webnovel

Jika Itu Kamu

Gelombang biru yang besar telah menarik Mila ke dalam dunia novel yang dibuat oleh ibunya sendiri! Awalnya, Mila menyukai dirinya berada di dunia novel, tapi itu tidak bertahan lama. Adengan demi adegan sudah dilalui Mila. Ternyata Ibunya suka membuat tokoh utama menangis. Tujuan Mila sekarang adalah untuk keluar dari dunia novel! Dia tidak mau menjadi tokoh utama. Sampai akhirnya, ada seseorang yang menyadari bahwa dirinya tidak berada di dunia nyata. Orang itu membantu Mila agar sama-sama bisa keluar dari dunia yang fiksi ini. Apakah Mila bisa keluar dari dunia novel? atau takdir berkata lain?

Syafira_Putt · Kỳ huyễn
Không đủ số lượng người đọc
12 Chs

*Pernyataan Mengejutkan*

"Ayah ke mana? Apakah dia tetap bekerja di hari libur ini?" pandangan Arka menilik ke seluruh sudut rumah.

"Kau tahu kan? Sejak kau kecil, ayahmu sangat gila akan pekerjaan." sahut Rina yang sedang membantu menyiapkan camilan di dapur.

"Dan kegilaan ayah membuat kita hidup berkecukupan," celetuk Lysti.

Arka terkekeh sejenak. "Kau benar. Tapi, bagaimanapun juga ayah harus beristirahat,"

"Apakah kalian sudah memberitahu ayah kalau aku pulang hari ini?" tanya Arka tepatnya pada Lysti dan Lala.

"Sudah. Kita serahkan pada ayah mau datang atau tidak," ucap Lysti. Tangannya meraih gelas yang berisi lemon tea favoritnya, lalu menengguknya dengan perlahan.

Rina mendudukkan diri di sebelah Arka."Apa selama di korea ada wanita yang kau kencani?" tanyanya sembari menyenggol bahu Arka.

"Mustahil. Kakak kan belum bisa melupakan kekasihnya yang pertama itu," sindir Lysti. 3 tahun lalu, Arka pernah berkencan dengan seorang gadis bernama Vani dalam kurun waktu cukup lama. Namun sayang, Vani bunuh diri akibat depresi setelah ibunya meninggal. Arka sangat sulit melupakan Vani. Oleh sebab itu, dia menjauh dari semua tempat yang terdapat kenangan akan kekasihnya itu.

"Hey. Kau membuka luka lama." tegur Rina pada Lysti.

"Maafkan aku," Lysti menunduk.

"Sudah. Jangan tegang. Sebaiknya kita merayakan kepulangan Kak Arka!" seru Lala semangat.

"Kemana kekasihmu?" Arka melirik Lala. Ia menaikkan satu alisnya.

"Aku tidak tahu. Dia belum menghubungiku sama sekali," jawab Lala dengan raut muka murung.

"Ponselmu mana? Aku akan telfon Ryon untuk menyuruh dia ke sini secepatnya," ujar Lysti. Lala merogoh saku baju, kemudian menyerahkan benda pipih berlogo apel ke Adiknya.

"Aku keluar ya. Di sini terlalu bising," Lysti beranjak ke halaman depan rumah. Lala tidak menaruh curiga apapun karena ia percaya penuh pada Lysti.

Setelah berjarak agak jauh, Lysti membuka ponsel. Tidak ada kata sandi membuat Lysti leluasa memainkan ponsel milik Lala. Dia mencari nomor Ryon di sana.

"Menjijikan," sinis Lysti kala melihat nama kontak kekasihnya dinamai 'sayang'.

Langsung saja Lysti memencet ikon hijau.

'Ada apa, Sayang?'

"Kau..." tangan Lysti terkepal erat.

'Lysti? Kenapa ponsel Lala ada padamu?'

"Itu tak penting. Sekarang, kau cepatlah ke sini. Kakakku pulang,"

'Arka sudah pulang?'

"Iya, bodoh."

'Baiklah. Aku akan sampai di rumahmu beberapa menit lagi. Tapi, apa kau tidak rindu padaku? Setelah aku ke rumahmu, aku ingin kau menemuiku di tempat kita biasa bertemu. Okay?'

"Akan ku usahakan untuk datang. Kak Arka baru saja pulang. Sepertinya aku akan sibuk,"

'Jangan begitu, sayang. Kau wajib menemuiku nanti dan kita akan jalan-jalan sekaligus membeli semua yang kau suka,'

"Iya..." Lysti menjeda. "Sayang," seusai mengatakan itu, muncul semburat merah di pipinya. Sungguh memalukan.

"Apa? Sayang?"

Seketika raut wajah Lysti berubah menjadi tegang. Ia refleks mematikan sambungan telefon membuat Ryon yang ada di sebrang sana kebingungan.

"Ka-kakak ke-kenapa bisa ada di sini?" tanya Lysti tergagap. Ia takut Lala mengetahui semuanya.

"Kau tadi berbicara di telfon dengan siapa? Mengapa kau mengatakan 'sayang'?" kata Lala menaruh curiga.

