webnovel

Bab 11: Langkah Kecil Menuju Kejelasan

Hari-hari berlalu, dan meskipun Zara berusaha untuk tidak terlalu memikirkan Dylan, rasanya mustahil menghindari perasaan cemas yang datang setiap kali ponselnya tidak berdering. Setiap kali dia mengecek pesan, berharap ada kabar dari Dylan, tapi yang dia temui hanya pesan-pesan kosong yang datang dari teman-temannya. Mereka sering menanyakan kabar, tapi Zara tahu mereka juga tahu bahwa sesuatu yang lebih besar sedang terjadi.

Namun, kehidupan harus terus berjalan. Zara kembali fokus pada pekerjaannya, meskipun pikirannya kadang terbang ke Dylan. Sementara itu, Dylan tidak pernah benar-benar berhenti mengirim pesan singkat yang menenangkan, namun tidak ada percakapan yang lebih dalam seperti dulu. Ada rasa sepi yang datang dengan setiap pesan singkatnya, yang kadang membuat Zara merasa bingung apakah dia benar-benar ingin melanjutkan hubungan ini atau apakah mereka hanya terjebak dalam ketidakpastian.

Pada suatu sore yang cerah, Zara memutuskan untuk bertemu dengan Mia, sahabatnya yang selalu bisa membuatnya tertawa dan merasa lebih baik. Mereka duduk di kafe favorit mereka, tempat yang selalu membuat Zara merasa nyaman, dan Mia langsung tahu bahwa Zara sedang ada sesuatu yang mengganjal.

"Jadi, gimana dengan Dylan?" tanya Mia langsung, memiringkan kepalanya. "Lo kelihatan kayak... agak bingung. Ada apa?"

Zara menyandarkan punggungnya ke kursi, menarik napas panjang. "Aku nggak tahu, Mia. Aku cuma merasa kayak ada tembok di antara kita sekarang. Rasanya kayak dia nggak terbuka sepenuhnya, dan aku... bingung banget."

Mia mengangguk, memahami kekhawatiran Zara. "Gue bisa ngerti kenapa lo merasa gitu. Tapi, kadang dalam hubungan, kita butuh waktu. Tentu, kita nggak bisa terus-terusan terjebak dalam ketidakjelasan, tapi kadang-kadang orang harus pergi ke tempat yang lebih dalam untuk menyelesaikan masalah mereka."

Zara memikirkan kata-kata Mia. "Iya, sih. Aku nggak mau terlalu memaksakan dia untuk cerita, tapi aku juga butuh tahu kenapa semuanya jadi berubah begini. Apa dia nggak percaya aku? Apa aku nggak cukup baik buat dia?"

"Zara, jangan mikir yang aneh-aneh," kata Mia sambil memegang tangan Zara dengan penuh pengertian. "Lo bukan cuma 'cukup baik', lo itu luar biasa. Dan kalo dia nggak bisa melihat itu, ya itu urusan dia. Tapi lo harus punya batasan juga, jangan biarin dia ngebuat lo merasa kayak nggak dihargai."

Zara menghela napas panjang. "Aku nggak mau jadi orang yang terus-terusan nungguin tanpa ada kejelasan. Aku nggak tahu gimana lagi untuk bertahan tanpa tahu apa yang sebenarnya dia rasakan."

Mia tersenyum, mencoba menghibur Zara. "Coba aja lo bicarain lagi sama dia. Tapi kali ini, lo yang harus ngungkapin apa yang lo rasain. Kalau dia serius sama lo, dia pasti akan mengerti."

Zara merasa sedikit lega mendengar kata-kata Mia. Terkadang, memang kita perlu berbicara lebih terbuka tentang apa yang ada di hati. Jika hubungan ini ingin bertahan, mereka harus bisa saling mengerti dan mendukung satu sama lain, terutama dalam situasi yang tidak pasti seperti ini.

Setelah pertemuan itu, Zara merasa lebih siap. Dia tahu bahwa jika hubungan ini akan berlanjut, dia harus berani untuk menghadapi kenyataan dan tidak terus-menerus terjebak dalam ketidakjelasan.

Malam itu, setelah bekerja seharian, Zara akhirnya memutuskan untuk menghubungi Dylan. Tangan Zara gemetar sedikit ketika dia mengetik pesan itu, tetapi dia tahu ini adalah langkah yang perlu dia ambil.

Zara: "Dylan, aku rasa kita perlu bicara. Aku nggak bisa terus-terusan kayak gini, dengan banyak pertanyaan yang nggak ada jawabannya. Aku butuh tahu apa yang sebenarnya lo rasakan dan apa yang terjadi di hidup lo sekarang."

Dia menunggu beberapa menit, sambil menatap layar ponselnya, berharap ada balasan segera. Tiba-tiba ponselnya berdering. Itu adalah Dylan.

Dylan: "Zara, gue tahu lo pasti kecewa sama gue. Gue minta maaf. Gue bukan orang yang baik dalam hal ini. Gue punya masalah keluarga yang lebih besar dari yang gue kira, dan itu membuat gue nggak bisa fokus ke lo. Tapi lo harus tahu, gue nggak pernah berhenti mikirin lo. Gue ingin lo jadi bagian hidup gue, gue cuma... butuh waktu."

Zara membaca pesan itu berkali-kali. Ada kelegaan, tapi juga ada rasa sakit. Masalah keluarga yang Dylan hadapi terdengar serius, dan meskipun itu bukan salahnya, Zara masih merasa dikhianati oleh jarak yang tercipta antara mereka. Namun, dia tahu dia tidak bisa terus menghakimi tanpa mengetahui sepenuhnya apa yang terjadi.

Zara: "Gue ngerti, Dylan. Aku nggak mau lo merasa tertekan. Tapi aku nggak bisa cuma diam aja terus-menerus nungguin. Aku juga butuh tahu kalau hubungan ini punya arah yang jelas."

Beberapa saat kemudian, Dylan membalas.

Dylan: "Aku janji, Zara. Gue akan berusaha buat mengatasi semuanya dan kembali ke lo. Gue nggak akan biarin hubungan ini goyah. Aku cuma butuh waktu, dan gue akan bikin semuanya lebih jelas."

Zara tersenyum sedikit membaca pesan itu. Meskipun masih ada banyak ketidakpastian, dia merasa sedikit lebih tenang. Setidaknya, Dylan sudah mengakui perasaannya dan berusaha untuk menyelesaikan masalah yang ada.

Kini, Zara tahu bahwa dia harus memberi ruang untuk Dylan, tapi dia juga harus menjaga dirinya sendiri. Tidak ada yang bisa dipaksakan, tetapi jika mereka benar-benar saling peduli, mereka akan menemukan jalan menuju kebersamaan.