap banyak value yang dapat diadopsi oleh pembaca. Gaya bahasa dalam novel ini cenderung teknis, dan beberapa istilah yang cukup advance dan spesifik di bidang teknologi pangan, bisnis, industri, filosofi serta investasi akan dijelaskan di dalam novel. Penulis sangat mengapresiasi setiap dukungan, sekecil apapun yang diberikan pembaca. Terimakasih. Regards, Aleyshia Wein

aleyshiawein · Thành thị
Không đủ số lượng người đọc
365 Chs

Hadiah

Selesai dengan kuliahnya hari ini, Adri tidak langsung kembali ke kost nya untuk istirahat. Adri masih berada didalam ruang Asisten Dosen bersama laptopnya. Setelah rapat mingguan asdos itu selesai, satu per satu teman-temannya termasuk Theo berpamitan untuk pulang.

"Dri, gak pulang? Bentar lagi maghrib loh," ujar Theo.

Adri menoleh sekilas pada Theo yang sudah mengenakan jaket dan ranselnya itu, "Oh iya, bentar lagi juga selesai ini," jawabnya cepat.

"Lagi ngapain sih?" tanya Theo penasaran. Pasalnya, tugas-tugas mereka hampir mirip, dan semuanya sudah selesai.

"Enggak, ada lah," ujarnya.

Theo menggelengkan kepalanya, "Yaudah deh, Gue duluan, Dri, hati-hati Lo baliknya," ujarnya. Adri hanya mengacungkan jempolnya sebagai jawaban.

Adri kemudian melanjutkan kegiatannya di mesin pencarian Google itu, sedari tadi Ia memasukan berbagai kata kunci disana.

"Apa ya? Hadiah yang cocok buat orang yang baru dilantik. Ini rekomendasinya mainstream banget sih," ujarnya pelan. Ya, Adri sedang mencari rekomendasi hadiah yang bisa Ia berikan pada Januar di hari pelantikan.

Hingga sesuatu menarik perhatiannya, "Wah, ini kayaknya lumayan bagus, oke deh ini aja," ujarnya. Adri kemudian mematikan laptopnya dan bersiap keluar. Ternyata sudah tidak ada siapa-siapa, berarti Ia harus mengunci ruangan itu.

****

Adri berjalan melewati koridor fakultasnya selesai melaksanakan ibadah shalat maghrib di mushola. Melewati koridor fakultasnya itu berarti Adri akan melewati Sekretariat BEM dan keempat Sekretariat HIMA lainnya. Tentu saja dalam hati Adri bersiap kalau-kalau Ia harus berpapasan dengan Januar.

Adri melirik sekilas ke dalam Sekretariat BEM ketika Ia melewati ruangan yang pintunya terbuka itu. Masih sepi, hanya ada dua atau tiga orang disana yang sedang makan, mungkin karena ini masih jam shalat maghrib, pikirnya. Ia sedikit bernafas lega.

Tak lama dari itu, seseorang yang dihindari Adri itu muncul dari sayap kiri gedung fakultasnya, berjalan berlawanan arah dengannya. Januar berjalan bersama Gandhi, sepertinya mereka baru selesai shalat juga, dilihat dari penampilan keduanya yang hanya menggunakan sandal jepit, celana dan lengan kemeja yang digulung.

"Yah, ketemu juga akhirnya," monolog Adri dalam hati.

Akhirnya keduanya berpapasan, dan seperti dugaan, Januar berhenti untuk menyapanya terlebih dahulu. Gandhi yang jalan bersamanya itu pun ikut berhenti.

"Mau kemana?" tanya Januar ramah.

"Ini mau pulang," jawab Adri sembari tersenyum kikuk.

"Oh, yaudah hati-hati ya. Aku masih ada rapat buat oprec," ujarnya. Tanpa diminta, selalu memberitakan apa yang pria itu lakukan.

Adri mengangguk paham, "Good luck ya. Aku duluan, Jan, Gan," ujar Adri sembari sedikit membungkuk sopan pada Januar dan Gandhi.

"Hati-hati," ujar Januar dan Gandhi kompak.

Januar kemudian memperhatikan sebentar Adri yang berjalan menuju halaman parkir. Gandhi disebelahnya kemudian menyenggol keras-keras bahu Januar.

"Apasih Gan?" protesnya.

"Lancar ya Pak? Sampe jadi gosip se fakultas tadi pagi," ujarnya mulai iseng.

"Gosip apaan?" tanya Januar bingung.

"Itu berangkat bareng, dianterin sampe kelas."

Januar memutar bola matanya malas, "Gitu doang heboh. Kayak gak pernah aja Lo," ujarnya sarkas.

"Yeuu kan beda kalo Lo."

Januar berdecak sebal, "Gak usah ngada-ngada deh. Ini anak-anak udah pada kumpul belum? Bilangin sepuluh menit lagi kita mulai, gak ada ngaret-ngaret."

