webnovel

14. Perjanjian

****

Semalaman, Arif tidak bisa tidur karena terus di hantui rasa bersalah dan penasaran soal kematian Joe yang mendadak. Tragedi kemarin sangat menyeramkan untuk di ingat berkali kali.

TOK TOK TOK!!!

Arif begitu terkejut mendengar ketukan keras dari arah pintu. Dengan langkah lemas dan was-was ia pun menghampiri sumber suara tersebut.

Ketika Arif akan membuka pintu rumahnya. Brakkk!!! Dorongan keras menghantam pintu rumahnya sampai membuat Arif terdorong ke belakang.

"LAMA BANGET SIH LO!" Pekik Nana kesal.

Arif sudah menduganya, ada dua kemungkinan pintu rumahnya di ketuk sekeras itu. Pertama, akan ada makhluk yang menyebalkan muncul. dan yang kedua, Nana lah yang akan muncul.

"Na lo ngapain sih? Masih pagi!" Kesal Arif.

"Kita mau jenguk kakak lo"

"Kita?" Satu alis Arif terangkat heran. Tiba-tiba segerombolan orang datang di belakang Nana yang sedang berdiri.

"Hai Rif" sapa Bara Yudis dan Roni. Bahkan seorang manager ikut datang menjenguk, sangat aneh.

"Lah, kenapa pada di sini?" Bingung Arif melihat semua teman kerjanya datang.

"Jenguk kakak lo, dan ada urusan yang menyebalkan di toko makanya kita ke sini" ujar Roni dengan santainya sambil masuk ke rumah Arif, padahal Arif sendiri saja belum menyuruh mereka masuk.

Karena Roni adalah pimpinan di restoran, jiwa anak buah Yudis, Bara dan Nana pun keluar. Mereka semua langsung ikut memasuki rumah Arif begitu saja. Nggak ada akhlak!

****

     Mereka semua langsung duduk di sofa ruang tamu, padahal hari ini Arif sedang malas bicara dengan orang-orang.

     "Di rumah gue nggak ada makanan, jadi jangan harap gue bakal tawarin makanan" ucap Arif berjaga-jaga.

Wushhh!!! Dengan cepat Nana menuju dapur Arif, wanita itu memang selalu bersikap seperti itu.

     "Na! Gue bilang juga nggak ada apa-apa" susul Arif ke dapur.

     "Gue cuma pengen berdua sama lo di sini"

     "Ada apa sih?"

     "Justru gue yang harus nanya itu ke lo, kemaren lo kenapa?" Nana menatap tajam Arif.

     "Kenapa apa maksudnya?" Bingung Arif.

     Nana menghela napasnya, ia tau kalau saat itu Arif mungkin saja tidak sadar. "Waktu lo susul bang Joe keluar restoran, tiba-tiba lo malah diem di depan dia dan duduk gitu, apa yang lo liat?"

     Jujur, Arif sendiri tidak tau apa yang sedang terjadi dengan dirinya saat itu. Tubuhnya menolak mengikuti perintah arif. "Gue nggak begitu yakin Na sama yang gue rasain waktu itu"

     "Emang, apa yang lo rasain?"

     "Pusing, pandangan gue tiba-tiba kabur, kuping gue penging tapi rasanya sakiiit banget" jelas Arif sembari membayangkan perasaan yang kemarin.

     "Gue liat kemarin, bang Joe kaya ngomong sesuatu"

     "Ya, bahasa yang gue nggak ngerti sama sekali, kecuali satu" Arif terdiam berpikir.

     "Apa?" Tanya Nana penasaran.

     "Dia bilang, gue harus putuskan dan sudahi, tapi gue nggak ngerti apa yang dia maksud"

     Arif dan Nana sama sama diam dan terus berpikir, sudah lama menghilang dan Joe tiba-tiba datang dengan kondisi seperti itu pasti sudah terjadi hal mengerikan diluar sana.

