Hari-hari berlalu dengan Zara berusaha untuk menenangkan diri, memikirkan segala hal dengan kepala yang lebih jernih. Pesan dari Dylan memang membuatnya merasa lebih baik, tetapi perasaan campur aduk masih ada. Dia tahu, seperti yang Mia bilang, dia harus memberikan Dylan ruang, tapi apakah dia siap untuk menunggu lebih lama?
Zara tidak bisa menghindari kenyataan bahwa ketidakpastian ini mulai menguras energi dan emosinya. Dia merasa seperti ada yang hilang—sesuatu yang dulu penuh dengan kebahagiaan, kini berubah menjadi sebuah teka-teki yang tidak pernah ada habisnya. Zara mulai merasa terjebak dalam hubungan yang seharusnya bisa menjadi kebahagiaan, tapi malah penuh dengan ketegangan.
Pagi itu, setelah memutuskan untuk beristirahat sejenak dari pekerjaan, Zara memutuskan untuk pergi ke taman. Tidak ada yang bisa lebih menenangkan selain udara segar dan pemandangan hijau yang luas. Mia sudah berjanji untuk bertemu dengannya, jadi Zara berjalan dengan santai, melupakan sejenak kegelisahannya tentang Dylan.
Ketika dia sampai, Mia sudah menunggu di bangku taman, duduk sambil menghadap ke arah danau kecil. "Lama banget, Zara! Gue hampir aja mutusin untuk pergi ke toko kue dan beli yang enak!" kata Mia dengan nada bercanda, menyapa Zara dengan senyum lebar.
Zara tersenyum lelah. "Tahu gitu, aku aja yang beli. Sekalian bisa dibawain ke rumah lo."
Mia tertawa kecil. "Eh, lo kenapa? Kayaknya ada yang mengganjal, ya? Lo kelihatan nggak biasa."
Zara menghela napas panjang dan duduk di samping Mia. "Gue cuma... bingung, Mia. Gue udah berusaha buat ngasih Dylan ruang, tapi kenapa gue malah makin nggak ngerti sama apa yang dia rasain? Kayaknya dia masih bertahan sama masalahnya, tapi gue juga nggak bisa nungguin terus-menerus."
Mia menatapnya dengan serius. "Jadi lo mau apa, Zara? Lo butuh kejelasan, kan?"
Zara mengangguk pelan. "Iya, gue butuh tahu, Mia. Gue nggak bisa terus-menerus terjebak di antara ketidakpastian ini. Aku nggak tahu apakah ini baik buat aku atau malah makin bikin gue terjebak."
Mia tersenyum sedikit. "Zara, hubungan itu bukan soal siapa yang lebih baik atau siapa yang harus menunggu. Tapi soal keputusan yang kalian buat bersama. Gue ngerti lo ngerasa terjebak, tapi kadang kita nggak bisa lari dari kenyataan kalau kita nggak ngambil langkah. Lo harus nanya ke diri lo sendiri: Apa yang lo inginkan dari hubungan ini? Apa lo masih mau perjuangin ini?"
Zara terdiam, merenung sejenak. Perkataan Mia memang masuk akal. Dia harus tahu apa yang dia inginkan. Dia tidak bisa terus-terusan mengandalkan harapan tanpa tahu ke mana mereka akan pergi.
"Aku... aku perlu waktu buat berpikir," kata Zara akhirnya, matanya menatap ke depan, mencoba mencerna semuanya. "Aku nggak mau terjebak dalam ketidakpastian ini selamanya, Mia. Tapi aku juga nggak mau menyerah begitu aja."
Mia mengangguk, lalu memegang tangan Zara dengan lembut. "Gue ngerti, Zara. Apapun keputusan lo, gue selalu ada buat lo."
Zara tersenyum, merasa sedikit lebih tenang. Memang, keputusan ini bukan sesuatu yang mudah. Namun, setidaknya dia tahu bahwa dia perlu mendengarkan dirinya sendiri dan memilih apa yang terbaik untuknya.
---
Malam harinya, Zara duduk di ruang tamunya dengan secangkir teh hangat di tangannya. Dia memikirkan percakapan dengan Mia, dan apa yang dia inginkan dalam hubungan ini. Apa dia siap untuk terus memperjuangkan Dylan, atau sudah waktunya untuk berfokus pada dirinya sendiri?
Tiba-tiba, ponselnya berdering. Itu adalah pesan dari Dylan.
Dylan: "Zara, aku tahu kita sudah lama nggak ngobrol. Aku bener-bener minta maaf karena udah membuat kamu nunggu. Aku butuh waktu, tapi aku nggak mau kehilangan kamu. Aku mau kita ngobrol lebih serius tentang apa yang terjadi, karena aku nggak mau kita berakhir gini aja. Aku siap kalau lo mau datang dan kita bicarakan semuanya."
Zara menatap pesan itu dalam diam. Ada rasa harapan yang datang, namun dia juga merasa khawatir jika dia memberikan terlalu banyak harapan tanpa kejelasan yang pasti. Apa yang Dylan inginkan? Apakah dia siap untuk berkomitmen? Zara menghapus pesan itu sementara dan menatap cangkir tehnya.
Apakah ini saatnya untuk membuka hati dan mendengarkan apa yang Dylan sebenarnya ingin katakan, atau apakah ini waktunya untuk memberi ruang lebih banyak lagi? Zara tahu bahwa apa pun yang dia pilih, dia harus jujur pada dirinya sendiri. Dia tidak ingin terus-menerus ragu dalam memilih jalannya.
Setelah beberapa menit berpikir, Zara akhirnya memutuskan untuk menulis balasan.
Zara: "Dylan, aku juga nggak mau hubungan kita jadi gini terus. Aku butuh kejelasan. Aku siap ngobrol. Tapi kali ini, aku mau kita jujur tentang apa yang kita inginkan. Aku nggak mau terjebak dalam kebingungan lagi."
Dengan napas berat, Zara menekan tombol kirim. Apa yang akan terjadi selanjutnya? Dia tidak tahu, tetapi dia siap untuk mendengarkan dan membuat keputusan yang terbaik.