****

Sesampainya di lampu merah pertigaan, Adri sedikit bingung. Haruskan Ia langsung pulang dan mengambil jalan ke kanan, atau ke kiri menuju salah satu mall terbesar dan terlengkap di kota Bandung itu?

"Ini hari apasih?" tanya Adri pada dirinya sendiri. Oh ya, dia sering sekali lupa hari apa ini saking sibuknya.

"Oh Kamis," ujarnya setelah melihat kalender di ponselnya.

"Besok gak ada apa-apa sih, paling meeting sama Jevan, udah selesai juga tadi materinya."

Adri kembali berpikir, penghitung mundur lampu merah itu sudah menunjukan angka 6, "Yaudah deh, sekalian Gue refreshing minggu ini, nyari kopi. Sabtu-minggu kan mau balik," ujar Adri, akhirnya Ia mengambil jalan ke kiri menuju mall.

Sesampainya di mall itu, mood Adri rasanya meningkat drastis. Tidak dipungkiri, Ia juga suka untuk sekedar berjalan-jalan sendiri di mall malam hari seperti ini. Menurutnya, sebuah kesenangan untuk berjalan-jalan sendiri tanpa aturan atau saling menunggu dengan teman. Ya begitulah Adri, independen. Tidak ada ceritanya Ia tidak jadi pergi ke suatu tempat hanya karena tidak ada yang menemani.

"Toko jam dulu atau toko buku dulu ya?"

Adri tampak berpikir, "Toko jam dulu deh, sama sama di lantai satu," ujarnya. Ia kemudian berjalan menuju toko jam langganannya sejak pertama SMA di Bandung. Ya, Adri sudah di Bandung sejak SMA, Ia sengaja memilih SMA di Bandung karena ada sekolah negeri unggulan yang menawarkan program akselerasi.

Adri melihat-lihat koleksi jam tangan didalam etalase toko jam yang tampaknya tidak terlalu mewah tapi tidak juga terlalu sederhana itu.

"Mau cari yang mana, Mbak?" tanya penjaga toko itu ramah.

"Hmm, jam tangan cowo sih Mbak, ada rekomendasi gak?" tanyanya.

Penjaga toko itu kemudian menunjukan beberapa pilihan jam tangan pria dan mengeluarkannya dari etalase.

"Yang mau pake umurnya berapa Mbak?"

"Sekitar 21 atau 22."

"Oh masih muda ya, kalo gitu yang ini, ini, atau ini Mbak kalau rekomendasi dari Saya. Ini modelnya cukup simple, dan baru keluar beberapa bulan lalu," ujar penjaga toko itu.

Adri mengamati seksama ketiga jam tangan itu yang semuanya bertali model rantai. Ketiga jam tangan itu bermerk sama, hanya saja lingkaran jamnya berbeda warna, pink, krem muda, dan abu-abu. Secara keseluruhan, Adri menyukai model jam tangan itu. Ketiganya masuk kriterianya.

"Saya mau yang abu-abu, Mbak."

"Oh oke."

"Tapi disini bisa nambahin sejenis ukiran gitu gak Mbak? Dibelakang atau di atas?" tanya Adri.

Penjaga itu mengangguk, "Iya Mbak, kebetulan Kami baru ngadain jasa tambahan itu loh, mau ditambahin tulisan apa Mbak?"

Adri menunjukan tulisan dalam aplikasi notesnya, "Tambahin tulisan ini Mbak," ujarnya. Penjaga toko itu kemudian menyalin tulisan itu pada selembar kertas kecil.

"Baik Mbak, tapi ini baru bisa selesai besok sore, gak apa -apa?"

Adri mengangguk, "Gak papa Mbak," ujarnya cepat. Adri yakin Januar pasti akan mengabarinya kalau memang Ia akan pelantikan besok, nyatanya pria itu belum mengabarinya.

Selesai dengan urusannya di toko jam tangan, Adri turun ke lantai dasar, Ia menuju ke toko buku sekarang. Sesampainya disana, Ia segera menuju area buku-buku filosofi dan manajemen.

"Leadership? Kira-kira dia suka baca apa ya?"

"Well, Gue gak yakin seorang Januar belum baca buku-buku Maxwell," ujarnya pelan sembari tersenyum. Januar memang tidak pernah mengatakan bahwa Ia adalah pembaca buku, tapi beberapa kali Ia pergi bersama Januar, Adri melihat selalu ada buku di dashboard mobilnya. Ya, Adri selalu melihat dan mengapresiasi detail.

"I think this will be good," ujar Adri setelah menjatuhkan pilihannya pada buku bersampul oranye berjudul 'Think in Bets'.

"Kayaknya dia butuh pemahaman lebih buat memutuskan sesuatu, as a leader, or ... academic?" monolog Adri dalam hati. Ia tiba-tiba teringat Januar yang mengaku kewalahan dengan urusan praktikum jurusannya dan minor yang diambilnya di Tekpang.