Pipit sudah duduk menunggu Lelis dengan segelas es jeruk di atas meja saat Lelis sampai di warung sate Asal Pengen.
"Assalamualaikum, mbak," salam Lelis sebelum mengulurkan tangannya. Pipit membalas salam dan uluran tangan Lelis.
"Maaf ya mbak saya agak terlambat, sudah lama?"
"Baru sampai, 'nih masih utuh es jeruknya juga." Pipit menunjuk gelas di depannya dengan dagu.
Mereka berbasa-basi sejenak sebelum Lelis memberikan selembar kertas yang berisi beberapa pertanyaan yang sudah dia siapkan seminggu lalu.
"Mbak langsung saja ya, mbak bisa baca ini ada beberapa pertanyaan yang sudah saya siapkan. Bebas saja mbak mau jawab yang mana, silakan dibaca dulu," kata Lelis dibarengi tangan kanannya yang menyodorkan selembar kertas pada Pipit.
"Dibaca perlahan saja mbak. Maaf kalau ada beberapa pertanyaan yang sifatnya agak privasi," sambungnya.
Pipit terlihat membaca kertas yang berisi beberapa pertanyaan dari Lelis mengenai dirinya dan Wawan dengan teliti.
Lelis memesan jus alpukat dan satu kodi sate sapi untuk dibungkus dan dibawa pulang. Selesai membaca Pipit meletakkan kembali kertas di atas meja dan tersenyum menatap Lelis.
"Dari pertanyaan yang Mbak ajukan, Saya bisa menebak arah pembicaraan kita nanti akan sama saat saya ngobrol sama Ibu seminggu lalu," ungkap Lelis dengan senyum hambar.
"Ngobrol sama ibu?" ulang Lelis.
"Iya, ngobrol dengan ibu saya perihal masalah ini."
Lelid mengangguk dan mengucapkan 'Oh' mendengar penjelasan Pipit.
"Kalau saya memilih tidak menjawab pertanyaan dari mbak boleh?" Pipit menatap Lelis dengan seksama.
"Namun, saya mau bertanya satu hal sama mbak," lanjutnya.
"Silakan mbak," jawab Lelis santai.
Pipit menyeruput es jeruk di gelasnya saat melihat pelayan datang membawa jus alpukat pesanan Lelis.
"Apakah Mbak melakukan semua hal yang Mbak tuliskan di sini? Bagaimana cara Mbak Lelis mengatur waktu Mbak untuk suami, anak dan pekerjaan Mbak di sekolah?" tanya Pipit sekaligus pada Lelis.
Lelis tersenyum mendapat serentetan pertanyaan dari Pipit dengan nada yang seolah tersinggung dengan isi pertanyaan yang ada di lembar kertas tersebut.
"Mungkin gak sulit kalau klien Mbak orang berduit, kalau kayak saya yang pekerjaan rumah dilakukan sendiri ditambah kerjaan sekolah dan diharuskan melakukan hal-hal seperti ini kayaknya mustahil Mbak," komentar Pipit dengan menyodorkan kembali kertas yang berisi pertanyaan pada Lelis.
Lelis menyeruput jus alpukatnya sampai tandas tak bersisa. Dia menarik napas terlebih dahulu sebelum tersenyum dan menatap Pipit mantap, untuk menjawab pertanyaannya.
"Oke, yang pertama, sebelum saya menyuruh orang melakukan sesuatu sudah dipastikan seratus persen saya terlebih awal mencoba dan terus mencoba hingga itu menjadi sebuah kebiasaan," ungkap Lelis.
Dia menceritakan sekilas hubungannya dengan Wahyu sebelum menerapkan apa yang dituliskannya sebagai pertanyaan yang sering dia ajukan pada setiap klien.
"Mbak pasti tahu kalau posisi kita gak jauh beda. Saya dan mbak sama-sama seorang pengajar, sama-sama IRT tanpa ART. Cuma memang lebih berat posisi Mbak Pipit yang anaknya sudah dua," papar Llis.
Lelis juga menjelaskan bahwa hidup adalah pilihan, mau menjadi ibu rumah tangga seutuhnya atau ibu rumah tangga yang disambi dengan berkarir di luar rumah, tetapi selalu ada konsekuensi dari setiap pilihan masing-masing. Yang jelas apa pun pilihannya tugas utama seorang istri adalah melayani suami. Sama halnya dengan surga di telapak kaki ibu, Ridho dan ijin suami di atas segalanya untuk seorang istri.
