webnovel

KEMBALI PADAMU

Kisah hidup Raya menjalani kehidupan yang penuh liku dan panjang, menjalani hidup yang tak terduga, ditinggal papanya yang selingkuh dari mamanya, dan mempunyai anak yang ga tau siapa ayahnya...

Yanti_Wina · Thành thị
Không đủ số lượng người đọc
150 Chs

Pion keluarga Handoko

"Bu Mimin selamat malam..." Sapa Natan, ketika melewati Dapur, melihat Bu Mimin sedang di dapur, "Selamat malam juga Mas Natan..." Jawab Bu Mimin sopan.

Natan dan Anggara berjalan masuk ke Ruang keluarga , di sana Herlambang sedang menikmati secangkir teh dengan beberapa potong kue.

"Kakek, bisa bicara sebentar," Herlambang menatap Natan dan Anggara, nampak jelas raut wajah mereka sedang tidak baik, Herlambang mengangguk, "Masuk keruang kerja Kakek!" Keduanya mengangguk tidak banyak bicara, duduk di hadapan Herlambang.

Sejenak hening kemudian Herlambang membuka percakapannya, "Apa yang kalian ketahui?" Keduanya saling pandang, Natan menganggukan kepalanya kepada Anggara.

Anggara menyerahkan rekaman CCTV yang baru saja Natan lihat.

Herlambang mengerutkan keningnya dan setelah melihat wajah Norien secara jelas, Herlambang menatap Anggara dan Natan, "Apakah kamu lupa Nat, kalau wajah Orang ini mirip Ane?" Natan terkejut, lalu melihat kembali rekamannya, "Benar Kek, dia dan Ane hampir sama,"

"Benar- benar sangat licik, Apa kamu tau Gara? Norien itu kemungkinan besar adalah anak Handoko." Anggara tersentak mendengar ucapan Herlambang, darahnya mendidih dan seketika hatinya terasa sakit, sakit sekali,

Norien yang dia rawat dari usia dua tahun, di berikan kasih sayang sepenuhnya, selalu memberikan yang terbaik, saat Dokter mengatakan jantungnya tidak baik, beberapa Negara Anggara datangi untuk menyembuhkan Norien sampai sekarang dan setelah semuanya Anggara berikan bahkan cintanya dari keluarga Anggara dan sekarang dia pion keluarga Handoko,

drettt...drettt... drettt... Handphone Herlambang bergetar, Herlambang melihat siapa yang menghubunginya lalu mengangkatnya,

"Bos... ada berita baru..." Herlambang me Loudspeaker handphonenya agar Anggara dan Natan bisa mendengarnya, "Dua puluh satu tahun yang lalu istri Handoko melahirkan anak kembar berjenis kelamin perempuan. Dua tahun kemudian salah satu dari mereka di laporkan meninggal. Tetapi, ada kejanggalan, karena ada yang medokumentasikan saat Anak Handoko, Handoko sendiri yang menaruhnya di pinggir jalan, beberapa kali dan saat ada orang hendak mengambil dia segera muncul dan menyelamatkannya. Tapi, setelah beberapa waktu... dia menaruhnya lagi, sampai akhirnya, Anak laki- laki keluarga Jovan yang mengambilnya, Handoko membiarkannya. Setelah itu keluarga Jovan berangkat ke Jerman untuk pengobatan Jovan dan istrinya."

Tubuh Anggara gemetar setelah mendengar laporan Anak buah Herlambang.

"Tidak, kek itu tidak mungkin... Norien tidak mungkin anak dari keluarga yang telah menghancurkan keluargaku dan memisahkan kami dengan Ara." Anggara menggeleng- gelengkan kepalanya, berharap semua ini salah,

"Kita tidak bisa menyangkalnya jika itu benar- benar anak Handoko." Wajah Anggara memerah, kemarahan, sakit hati, dan benci menjadi satu dan membuat dadanya sesak.

"Tenang kak." Natan menggenggam tangan Anggara.