     Dan kemungkinan terburuknya, Gema atau Arif suatu saat nanti jika tidak hati-hati akan bernasib sama seperti Joe.

****

     Arif kembali dari dapur bersama Nana sambil membawa beberapa gelas minuman.

     "Sorry lama, cuma ada minuman ini aja" ucap Arif menaruh gelas itu di meja.

     "Santai aja Rif, malah kita yang bawa nih makanan buat lo sama kakak lo" ungkap Roni, yang memberikan beberapa bingkisan untuk Arif dan Gema.

     "Nggak usah padahal"

     "Tenang aja Rif, itu dari uang tips" celetuk Bara dengan santainya.

     "Oh ya, bukannya resto harus udah buka ya jam segini?" Arif sampai lupa kalau ini sudah jam masuk kerja.

     "Oh, itu dia yang gue maksud ada urusan menyebalkan di restoran" decak Roni kesal.

     "Ada apaan sih?"

     "Polisi" jawab Yudis sembari mengambil minuman.

     "Ngapain mereka?"

     "Gara gara kematian Joe di anggap nggak normal, polisi mulai nyari petunjuk, restoran kita jadi TKP gitu lah, nggak ngerti gue juga" sahut Nana menjelaskannya.

     "Tapi cuma sebentar, mereka bilang kita boleh buka restoran itu lagi nanti siang" lanjut Roni.

     "Padahal lebih enak libur aja ya" celetuk Bara asal.

     "Kita buka siang aja belum tentu ada pembeli Bar, beritanya udah kesebar, para pembeli jadi sedikit takut buat dateng ke restoran" ujar Yudis.

     "Duh, sorry ya bang Roni, jadi ribet gini masalahnya" Arif menyesal.

     "Kenapa jadi lo yang minta maaf, bukan salah lo lagi. Kenapa juga itu orang tiba-tiba dateng kaya gitu" ucap Roni.

     "Dia teman kakaknya Arif bang, udah hampir 2 minggu lebih dia hilang gitu aja, terus kemarin waktu dia dateng, kita kaget ngeliat dia kondisinya kaya gitu" sahut Nana meluruskan.

     "Hilang? Di culik?"

     "Sebenernya dia..."

     "Ya dia diculik" potong Arif tiba-tiba. Nana sendiri tidak tau maksud Arif itu apa.

     "Lagian ya, itu orang tuh aneh, badannya kurus banget kaya abis di siksa 7 hari 7 malem nggak berenti, terus bisa melayang laGIIII..." suara melengking Bara, ia menjerit ketakutan menunjuk arah tangga.

     Sontak, Arif dan yang lainnya pun menengok ke arah yang ditunjuk Bara. Ternyata itu Gema, ia sedang berdiri menatap kosong ke arah teman teman Arif.

     Arif pun langsung menghampiri Gema untuk memastikannya.

    "Sebentar ya"

     Setelah bicara dengan Arif, Gema perlahan berjalan kembali ke atas menuju kamarnya. Sedangkan Arif menuju dapur seperti ingin mengambilkan sesuatu untuk Gema.

****

     Arif berjalan cepat dari dapur menuju kamarnya Gema, ia memberi tanda di tangannya saat lewat teman temannya. Menunjukan untuk menunggunya sebentar.

     Nana, Roni, Yudis dan Bara hanya bisa diam menunggu kedatangan Arif kembali. Ditambah lagi Bara yang masih terlihat takut di wajahnya saat bertatapan langsung dengan Gema.

****

     Tak lama, Arif kembali menemui teman temannya di ruang tamu.

     "Sorry, kakak gue sering kaya gitu" ungkap Arif.

     "Kakak lo sakit apa Rif?" Tanya Roni.

     Arif hanya tersenyum kecil dan menggelengkan kepalanya. Ia tak mau menjawab apapun, karena Arif yakin mereka tidak akan mengerti.

