webnovel

KARASU

"Aku mendengar suara kepakkan sayap yang menyedihkan .. Dia yang bertengger disana. Seakan memberi isyarat .. Kematian yang dekat" Sagiri terbangun sebagai seorang Karasu makhluk tanpa ingatan. berbekal THE BOOK of JOKER dan sebuah gun ia harus menghabisi ribuan Joker, yaitu orang-orang yang harus di hentikan masa hidupnya secara paksa. demi satu harapan terbesar Sagiri semasa hidupnya. lalu pertemuan itupun terjadi. sagiri harus menghadapi salah satu jokernya yang merupakan takdirnya, Naoki pemuda malang yang selalu mengalami hal buruk dalam hidupnya. Sagiri mulai bimbang dengan dirinya. ia dihadapkan 2 pilihan. menghabisi Naoki atau Mengabulkan harapan besarnya. apa sebenarnya harapan terbesar Sagiri? lalu pilihan apa yang akan Sagiri ambil?

Shi_lunaticblue · Kỳ huyễn
Không đủ số lượng người đọc
228 Chs

ROOM

"Hajime Naoki tidak ada? Masih sakit ya?" Seorang guru muda berperawakan tinggi dengan kemeja rapih biru langit dan dasi bergaris, menyebut siswanya satu persatu. Sudah menjadi kewajiban guru homeroom untuk mengabsensi para siswanya sebelum memulai kelas.

Sudah Minggu kedua siswa yang bernama Hajime Naoki tadi tidak masuk sekolah, seminggu sebelumnya walinya datang dan menjelaskan.

"Makoto-sensei, Hajime-kun sakit apa? Kenapa kami tidak diperbolehkan menjenguk?" Gadis yang duduk disamping jendela kedua dari depan bertanya polos, sesekali ia melihat ke bangku belakang yang kosong. Disitu Hajime Naoki biasa duduk.

"Mungkin itu berhubungan dengan sistem imun tubuhnya, jika kalian datang mungkin saja kalian hanya menularkan virus berbahaya. Kebodohan misalnya" katanya ringan

"Senseeeeeeiiiii!!!" Siswa ribut, ada yang tertawa lebih banyak menyoraki guru humorisnya itu.

"Berisiiiik, kita mulai kelasnya"

***

(Kau tahu? waktu tidak pernah baik hati untuk menunggumu. Kau selalu mencoba mengejarnya, bersejajar dengannya, melakukan segala sesuai dengannya, tapi kau tahu? Waktu tidak pernah baik pada siapapun)

Suara itu seperti sebuah mantra bagi Makoto, setiap Makoto terdiam, setiap kali mata Makoto terpejam hanya bayangan saat gadis itu membacakan buku-buku berat yang tidak akan dibaca oleh gadis seumurannya. Bagai film hitam putih yang berputar dalam ruang ingatannya. Bagaimana rambut hitam panjang berkilau gadis itu terurai saat kepalanya menunduk membaca barisan kalimat yang tak begitu jelas, bagaimana mata coklat madunya tekun menelusuri untaian kata, bagaimana bibir merah pucatnya bergerak sesuai isi buku. Semuanya seakan baru kemarin.

"Ruangan itu apakah masih sehangat dulu?" Lamunannya harus ia akhiri. Ia membenarkan letak kacamatanya yang turun di batang hidung mancungnya. Menekan lutut untuk bangun, dengan secarik kertas berisi alamat Hajime Naoki dirawat, Makoto bergegas pergi meninggalkan mejanya yang sudah rapih sejak 2 jam lalu.

Sepatu pantofel hitam berkilau Makoto terus beradu dengan aspal jalan. Dari Sekolahnya mengajar hanya berjarak dua setengah kilometer menuju rumah sakit Naoki dirawat. Melewati penyebrangan yang penuh sesak manusia dengan pikiran mereka yang mudah ditebak. Kemudian barisan kios-kios dengan etalase yang menarik, menuju jalan yang lebih sepi. Dengan gedung-gedung kantor yang menjulang tinggi.

Seperti sebuah kebiasaan, Makoto berjalan sambil menunduk. Langkah Makoto berhenti didepan sebuah gedung bertuliskan "Tokyo Saiseikai Central Hospital" besar-besar dibagian atasnya dan sebatang pohon sakura ukuran sedang di depannya. Makoto memasuki gedung itu, mengangguk pelan pada perawat yang bertemu muka dengannya, lalu menuju bagian administrasi untuk mendapatkan badge penjenguk. Hampir semua karyawan di rumah sakit ini mengenal Futaba Makoto. guru rupawan, berkulit putih yang selalu berbalut kemeja rapih. Hampir setiap hari ia datang ke rumah sakit ini, tidak lain untuk menjenguk gadis itu. Tapi, hari ini ada satu lagi yang harus ia jenguk.