Natan memandang ke arah Herlambang, "Kek, apa yang harus kita lakukan?" Natan bertanya pada Herlambang, "Serahkan pada kakek," Anggara dan Natan mengangguk, "Untuk sementara ini, jangan membuat mereka curiga dulu. Terutama kamu Gara!" Anggara dan Natan mengangguk,

"Kakek akan memperketat keamanan rumah kita, jaga Papi Mami kamu Gara!" Anggara mengangguk.

"Kami pamit kek." Herlambang mengangguk.

Anggara dan Herlambang kembali kerumah.

Natan masuk kembali kekamar dan tidur sambil memeluk Ara, sedangkan Anggara dan Very berunding dan memutuskan kembali kerumah Anggara karena cemas dengan keselamatan Papi Jovan dan Mami Andien.

***

Pagi- pagi Natan sudah membuat roti bakar dan susu. Ara juga sudah rapi kerena, Natan mengajak Ara kekantor untuk menemaninya.

Ara terheran- heran merasakan suasana rumah begitu sepi, lalu bertanya kepada Natan, "Nat, kak Gara sama Very kemana?"

"Kembali keasalnya." Jawab Natan asal.

Ara curiga menatap tajam kearah Natan, "Kamu yang nyuruh mereka pergi?" Natan meletakan kembali rotinya yang hendak di masukan mulutnya. " Aku enggak sembarang ngusir kali Ra, mereka juga keluarga kita." Ara masih menatap Natan, "Aku cemas Nat ...."Natan segera memeluk Ara , sebenarnya dirinya juga cemas tapi sengaja menyembunyikan kecemasannya. "Tidak perlu ada yang kamu cemaskan yank, semuanya baik- baik saja."

Setelah sarapan, Natan dan Ara berangkat menuju kantor. Natan turun dari mobilnya, menurunkan kursi roda dari bagasi dan menggendong Ara untuk duduk di kursi roda yang telah di siapkan Natan,

"Pak, tolong parkikan mobilnya!" Natan menyerahkan kunci mobil kepada anak buahnya. Lalu mendorong Ara masuk kedalam kantor, banyak karyawan yang menyapanya hormat dan iri melihat interaksi Ara dan Natan yang sangat mesra.

"Nat..."

"mmm." Ara mendongakan kepalanya menatap Natan, "Kamu enggak malu membawa istrimu yang enggak bisa jalan ini?"

Natan langsung menghentikan langkahnya dan membungkuk, hingga jarak mereka sangat dekat, "Apa kamu bilang? kamu belum boleh jalan bukan enggak bisa jalan, ngapain malu hah?" Natan tidak ragu- ragu mengecup bibir Ara di depan umum. Beberapa karyawan terbawa suasana romantis mereka hingga berdiri mematung melihatnya, yang satunya cantik dan yang satunya tampan,

"Aku... takut nanti jalanku tidak sesempurna seperti sebelum jatuh," Ara menunduk sedih. Natan memegang dagu Ara dan mengangkatnya "Kamu di mataku tetap sempurna, ma'af semua salahku." Natan membelai rambut Ara, "Tidak Nat, ini hanya kecelakaan." Ara baru sadar posisi dia bicara dimana, pipinya merona karena banyak karyawan Natan yang memperhatikan adegan mereka,

"Nat..." Natan mengangguk masih memandang Ara dengan lembut. "Iya yank." Pandangan Ara di alihkan ke sekitarnya dan Natan mengikuti mata Ara lalu tersenyum, malah jahil mengecup bibir Ara kembali. "Nat...." Pipi Ara semakin merah. Natan tidak peduli, berdiri tegak lalu mendorong kembali kursi roda Ara dan masuk lift pribadinya.

"Kamu di sofa aja yah yank, biar aku bisa kerja sambil lihat kamu," Ara hanya menganggukan kepalanya. Natan langsung bekerja sementara Ara membuat beberapa desain baju untuk mengurangi rasa bosan.

tok...tok...tok... pintu di ketuk, "Masuk!" pintu di buka dan muncul seorang wanita seumuran Ara, "Selamat pagi pak, saya Neni pengganti sementara Bu Salsa..." Natan menatapnya sebentar, lalu melihat lagi ke pekerjaannya,

"Sudah di tanya jadwalku ke Bu Salsa?"

