webnovel

KONSULTAN RANJANG

Dari pengalaman rumah tangga pribadinya, Lelis Mustika Ningrum, yang akrab di panggil Lelis akhirnya terinspirasi membuka usaha biro jasa sebagai konsultan yang membantu pasangan pasutri memperbaiki hubungan rumah tangga mereka yang terasa hambar. Namun, Lelis sama sekali tidak menyangka, ide membuka biro jasa 'KONSULTAN RANJANG' justru menjadikan sahabat karibnya sebagai klien pertama di biro jasa tersebut. Akankah Lelis berhasil mengembangkan Biro jasa Konsultan Ranjang?

IntenSaninten · Thành thị
Không đủ số lượng người đọc
392 Chs

Menyenangkan

Pipit menarik napasdan mengucapkan Basmallah sebelum menyalakan motornya. Jam pulang sekolah sudah berakhir. Itu tandanya, sekarang dia harus memfokuskan diri pada kedua anaknhya. Sepsrti tantangan yang ia sanggupi tadi, bahwa dia harus belajar menjadi ibu yang baik untuk Nisya dan Zaki.

Motor yang dikendarai Pipit berhenti di depan sebuah rumah bergaya lawas. Rumah sederhana dengan bagian teras yang luas di sisi kanan. Rumah bercat hijau muda, tempat Zaki dan Nisya dititipkan selama Pipit bertugas di sekolah.

"Assalamualaikum," salam Pipit disertai bunyi klakson yang sengaja dia pencet sebelum mematikan mesin motor.

"Waalaikumsalam, Bunda," sorak Nisya bahagia dari dalam rumah yang pintunya terbuka. Nisya berlari menghampiri Pipit.

"Asik bunda pulang siang," seru Zaki yang juga berlari menyongsong kedatangan bundanya. Mereka bergantian mencium tangan Lelis.

"Bunda bawa sate nih, ada sate ayam, ada sate sapi. Siapa yang mau makan?"

"Aku, aku, aku," teriak Zaki dan Nisya berbarengan dengan mengacungkan telunjuk mereka. Sorak sorai Zaki dan Nisya terdengar hingga ke dapur. Tuti keluar dari arah dapur mendengar teriakan cucu-cucunya.

"Wah ramenya, ada apa ini, Bang?" tanya Tuti yang disambut Pipit dengan uluran tangan dan salam.

"Bunda bawain Aku sate," jawab Zaki.

"Buat Aku juga Abang," seru Nisya tak mau kalah.

"Buat kalian berdua." Pipit menengahi perdebatan kedua anaknya.

"Iya bawa sate buat aku dan abang," ulang Nisya.

"Buat Nenek ada gak?" tanya Tuti pada Nisya.

Nisya memandang Pipit sebelum menjawab pertanyaan dari Tuti.

"Ini buat Nenek," ucap Pipit sambil menyerahkan satu plastik berisi dua puluh tusuk sate sapi untuk Tuti dan Soleh, bapak mertuanya.

"Wah, yang saying bunda cuma bunda ya," kata Tuti bernada merajuk. Dia meletakkan sate yang diberikan Pipit di bangku panjang yang ada di depan rumah.

"Aku sayang Nenek," ucap Nisya.

"Zaki juga sayang Nenek."

"Semuanya sayang Nenek, benarkan abang, Nisya?" tanya Pipit pada keduanya, biar mereka tak lagi berdebat. Nisya dan Zaki memang kerap memperdebatkan hal-hal sepele.

Biasanya Pipit akan menjerit ketika anaknya berdebat. Namun, hari ini dia ingin benar-benar serius menyelesaikan tantangan yang diberikan Lelis. Ajaibnya, kedua anaknya langsung mengangguk dan berhenti berdebat hanya dengan kalimat sederhana yang dia ucapkan disertai senyuman.

Kalimat seperti itu sudah sering dia ucapkan tetapi selalu tidak mempan untuk menghentikan perdebatan mereka yang berujung tangisan Nisya. Yah, tentu saja kalimat, buat kalian berdua atau milik kalian berdua dan sejenisnya diucapkan Pipit dengan nada ketus karena merasa dirinya yang lelah setelah pulang dari sekolah malah harus mendengar perdebatan dan rengekan kedua anaknya.

"Sayang Nenek." Nisya dan Zaki memeluk Tuti saat mengucapkan kalimat tersebut dengan logat ala upin-ipin film kartun favorit mereka berdua.

Tuti tersenyum melihat tingkah Zaki dan Nisya yang selalu mendatangkan tawa dan keceriaan di rumahnya. Dia bersyukur di usia senjanya tak pernah merasa kesepian karena hampir setiap hari Zaki dan Nisya selalu bersamanya.

"Bu, aku bawa mereka pulang ya," pamit Pipit.

Tuti menawarkan pada Pipit untuk makan di rumah, tetapi Pipit menolak. Setelah bersalaman dengan sang Nenek, Zaki dan Nisya naik ke motor Pipit. Nisya di depan sedangkan Zaki duduk di belakang. Mereka melambaikan tangan dengan mengucapkan kata 'dadah' pada Tuti.

