webnovel

KEJAWEN : Sebuah Aliran Kepercayaan

"Tidak ada yang benar-benar sendiri selama ini, cukup buka mata dan perhatikan dengan jelas" Arif, seseorang yang tak tau terlahir dari keluarga spesial. Suatu ketika dia harus menanggung semua masalah yang diperbuat keluarganya. Teror terus menerus membuat Arif hampir menyerah dan menyudahi semuanya. Sampai akhirnya dia tau cara mengendalikannya.

HemaYnara · Kinh dị ma quái
Không đủ số lượng người đọc
17 Chs

13. Dia Kembali

****

     Malam ini, tepat satu minggu Gema keluar dari rumah sakit. Arif terpaksa melakukan itu karna biaya perawatannya yang semakin mahal.

     Meskipun kondisi Gema sudah terlihat seperti orang yang sehat, tapi tetap saja ia masih terus diam tanpa kata.

     Dan malam ini juga, sudah hampir satu minggu belum ada kabar dari Wardi. Pria itu bilang akan membantu Arif, tapi dia seolah hilang di telan bumi tanpa kabar.

     Arif ingin sekali menemuinya, tapi ia takut itu hanya membuat Wardi marah dan akhirnya tak mau membantu Arif.

     "Hari ini boleh ambil Reward ya, bebas mau bawa makan atau minum apa aja" ucap Roni, dia manager di restoran ini.

     "Dua yang bang" seru Bara semangat.

     "Boleh, tapi yang satunya potong gaji!"

     "Nggak jadi nggak jadi" pasrah Bara.

     Arif yang mendengar berita bahagia itu langsung lari ke dapur dan meminta Yudis untuk membuatkannya makanan untuk dibawa pulang oleh Arif.

     "Yudis! Bikinin gue beef teriayaki ya" pinta Arif di depan pintu dapur.

     "SIAPA LAGI YANG MAU? MAU BERES BERES NIH GUE" teriak Yudis.

     "GUE!"

     "GUE JUGA DIS, YANG ENAK TAPI!"

     "Kurang ajar banget Nana, emang masakan gue suka nggak enak ya Rif?" Tanya Yudis memelas.

     "Hmmm, lumayan lah"

     Arif lalu pergi dari dapur dan menyelesaikan pekerjaannya kembali, yaitu membereskan meja depan sembari mengepel.

     Hari ini cukup ramai karena weekend, bahkan sudah berlima pun hampir kewalahan karna pesanan yang menumpuk.

Kringggg

     Sebuah bunyi dari arah pintu menunjukan seseorang masuk ke dalam restoran.

     "Maaf mas, restoran sudah tutup" kata Nana yang berada di depan meja kasir yang tepat menghadap pintu masuk.

     Mata Nana membulat sempurna saat menyadari siapa orang yang baru saja masuk ke restoran. Ia begitu terkejut dengan kehadirannya.

     "RIF!!" Panggil Nana sedikit teriak.

     "Apaan?" Sahut Arif yang sedari tadi fokus mengepel. Tapi saat melihat orang itu, Arif langsung menghentikan pekerjaannya.

     "Bang Joe?"

     Itu dia, Joe, pria yang datang jam 11 malam dengan terburu-buru. Membuat kaget seluruh karyawan di restoran itu.

     "Rif?" Lirih Joe lemas sambil menghampiri Arif yang tak jauh berdiri darinya.

     Tubuhnya begitu kurus, wajahnya pun sangat tirus dan pucat. Lebih seperti mayat hidup yang baru saja keluar dari liang kubur.

     Joe berjalan perlahan sembari menjulurkan tangannya, kakinya seperti pincang sebelah membuatnya kesulitan berjalan.

     Arif yang bingung lalu berjalan mendekati Joe yang begitu lusuh dan menyedihkan.

     Ketika Joe sudah mendekati Arif, tiba-tiba tubuhnya menjadi sangat lemas dan terjatuh saat itu juga. Ia tersungkur dengan wajah mendarat di lantai lebih dulu.

     "Ya ampun, bang Joe" Arif yang terkejut berlari dan mencoba untuk membatu Joe.

     Nana serta karyawan restoran yang masih ada di sana pun sontak menghentikan semua pekerjaannya untuk segera membatu Joe juga.

     Kini Joe sudah ada di pangkuan Arif, Arif semakin jelas melihat raut wajah Joe yang begitu pucat dan tengkorak wajahnya yang semakin menonjol.

     "Rif" panggil Joe dengan suara seraknya.

     "Bang, bang Joe, lo kenapa?" Sahut Arif khawatir.

     "Pu..putuskan" ucap Joe pelan.

     "Apa?" Jawab Arif yang tak mendengar.

     "Su...sudahi"

    "Rif, bang Joe kenapa?" Tanya Nana yang ada di samping Arif.

     "Nggak tau" ucap Arif pelan sembari menggelengkan kepalanya.

     "Akhhhhh" Joe tiba-tiba mengambil napas panjang sampai terdengar seperti erangan.

     "Ya Allah bang, kenapa?" Panik Arif.