     "Kak Gema sering banget keluar kamar gitu Rif?" Kini Nana yang penasaran.

     "Iya, dia sering banget keliling rumah gitu tanpa gue sadari, terakhir kali dia kaya gitu, gue pernah nemuin dia ada di rubanah, cuma berdiri di depan lemari yang ada di bawah, dan gue rasa dia hampir 1 jam berdiri di sana" jelas Arif sambil menatap Nana.

     Arif tau, hanya Nana yang mengerti situasi ini. Sedangkan teman-temannya yang lain hanya mendengarkan tanpa mengerti sedikitpun.

     Roni, Yudis dan yang terkhususnya Bara, semakin di buat takut dengan cerita Arif. Mereka sama sekali tidak siap dengan cerita menyeramkan barusan, mereka hanya mengira  kalau Gema sekedar sakit biasa saja.

     ****

     Tanpa sadar, mereka terus bercakap cakap sampai tengah hari. Dan sesuai dengan perjanjian bersama polisi, restoran boleh di buka kembali di siang hari.

     "Rif, kita balik ke resto dulu ya, karna jam kerja lo 2 jam lagi habis, jadi lo nggak usah ke restoran aja nggak apa-apa" ucap Roni lalu berdiri.

     "Serius bang?"

     "Iya, lagian juga bener kata Yudis, belum tentu hari ini bakal rame, jadi ada kemungkinan gue juga bakal tutup cepet restonya"

     "Yes!!!" Seru Yudis dan Bara semangat dalam hati.

     "Lo masih mau di sini Na?" Tanya Bara yang sudah ada di depan pintu.

     "Iya, masih mau gibah gue sama Arif"

     "Yaudah, tapi kalo butuh apa-apa lo tinggal telepon gue aja yaaaaaaa..." Bara kembali teriak saat membuka pintu.

     Ternyata sudah ada seseorang dengan wajah datarnya berdiri di depan pintu tanpa mengetuk sama sekali. Hal ini sekali lagi membuat jantung Bara semakin ketakutan.

     Arif dan Nana mengecek orang dibalik pintu itu. Dan itu Wardi, pria yang sudah ditunggu tunggu sejak lama oleh Arif dan Nana kedatangannya.

     "Nggak apa-apa dia temen gue, kalian pulang aja" jelas Arif.

Tatapan aneh mereka tujukan pada Wardi, karena itu memang pertama kalinya mereka bertemu dengan Wardi. Sedangkan Arif dan Nana sudah biasa melihat sikap Wardi yang terkadang membingungkan.

"Masuk Di" Arif mempersilahkan Wardi memasuki rumahnya.

****

Tidak seperti teman temannya, Wardi justru tidak langsung duduk di sofa ruang tamu melainkan berdiri di depan tangga yang menuju kamar Gema.

Sikap diamnya yang sejak tadi membuat atmosfir sekitar menjadi semakin dingin. Bahkan Nana dibuat bungkam dengan sikapnya Wardi.

Perlahan, tangan Wardi menunjuk ke atas, mengarah tepat ke kamar Gema.

"Dia ada di atas?" Tanya Wardi dengan nada dingin serta wajahnya yang masih terlihat datar tanpa ekspresi.

"Kak Gema? Iya, dia ada di atas"

Wardi kemudian membalikan badannya, kini tatapannya berbeda. Ia menunjukan raut khawatir.

"Sebelumnya, saya mau tanya" ujar Arif penasaran.

"Apa?"

"Kenapa kamu bisa tau rumah saya? Saya nggak pernah ngasih tau"

Wardi tersenyum kecil, kini ia berjalan menuju sofa yang ada di dekat Arif dan duduk di sana.

"Saya ini keturunan cenanyang, masalah nyari rumah kamu aja itu gampang" jawab Wardi. "Bahkan kejadian kemarin pun saya tau" kini suasana kembali dingin saat Wardi mengetahui Tragedi Joe.