"Sudah pak, ini dokumen yang harus Bapak tandatangani, saya permisi." Natan hanya mengangguk, Neni berbalik dan memberi senyum hormat juga kepada Ara, Ara membelas senyuman Neni.

Natan bangkit dan menghampiri Ara, "Makan siang yank, mau makan di mana?" Natan duduk di samping Ara sambil memeluk tubuh Ara, Ara menghentikan kegiatannya balas memeluk Natan. "Tidak usah kemana- mana, makan di sini saja."

"Baiklah aku suruh Neni pesan yach," Natan bangun lalu menyuruh Neni memberikan makanan dan minuman buat Ara dan dirinya lewat interkom, lalu kembali duduk di samping Ara dan menaikan kaki Ara ke sofa, Natan mulai memijatnya lembut. "Masih sakit?." Ara menggeleng, "Hanya linu sedikit." Natan lega mendengarnya, "Syukurlah,"

Tok...tok... tok... pintu di ketuk lagi, "Masuk!" Neni masuk sambil membawakan makan siang untuk Natan dan Ara, "Ini mau di taruh di mana Pak, Bu?" Neni bingung karena melihat meja penuh dengan pekerjaan Ara, Ara baru nyadar dan membereskan pekerjaannya, "Di taruh di sini saja tidak apa."

"Baik Bu..." Neni menaruh nampan dengan hati- hati, "Makasih." Neni mengangguk,

"Sama- sama Bu, saya tinggal, kalau ada apa- apa jangan sungkan memanggil saya,"

"oke..." selanjutnya Natan dan Ara menikmati makan siangnya, setelah itu Natan membawa Ara ke ruang istirahat. "Di sofa aja yank, makanannya belum turun masa harus langsung tidur siang," Ara cemberut ketika Natan mau membaringkan dirinya di tempat tidur.

"Yang di bawah bangun yank, lapar." Pipi Ara langsung memerah, dan mencubit pinggang Natan, "Awww ... sakit Ra." Mata Ara mendelik,

"Bisa tidak di Rum..." pembicaraan Ara terputus karena bibir Ara di bungkam oleh ciuman Natan.

"Aku inginnya sekarang, jangan membantah!" Mendengar peringatan Natan, Ara tidak berani menolaknya segera memberi akses untuk Natan, Natan melempar jas dan yang lainnya kesembarang tempat dan juga pakaian Ara, hingga suasana istirahat di tengah hari yang panas semakin panas dengan aktivitas mereka, keringat membasahi seluruh tubuh Natan dan Ara,

"Makasih yank," Natan memeluk erat tubuh Ara setelah menikmati pelepasannya, Ara hanya mengedipkan matanya lalu memejamkan matanya. Natan ikut istirahat sebentar, setengah jam kemudian membersihkan tubuhnya dan bekerja kembali.

Sedangkan Ara tidur lelap karena kelelahan.

Natan mengikuti beberapa pertemuan di beberapa tempat sampai sore dan kembali lagi ke kantor meneruskan pekerjaannya sampai jam enam sore.

"Yank, bagaimana kamu mandi sendiri, kenapa tidak memanggilku?" Natan terkejut melihat Ara sudah rapi dan sedang menyisir rambutnya, "Kan aku sudah bilang ke kamu, aku sudah baikan." Wajah khawatir Natan sangat jelas terlihat, "Aku hati- hati Nat, kan ada tongkat." Ara menunjuk tongkat yang tidak jauh darinya, Natan menarik napas panjang dan memeluk Ara, "Ma'af, aku terlalu fokus bekerja, hingga lupa tidak mengecek apakah kamu sudah bangun apa belum." Ara mengusap wajah lelah Natan, "Kamu tenang saja, kalau aku tadi tidak bisa aku juga tidak akan memaksakannya. Tapi, memeng aku sudah baik."

"Tapi ingat kata dokter, kaki yang sakit itu tidak boleh di paksa berjalan dulu."

"Iyah aku ingat kok, aku hati- hati." Ara meyakinkan Natan, Natan mengecup kening Ara dan memeluk tubuh Ara,