'Dadah' mempunyai arti sama dengan 'bye-bye' atau 'sampai jumpa'.

_____I.S_____

Pipit menikmati makan siang bersama Nisya dan Zaki yang penuh celoteh dan kegembiraan. Ponsel yang tak pernah jauh dari jangkauannya kini dibiarkan saja berada di dalam tas kerja. Dia menyuapi Nisya dan Zaki bergantian sambil mendengarkan mereka bercerita tentang hal menyenangkan yang mereka lakukan hari ini.

"Bun, kakak di sekolah ulangan dapat nilai seratus loh," aku Zaki dengan bangga.

"Wah pinter ya anak bunda, yang rajin ya sekolahnya biar tambah pinter lagi bang."

Zaki mengacungkan jempol menjawab kalimat sang bunda, karena mulutnya sedang mengunyah nasi.

"Aku mau sekolah kaya abang, biar pintar," sela Nisya sebelum suapan nasi dan sate dari tangan Pipit masuk ke mulut mungilnya.

"Tahun depan Nis, ya 'kan Bun?"

"Iya, Nisya tahun depan sekolah, 'kan tahun depan sudah lima tahun."

Nisya menjerit dan melompat kegirangan memdengar jawaban Pipit. Pipit baru sadar menemani anaknya makan tanpa disambi dengan mengintip ponsel yang berkedip ternyata jauh lebih menyenangkan dan membuat anak-anaknya terlihat lebih nurut mendengarkan perkataan dan perintahnya dengan baik.

"Telepon ayah yuk," ajak Pipit pada anak-anak yang disambut jeritan 'Yuk' oleh Nisya dan Zaki setelah mereka menyelesaikan makan.

Pipit mengambil ponsel dan melaksanakan panggilan video call ke nomer Wawan.

"Halo, Ayah cepat pulang aku kangen," jerit Nisya

"Ayah bawa es krim ya," pinta Zaki.

"Aku juga mau es krim," seru Nisya tak mau kalah.

Wawan yang dalam perjalanan pulang setelah mengantar keripik melinjo dan tike ke warung-warung tertawa melihat tingkah kedua anaknya yang berebut ponsel.

"Ayah masih di jalan, abang sama Nisya main sama bunda dulu ya, doain keripiknya laris."

"Amin," seru Nisya dan Zaki berbarengan. Panggilan video call dimatikan Wawan setelah mengucapkan salam.

Wawan berkeliling ke warung-warung menitipkan keripik tike dan keripik melinjo hasil produksi kakaknya, Siska dan suaminya, Mahrus. Setiap pagi dia mampir ke rumah mereka terlebih dahulu untuk mengambil keripik yang akan dia bawa ke sekolah untuk dititipkan di kantin dan koperasi.

Siang sepulang sekolah Wawan juga langsung menuju rumah sang kakak untuk mengambil keripik dan keliling menitipkannya di warung-warung. Tak lupa dia makan siang dan mengganti pakaiannya dengan pakaian santai di rumah sang kakak.

Azan asar berkumandang, Nisya dan Zaki masih asik bermain puzzle block ditemani Pipit tanpa menyentuh ponsel sedikit pun.

"Abang, Nisya, udah ya mainnya, yuk salat Asar dulu. Puzzle-nya diberesin bareng-bareng. Bunda bantu pegang tempatnya," perintah Pipit pada kedua anaknya.

Mereka langsung berebut untuk mengambil dan memasukan puzzle-puzzle yang berserakan ke wadah yang dipegang Pipit. Setelah semua masuk ke dalam wadah Pipit menutup wadah dan meletakkan di keranjang tempat mainan.

Nisya dan Zaki langsung berlari dan berebut untuk wudu terlebih dahulu. Pipit langsung mengangkat bada Nisya dan mengajaknya berbincang sejenak agar dia tidak merengek dan mengganggu sang kakak yang sedang berwudu.

"Bismillahirrahmanirrahim, Asyhadu allaa ilaaha illallaah, wahdahu laa syariika lahu, wa asyhadu anna muhammadan 'abduhu wa Rasuuluhu. Allahumma j'alnii minat tawwabiina, waj'alnii minal mutathahiriina waj'alnii min 'ibaadikash shalihiina." Zaki menengadahkan tangan membaca doa setelah wudu. Setelah sang kakak selesai, Pipit menurunkan Nisya untuk wudu. Sementara Zaki di suruh bersiap memakai sarung celana dan kopiah.

Mereka berjalan ke musala yang terletak di belakang rumah mereka melalui pintu dapur. Salat asar berjamaah Pipit yang pertama di musala tersebut ditemani kedua anaknya.

'Alhamdulillahya Allah, semoga bisa istiqomah dengan membawa anak-anak salat jamaah di rumahmu,' pinta Pipit dalam doanya.

Maaf ya kemarin gak update, sibuk banget. Selamat hari raya idul fitri buat semua yang merayakan. Mohon maaf lahir dan batin ya kak.

IntenSanintencreators' thoughts