"Dia datang gitu aja, saya juga nggak tau dia darimana atau mau apa waktu itu"

"Maaf" ucap Wardi tulus. "Seharusnya saya datang satu hari sebelum Joe datang, tapi karna ada sedikit urusan, saya baru bisa datang sekarang dan hal buruk pun terjadi"

"Jadi, kamu sudah tau ini akan terjadi?" Kaget Arif.

"Iya, dan kalau saya tetap egois, mungkin kakak kamu juga akan menyusul dia dengan cepat"

Arif dan Nana terdiam, dugaan terburuk mereka kini sebentar lagi akan benar-benar terjadi.

"Tolong Kak Gema sekarang Wardi, saya mohon" pinta Arif dengan sungguh sungguh.

"Saya tau kamu akan minta itu"

Wardi pun berdiri, ia kemudia berjalan naik ke lantai atas untuk menemui Gema. Tapi saat Arif kan menyusul, Wardi melarangnya.

"Jangan! kamu yang selanjutnya, harus tetap menjauh dan waspada" ungkap Wardi lalu pergi.

Mungkin, sudah kesekian kalinya Arif mendengar kata kata itu dan tetap tidak mengerti maksudnya. Dengan pasrah, Arif dan Nana hanya bisa dia di bawah sambil menunggu Wardi selesai. Entah apa yang di lakukannya di atas sana.

"Ada yang aneh nggak sih Rif?" Curiga Nana. Wanita ini memang sangat kritis dan teliti.

"Nggak yakin, tapi dia harapan gue satu satunya"

"Terus mau apa dia sendirian di atas?"

Arif mengedigkan pundaknya. "Lagi exorcism kali"

"Pengusiran setan?"

"Iya"

Arif kembali menuju sofa, ia memilih menunggu di sana. Sedangkan Nana, ia tetap menunggu di samping tangga. Rasa penasarannya sangat tinggi dibanding rasa pegal.

Perasaan aneh mulai Nana rasakan. Perlahan, ia melirik ke pintu rubanah yang tepat berada di sampingnya, sejak kapan pintunya terbuka?

Karena penasaran, Nana berjalan menuju pintu itu dan berniat menutupnya. Tapi saat ia berada diambang pintu, Nana melihat sosok pria hitam sedang berdiri tegak menatap lurus ke arah Nana. Matanya bercahaya tetapi tubuhnya hanya terlihat hitam.

Dari kejauhan, Arif melihat Nana yang berdiri diam di depan pintu. "Na! Ngapain lo?" Panggil Arif dan tak di jawab sama sekali oleh Nana. Lantas, Arif pun menghampirinya.

"Hei, kenapa sih lo?"

Saat Arif menghampiri Nana, ia masih tidak sadar apa yang sedang Nana lihat. Sampai akhirnya Nana pun menunjuk ke arah makhluk hitam itu.

Seketika, sekujur tubuh Arif merinding. Sudah cukup lama makhluk itu hanya berdiri menatap ke arah mereka berdua, tatapannya begitu tajam dan membuat merinding.

Lalu, makhluk itu perlahan berjalan menuju rubanah. Arif dan Nana pun setuju untuk mengikutinya.

****

Setibanya di sana, mereka terus berhadapan dengan sesuatu yang lain. Kini, makhluk hitam itu sudah terlihat lebih jelas. Ia berdiri menghadap tembok, Sosok pria paruh baya yang terus saja menunduk.

"Mi...misi pak..."

WUSHHH!!!

Sekejap mata pria itu datang berlari menuju Arif dan Nana, ia memegang kepala Arif dan Nana. Dan saat itu juga, Arif melihat sebuah gambaran.

Sosok manusia dengan iblis yang memiliki hubungan, sebuah perjanjian untuk mendapat sesuatu.

"Yang sudah di beri, harus membalas Budi" ucap iblis tersebut.

****

Next chapter