"A-anu... anu tadi... tadi aku me-"

"Mungkin dia menelfon pria yang dia sukai," sergah Arka yang tiba-tiba ada di antara Mereka.

"Pria yang Lysti sukai?" dahi Lala berkerut.

"Iya! Aku senang ketika melihat kontak Alden ada di sana," ucap Lysti yang tiba-tiba muncul ide di otaknya. "Kakak mengapa tidak bilang padaku sebelumnya? Aku sangat menyukai Alden, Kak. Dia begitu tampan," lanjutnya berlainan dengan kata hati yang sebenarnya.

"Aku mengira kau tidak menyukai Alden karena setiap kau berpapasan dengannya kau selalu bertengkar. Itu sebabnya aku tidak memberitahumu." jelas Lala.

"Benci bisa berubah menjadi cinta, Lala." kata Arka.

"Ya, kau benar, Kak." ujar Lysti tepatnya pada Arka.

"Aku ikut bahagia kalau begitu. Tapi, apa kau sudah menelfon Ryon?" tanya Lala.

"Sudah, Kak. Ryon bilang, beberapa menit lagi akan sampai," jawab Lysti.

Setelah selesai pembicaraan penuh ketegangan bagi Lysti, akhirnya Mereka bertiga masuk ke dalam rumah untuk quality time karena sudah lama tidak berkumpul seperti ini.

Untuk kesekian kalinya, tubuh Mila terasa tertarik oleh sesuatu. Ia tahu bahwa hal ini menandakan kalau suatu adegan sudah selesai. Mila mendesau lega. Semua orang menjadi patung kecuali, dirinya dan Arka. Namun, seketika tubuh Mila sangat lemas. Mila tak bisa menopang raganya lagi. Ia tersungkur.

"Kau tak apa-apa?" Arka menatap khawatir.

"Ambilkan aku air," pinta Mila. Wajahnya sudah pucat karena tidak memakan apapun sejak dirinya muntah.

Arka segera mengambil gelas berisi air putih yang ada di meja makan. Air itu seharusnya untuk dirinya, namun Arka belum meminumnya sama sekali.

Dengan segera, Mila meminum air itu sampai habis tak tersisa.

"Terimakasih," Mila mengembalikan gelas yang sudah kosong itu. "Mengapa kau menyebut nama ibuku?"

"Aku? Menyebut nama ibumu? Aku bahkan sama sekali tidak mengenal ibumu," Arka terheran-heran.

"Naura. Naura itu nama ibuku. Darimana kau mengetahuinya?"

"Jadi kau anak dari wanita penyihir itu?" Arka justru menanya balik. Raut wajahnya seketika berubah menjadi masam.

"Ibuku bukan penyihir. Ibuku wanita biasa sama seperti manusia pada umumnya," dongkol Mila.

"Jika ibumu wanita biasa, mengapa aku tiba-tiba terlempar ke dunia ini setelah aku mengkritik karyanya?" ujar Arka datar tanpa ekspresi. Ia menyimpan dendam pada perempuan yang bernama Naura.

"Gara-gara wanita itu ibuku tiada dan hidupku berubah drastis sejak aku terlempar di dunia ini. Setiap hari, apa yang aku lakukan, semuanya dikendalikan oleh ibumu. Aku sudah muak dan bosan berada di dunia ini." geram Arka.

"Dikendalikan ibuku?"

"Ya. Ibumu adalah penulis dunia fiksi yang konyol dan penuh drama ini."

"Ibuku memang penulis, namun dia tidak sampai berbuat seperti itu apalagi membuat nyawa orang hilang," sungguh. Mila tidak tahu apa maksud yang dikatakan oleh Arka. Ini terdengar sangat tidak masuk akal di telinganya.

"Oh, jadi ibumu sama sekali tidak memberitahumu? Apa kau yang pura-pura tidak tahu?" Arka mulai memgintimidasi.

"Percayalah. Aku bahkan tidak tahu soal itu."

"Lalu, mengapa kau bisa ada di dunia ini?"

"Waktu itu aku sedang bertengkar dengan ibuku. Aku melarikan diri ke taman untuk menenangkan diri. Namun, di taman aku melihat gelom-"

"Gelombang biru?" Arka cepat memotong kalimat karena dia sudah mengalami itu sebelumnya. Akan tetapi, kronologi kejadian saat dirinya terlempar ke dunia ini berbeda dengan Mila.

"Bagaimana kau tahu?"

"Aku pernah mengalaminya. Satu tahun lalu, ibumu sendiri yang mendorongku masuk ke dalam gelombang berwarna biru pekat itu. Entah apa yang dipikirkan ibumu. Mungkin dia ingin karyanya selalu laris oleh sebab itu, dia mencari seseorang untuk dijadikan korban agar ceritanya lebih hidup di mata pembaca sekaligus disukai semua orang." jelas Arka panjang lebar menurut opininya sendiri tanpa mengetahui fakta sebenarnya. Mila yqng mendengar ucapan Arka tentunya sangat tidak terima. Mila memang membenci ibunya, tapi dia yakin ibunya tidak sejahat itu.