Mencari nafkah, mengurus anak dan rumah bukan kewajiban utama seorang wanita. Namun, akan menjadi pundi-pundi pahala jika dikerjakan dengan ikhlas tanpa keluhan.
"Jadi kembali lagi ke diri Mbak, kalau Mbak merasa lelah karena membantu keuangan suami dengan bekerja. Mbak merasa lelah mengurus anak dan rumah, silakan lebih baik Mbak obrolkan dengan suami. Percayakan semua pada suami."
"Percaya bagaimana Mbak, penghasilan Wawan sebagai honorer yang nyambi jualan keripik itu gak seberapa. Dua anak saya mau jajan dari mana kalau saya tetap di rumah," kilah Pipit yang sukses membuat Lelis berdecak dan menggelengkan kepala.
Pasalnya, sekarang dia berhadapan dengan seorang wanita yang notabennya mempunyai dasar pendidikan yang cukup. Namun, pernyataannya barusan seolah menegaskan Pipit tak ada bedanya dengan ibu rumah tangga yang awam akan pengetahuan agama yang seolah tidak yakin kalau rejeki itu kuasa Allah.
"Kok aku malah kayak mikirnya Mbak ini gak percaya sama janji dan kuasa Allah."
"Gak percaya bagaimana maksud mbak?" debat pipit.
"Di mata saya, Mbak kayak gak percaya kalau Allah pasti mencukupkan kebutuhan setiap hambanya. Bukan begitu?"
"Saya realistis dong Mbak, gak mungkin kan Allah ujug-ujug ngasih rejeki segedebug tanpa usaha apa pun,"
Lelis kembali menggelengkan kepala dengan alasan yang dikemukakan Pipit. Tak mau berdebat kusir tanpa ujung, Lelis pun meminta Pipit untuk diam dan menyimak apa yang ingin dia katakan tanpa menyela atau pun menginterupsi kalimatnya sebelum dia selesai berbicara.
"Mbak aku mau ngasih tangtangan selama 24 jam ke depan. Kita akan ketemu di sini lagi besok di jam yang sama. 24 jam ke depan silakan Mbak habiskan waktu dengan selalu tersenyum tanpa mengeluhkan apa pun dan belajarlah profesional menempatkan diri Mbak sebagai ibu, istri, guru dan silakan sisakan waktu sepuluh menit dalam 24 jam tersebut untuk me time yang digunakan ajang introspeksi diri mbak.
Pikirkan hal membahagiakan apa yang sudah Mbak lewati bersama anak, suami, keluarga dan siswa mbak. Ingat mbak 24 jam tanpa mengeluh dan full senyuman, deal?" Lelis mengulurkan tangannya, dengan ragu Pipit menjabat tangan Lelis.
"Oke," ucap Pipit singkat.
Mereka akhirnya mengakhiri pembicaraan hari ini. Lelis pamit pulang terlebih dahulu karena suami dan anaknya pasti menunggu untuk makan siang bersama.
"Makan siang bareng," gumam Pipit pada dirinya sendiri.
Dia mengaduk es jeruk yang masih tersisa setengah. Makan siang di rumah adalah sesuatu yang sangat jarang dia lakukan. Sepulang sekolah dia akan makan bersama rekan-rekannya sebelum pulang ke rumah. Setibanya di rumah pun dia memilih untuk berbaring sejenak dengan ponsel di tangan dan berseluncur di dunia maya hingga waktu asar datang, barulah dia menjemput Zaki dan Nisya yang dititipkan di rumah orang tua Wawan.
"Hadapi dengan senyuman dan jangan mengeluh, Pit, kamu pasti bisa," desis Pipit hampir tak terdengar untuk memberi semangat pada dirinya sendiri.
Pipit pun berlalu meninggalkan warung sate dengan membawa dua plastik sate, satu untuk dibawa pulang disertai dengan dua bungkus nasi putih dan satu plastik hanya berisi sate sapi dua puluh tusuk untuk buah tangan yang akan dia berikan padi Tuti, sang ibu mertua yang tidak pernah protes ketika dititipi kedua anaknya.
Pipit langsung menuju rumah Tuti untuk menjemput Zaki dan Nisya, hal yang sangat jarang dia lakukan. Ini karena dia harus konsekuen dengan ucapannya yang menerima tantangan Lelis untuk selalu tersenyum tanpa mengeluh dan belajar menempatkan diri sebaik mungkin.