     "Akhgrhhhhhhh" tubuh Joe memberontak, ia terus berbaring dan bergerak tak jelas seperti sedang kepanasan.

     Beberapa kali ia terpeloncat layaknya ikan yang keluar dari air. Orang orang yang di sana ketakutan melihat Joe yang bertingkah aneh, tak ada satu pun yang berani mendekati Joe.

     Sampai tiba saatnya Joe kembali stabil dan tak bergerak, barulah Arif berani untuk mendekati Joe.

     Tetapi, baru satu langkah Arif mendekati Joe. Pria itu langsung berdiri dengan tegaknya seperti orang yang sehat lalu berlari dengan cepat menuju luar restoran.

     "Bang Joe! Mau kemana" teriak Arif memanggil Joe.

     "Kejar Rif!" Suruh Nana.

     "Dia siapa?" Tanya Roni yang memang tak tau apa yang baru saja terjadi.

     "Nanti gue jelasin bang, sekarang tolong orang itu dulu aja" jelas Nana yang lalu segera menyusul Arif mengejar Joe.

****

     Betapa terkejutnya mereka saat mendapati Joe ternyata tak pergi dari restoran itu, tapi hanya berlari keluar lalu berdiri di depan restoran itu dan menatap langit.

     Arif ragu untuk mendekatinya, tatapan matanya sangat kosong, dari jauh bahkan seperti hanya terlihat warna putih saja di bola mata dia.

     "Bang Joe" Arif mencoba mendekatinya perlahan.

     Mulut Joe seperti sedang berbicara atau membacakan suatu kalimat, Arif tak begitu mengerti apa yang di ucapkannya tapi terasa menyakitkan di telinga Arif.

     "Rif, lo kenapa?" Teriak Nana yang melihat Arif dari jauh hanya terdiam di sana dan bukannya menolong Joe.

     Nana lalu memberanikan dirinya untuk mendekati Arif dan Joe, merasa ada yang aneh.

     "Nana jangan ke sana" tahan Roni agar Nana tak mendekati mereka berdua.

     Roni merasa curiga denga Joe dan berniat melaporkan hal ini kepolisi.

     "Bara, cepet telpon polisi" suruh Roni.

     "Iya bang" Bara pun segera lari masuk ke restoran dan menelpon polisi.

     Sedangkan Nana terus saja menghampiri mereka berdua. Perlahan Arif pun tertunduk lemas di hadapan Joe, kepalanya pun menadah ke atas seperti memperhatikan Joe begitu lekat.

     "Arif" Nana menepuk pelan pundak Arif, ia pun tersadarkan lalu segera berdiri.

     Tapi tidak dengan Joe, entah apa yang sedang Joe lakukan ia perlahan melayang. Tubuhnya seperti sedang di tarik oleh sesuatu ke atas.

     "BANG JOE! SADAR!" Pekik Arif terus menerus berharap Joe sadar.

     Joe terus melayang, Nana dan Arif pun dibuat tak percaya, tapi itu semua yang terjadi.

     "SADARRRR!"

     Seperti sebuah keajaiban Joe pun tersadar oleh teriak Arif, ia melirik ke bawah dan menatap Arif lemas.

     "Arif, tolong..."

KREKKK!!!

     Tubuh Joe terpatahkan ke belakang dengan mudahnya seperti sebuah ranting kayu yang patah.

     Arif dan Nana pun sontak terkejut, takut, dan sedih melihat tubuh Joe yang sudah tak berbentuk.

BUKKKK!!!

     Tubuh Joe lalu terjatuh dari ketinggian, ia mati di tempat saat itu juga. Tak ada yang bisa Arif dan Nana lakukan selain melihat mayat Joe yang terkapar di tanah.

     Nana terus menangis tanpa henti karena syok melihat seseorang baru saja mati Dihadapannya dengan cara mengenaskan. Arif pun hanya terdiam kaku melihat mayat Joe yang patah.

     "Yudis, bilang bara suruh cepet panggil polisi" suruh Roni yang ikut terkejut.

     "I...iya bang"

     "Cepet!!!"

     Tak lama, polisi pun datang. Mereka semua juga dibuat tak percaya melihat jasad Joe yang patah seperti itu.

     Polisi membawa Arif, Nana beserta karyawan restoran lainnya untuk memberikan keterangan di kantor mengenai tragedi Joe barusan.

****

     Satu jam lebih, satu Persatu dari saksi mata dipintai keterangan mengenai kematian Joe. Arif orang terakhir yang di mintai keterangan, ia akhirnya diizinkan pulang.

     Arif pikir teman temannya sudah pulang terlebih dahulu, tapi ia salah. Ternyata semua teman-temannya masih menunggu ia di luar kantor polisi.

     "Gimana tadi Rif?" Tanya Roni, walaupun ia manager Arif, tapi saat di luar restoran dia hanya teman biasa Arif dan bukan atasannya.

     "Biasa, cuma di tanya tanya" jawab Arif seadanya karena masih syok.

     "Orang itu siapa sih Rif?" Tanya bara yang penasaran.

     "Panjang ceritanya, mungkin lain kali aja gue ceritanya"

     "Iya, udah tengah malem juga, mending pada pada pulang gih" suruh Roni.