Suara denting lift membangunkan lamunan Makoto, selalu.. setiap kali hampir sampai ke ruangan itu jantung Makoto berdegup. Berandai andai saat ruangan itu dibuka, wajah manis gadis itu menyapanya. Tidak harus melompat untuk memeluknya, saat gadis itu membuka mata indahnya, mengenalinya dan menyebutkan lagi namanya.. langkahnya berat, hanya tinggal memutar kenop pintunya. Berandai andai.. selalu. Dan saat pintunya dibuka, harapan itu utuh sebagai harapan semata.

Ruangan itu putih, dingin dan hampa. Hanya suara pendeteksi denyut jantung dan mesin-mesin khas rumah sakit yang mengalun monoton. Gadis itu masih terbaring disana. Di ranjang besi yang kokoh bagai lukisan. Beberapa selang terlihat membelit bagian tubuhnya. "Masih tidur ya?" Suara Makoto lirih.. suaranya tenggelam oleh udara. Tenggorokannya mendadak kering. Suasana ruangan ini, tata ruangan ini.. tidak ada yang datang menjenguk selain dia dan perawat yang memeriksa. Mata redup Makoto berair.

"Kemana mereka semua, Sagiri?" Disisi gadis itu Makoto menenggelamkan wajahnya. Menangis dalam diam. Semuanya terngiang. Saat gadis itu pertama lahir kedunia, semua menyambutnya, dia tumbuh lalu ayah dan ibunya mulai suka bertengkar, gadis itu tidak boleh terlalu lelah, virus mempengaruhi jantungnya. Ayah semakin menggila dengan pekerjaannya, ibu sibuk dengan dunia barunya, dan Makoto... Pergi untuk melarikan diri. Gadis itu, sendirian. Dan begitu Makoto sadar akan hadir adik kecilnya, gadis itu terbaring disini.

"Adikku.. maafkan aku"

Ruangan itu, selalu tampak begitu luas setiap kali Makoto datang. Tampak lebih terang, tampak lebih kosong. Dulu ada sofa disebelah kiri ranjang, sekarang hanya kursi untuk satu orang. Dulu ada lukisan bunga lili di dinding, sekarang hanya dinding putih yang menyapa. Tapi lemari buku disamping kiri ranjang masih disana, buku-buku yang sudah puluhan jumlahnya itu mengusam. Dari jendela kamar Tokyo tower terlihat. Pemandangan itu adalah favorit adiknya. Ruang rumah sakit itu sudah seperti ruang kamar pribadi bagi gadis itu.

Tokyo Saiseikai Center Hospital lantai 7 ruang Hydrangea.

***

Seharian hanya pemandangan dari luar jendela yang menjadi pusat perhatian Naoki, entah sejak kapan melihat Tokyo tower bisa semenjengkelkan itu baginya. Sesekali ia menoleh ke dinding untuk memastikan jam "Tiga jam lagi" dia mendengus. Sebelumnya perawat sudah memberitahukan bahwa dia sudah boleh pulang pukul 4 sore.

Pikirannya kalut, wajahnya muram sesekali ia menggaruk gusar rambutnya yang dicat pirang, meski sebenarnya tidak gatal sama sekali. Hampir mengumpat kesal, pintunya diketuk "Ya masuk" Naoki penasaran, tidak mungkin ayahnya datang, ia tidak memberitahukan kepulangannya. Mata Naoki membulat ketika yang ada dibalik pintu adalah wali kelasnya. "Makoto sensei!" Gurunya mengangguk.

"Kenapa harus dilantai 7? Tinggi sekali. Ah, apa kabarmu?" Wajahnya berseri.

"Aku baik, tapi kenapa sensei datang?"

"Aku menjenguk apa yang salah? Ah.. soal larangan menjenguk ya? Aku menelpon walimu dan dia bilang kau sudah bisa di jenguk sejak 3 hari lalu"

"Yaa.. kenapa sensei tidak datang kemarin? Atau tiga hari yang lalu? Setidaknya jangan sekarang" Naoki terlihat sedikit ngotot

"Lo kenapa? Akan ada gadis manis yang datang hari ini?" Makoto menggoda

"Tentu saja bukan, hari ini aku pulang dari rumah sakit-?"

"Bagus kan, aku bisa membantumu mengemas barang, kemana orangtuamu?"

"Tidak ada, aku akan pulang sendiri" Naoki memalingkan wajahnya.

"Kau ini, tidak boleh! mana boleh orang yang baru keluar dari Rumah sakit pulang sendirian. Lalu tagihan rumah sakit bagaimana? Kan orangtua-"

"Sudah dilunasi"

Tidak ada lagi pertanyaan dari Makoto tentang orangtua Naoki. Dari ekspresi Naoki tadi, Makoto tahu hal itu adalah hal sensitif.

"Apakah aku harus menelepon walimu?" Makoto bicara hati-hati takut kalau-kalau ia salah bertindak.

"Tidak usah sensei. Waliku baru saja meninggal kemarin" wajah Naoki datar, tidak berekspresi apapun. Itu yang membuat Makoto lebih terkejut dari berita kematiannya.

"kalau begitu aku yang akan mengantarmu pulang. Tunggu ya, aku akan pesan taksi"

Naoki hanya mengangguk.

***