     "Oke deh, besok aja ceritanya, gue juga cape, bye" balas Bara lalu pergi.

     "Gue juga balik ya Rif" pamit Roni yang menyusul Bara pulang.

     "Iya bang, hati hati"

     "Eh Rif, nih" Yudis memberi sebuah bungkusan. "Tadi sebelum itu orang dateng, gue udah selesai bikin reward buat lu, tapi yang lain belum sempet"

     "Widih, makasih loh ya dis"

     "Santai, gue pulang juga ya" pamit Yudis.

     "Oke, hati-hati"

     Arif lalu melirik Nana yang masih duduk terdiam, mungkin hal tadi akan menjadi mimpi buruk bagi seorang Nana. Melihat seseorang mati mengenaskan Dihadapannya bukanlah sebuah reward.

     "Na, lo nggak apa-apa?" Tanya Arif yang berdiri di depannya.

     Nana menggelengkan kepalanya pelan. "Gue masih kaget aja Rif"

     "Gue juga sama Na" jawab Arif lemas.

     "Selama itu, dia hilang kemana ya Rif?"

     "Semenjak hari itu, gue nggak pernah tau dia pergi kemana Na, baru hari ini juga gue ketemu bang Joe lagi"

     "Gue ngerasa akan ada sesuatu yang buruk setelah ini Rif" Nana menatap Arif begitu dalam, ia merasa khawatir dengan Arif.

     "Tenang aja Na, justru gua sekarang bingung gimana cara ngabarin ke kak Gema tentang kematian bang Joe" pikir Arif.

     "Iya juga, Kak Gema pasti kaget banget sih ngedenger kabar ini"

     "Tapi, gimana pun juga dia harus tau kan"

     "Iya, lo bener" jawab Nana mengangguk setuju. "Rif, ayah gue udah jemput"

     "Iya Na, nggak apa-apa lo pulang aja"

     "Sorry ya, besok gue bakal jenguk kak Gema"

      "Oke, salam buat ayah lo"

      Nana berpamitan dengan Arif dan meninggalkan Arif sendirian di sana. Ayah Nana sangat khawatir saat mengetahui anaknya ada di kantor polisi, lalu ia berinisiatif untuk menjemputnya.

****

      Sudah tengah malam, dan Arif baru pulang. Sekarang, Arif tak tinggal lagi di rumah susun, ia tinggal bersama kakaknya untuk terus merawatnya hingga sembuh.

     Arif lalu menghampiri Gema yang ada di kamarnya, sepertinya ia sudah tertidur. Sebuah ide buruk jika membangunkannya hanya untuk memberitahu kabar kematian sahabatnya.

     Saat Arif akan menutup pintu kamar Gema, ternyata Gema sedang menengok ke arah Arif. Tanpa pikir panjang, saat melihat kakaknya yang tidak tidur ia lalu menghampirinya.

     "Kak, gue bawa makan nih, mau makan?" Tanya Arif.

     Gema menggelengkan kepalanya tanda tidak mau.

     "Yaudah, buat besok pagi aja ya, nanti gue angetin"

     Arif menarik napas panjang untuk mengumpulkan keberaniannya, entah kenapa hal ini menjadi semakin sulit saja.

     "Kak..." Arif ragu untuk bicara, tapi ia tetap harus melakukannya.

     "Kak, ada yang mau gue omongin" ucap Arif memberanikan diri.

     Gema pun hanya terus menatap Arif lekat seperti penasaran apa yang akan Arif ucapkan.

     "Tadi gue ketemu bang Joe, ta..tapi sekarang dia...dia udah meninggal kak"

     Dari raut wajah Gema sudah dapat ditebak kalau Gema terkejut dan sedih mendengarnya. Ia lalu perlahan menarik selimutnya kembali dan tidur.

     "Maaf kak" Arif kemudian keluar dari kamar Gema, membiarkan kakaknya untuk istirahat dan mungkin berduka karena kepergian sahabatnya.

****

     Di sisi lain, hal yang dirasakan Gema setelah mendengar kabar kematian sahabatnya sangat menyeramkan. Karena setelah sahabatnya tiada, sudah tidak ada lagi pembatas.

     Gema memang tertidur saat itu, tapi juga terlelap dalam ketakutan mendalam.

****

     Arif masuk ke dalam kamarnya, ia segera bersih bersih untuk bersiap tidur. Hari ini menjadi dua kali lipat lebih melelahkan karena kehadiran Joe.

     Ada sesuatu yang mengganjal di pikiran Arif, tentang mantra yang di ucapkan Joe sebelum ia mati.

     "Dia ngomong apa ya?" Pikir Arif.

     Saat itu, Arif terasa seperti terbawa oleh sesuatu juga. Bahkan, saat tubuh Joe akan patah. Arif seperti melihat sesuatu baru saja keluar melewati mulut Joe, seperti sebuah asap hitam.

     "Rasanya, sangat dingin" gumam Arif.

     "Apa mungkin? memang selama ini, sesuatu itu sudah ada di dalam diri"

     "Apa mungkin? maksudnya dari putuskan itu, sesuatu seperti tadi"

****