webnovel

Jejak Masa Lalu

"Jika kau ingin memulai hidup yang baru, lupakan bayangan masa lalumu!" Ya, kata itu memang sangat mudah diucapkan oleh semua orang termasuk diriku sendiri ketika menyadari untuk memulai kehidupan baru di masa depan. Tapi nyatanya...

Michella91 · Thanh xuân
Không đủ số lượng người đọc
287 Chs

Tanpa status

Seiring waktu berjalan, kedekatanku dengan Choco kian semakin dekat. Berulang kali Choco memberikan banyak isyarat ungkapanhatinya yang memiliki perasaan lebih padaku. Tapi tetap saja aku tidak punyai keberanian untuk menerima nya sebagai kekasihku. Aku benar-benar tidak punyai keberanian untuk memulai suatu hubungan dengan pria yang berbeda keyakinan denganku terlebih dengan ucapan ayah yang selalu mengingatkan dan menentang tentang hal ini.

Hari ini hari weekend. Harusnya ini menjadi hari yang menyenangkan, aku bebas dengan hari libur sekolah. Aku bisa kemanapun itu seperti biasanya. Akan tetapi, ini sungguh di luar dugaan. Saat pagi tiba, aku menunggu pesan dari kabar Choco yang selalu menghiburku, menanyai kabarku.

Tapi hingga siang hari, aku menunggu kabarnya tak kunjung muncul notif pesan darinya. Aku tidak ingin bertanya-tanya di dalam hati seorang diri, aku mengirim pesan padanya. Dan benar saja, dia membalasnya dengan panggilan telepon. Aku segera menerima nya dengan duduk di sisi jendela kamarku.

"Rose…" panggilnya dengan suara berat terdengar.

"Kau…"

"Kenapa kau menolakku dengan cara seperti ini, Rose?"

"Hey…" aku menaikkan nada bicaraku.

"Aakh, apa kau merasa paling cantik hanya karena aku begitu mengejarmu, hah?'

Rasa aliran darahku berdesir hebat mendengar nada bicaranya yang semakin membuatku percaya dia sedang ada dalam pengaruh alkohol, tapi bukankah ini keterlaluan? Ini waktu siang hari, apakah dia tidak bekerja hari ini?

"KAu sedang mabuk, aku matikan saja teleponnya."

"Heh, kau memang wanita angkuh dan merasa cantik. Oke, matikan saja. Aku tidak butuh wanita munafik seperti mu."

Bip bip bip…

Panggilan telepon berakhir begitu saja.

Kedua tanganku gemetar menggenggam kuat ponselku. Dalam hatiku sungguh sakit mendengarnya berkata demikian tadi, yang kutahu ketika seseorang sedang berada dalam pengaruh alkohol maka apapun yang dia katakan, ialah yang ada dalam hatinya yang sesungguhnya.

Aku tertegun, air mataku mulai mengambang. Tapi dengan cepat aku menyadarkan diriku dan meyakinkan hatiku sendiri bahwa dia hanya sedang tidak sadarkan diri. Aku tau, dia kesal atas sikapku yang terus saja menarik ulur hatinya, aku tau itu membuatnya marah tentunya.

Hingga menjelang sore, mendadak turun hujan yang kian deras. Kulihat banyak para pekerja di depan sana, berlarian mencari tempat berteduh. Aku menatap kosong air hujan yang membasahi bumi. Beberapa menit berlalu, hujan turun sudah membanjiri lingkungan di desaku.

"Rose…" kudengar suara ibu lirih memanggilku dari luar kamar.

Aku beranjak dari sisi jendela. "Ada apa, Bu?" tanyaku setelah kubuka pintu kamarku.

"Minyak goreng habis, bisakah kau membelikannya di toko langganan ibu?"

"Tapi sedang hujan di luar, Bu."

Ibu mendongakkan kepalanya melihat keluar ruangan. "Ayolah, kau bisa pakai payung. Bukankah kau juga senang bermain hujan?"

Aku menatap ibu dengan tatapan malas. Apa boleh buat, aku memang menyukai hujan. Aku segera pergi dengan sebuah payung kecil bercorak berwarna merah muda. Aku berjalan melewati percikan hujan yang mulai mereda. Sejenak rasa kesalku, rasa amarahku dan kegelisahanku mengingat ucapan Choco tadi menghilang.

Hingga tiba di depan rumah kak Janet. Seketika dalam benakku terbayang kenangan saat bersama Choco, adik sepupu kak Janet. Aku menarik napas dalam-dalam, aku tersenyum melihat kak Janet yang sedikit membuatku terheran-heran. Penampilannya sungguh berubah, rambut panjang terurai dengan pakaian yang lebih terbuka.

"Kak, apa kabar?" sapaku mencoba bersikap biasa padanya setelah hubunganku dengan adik sepupu kak Janet berakhir buruk.

"Hem. Seperti yang kau lihat!" jawabnya dengan nada cetus.

Aku mengerutkan kening. Mungkinkah dia masih kesal padaku?

"Kakak cantik sekali sore ini," ujarku kembali memujinya.

"Oh, tentu! Jadi wanita itu memang harus cantik."

Lagi dan lagi aku mendapatkan jawaban dari kak Janet dengan nada yang cetus padaku.

"Oh, baiklah. Senang melihat kak Janet begitu cantik setelah kita tidak lagi sering bersama."

Kak Janet tidak lagi menjawab pertanyaanku. Bahkan aku tidak menyadari jika hujan pun sudah berhenti, kak Janet melangkah dengan meliuk-liukkan tubuhnya mendahului langkahku. Aku melihat dan berjalan di belakangnya, entah akan kemana dia perginya. Begitu cantik, wangi, dan dengan pakaian yang terbuka seperti itu, tidak seperti kak Janet yang kukenali.

Malam pun tiba, setelah masuk kamar aku kembali duduk termenung mengingat akan semua ucapan Choco padaku siang tadi. kembali kurasa sakit yang teramat perih di dalam hatiku saat ini. Aku tidak bisa lagi menahan diri akan perasaanku yang mulai nyata pada Choco. Sebuah rasa yang indah, jatuh hati pada sikapnya yang selalu dewasa dan humoris.

Tuhan, kenapa kau harus menciptakan perasaan ini terhadapnya yang berbeda denganku?

Keluhanku di kejutkan oleh sebuah notif dari ponselku, sebuah nomor baru mengirim pesan yang tak pernah aku duga sekalipun. Entah pesan ini sebuah peringatan atau ancaman. Pesan itu mengatakan akan perasaan Choco yang begitu tulus padaku namun harus kandas karena ke egoisanku.

Aku menarik napas sejenak, aku memberikan balasan dengan mengeluarkan segala umpatan dan amarah yang kutahan di dalam hati sejak pagi tadi. berharap si pengirim pesan tersebut akan mengerti tentang apa yang aku rasakan, tapi sepertinya percuma. Yang aku dapatkan hanyalah ocehan dan umpatan.

"Rose, apa kau tidur?" tanya ibu setelah mengetuk pintu kamarku.

Aku bergegas meletakkan ponselku begitu saja di atas kasur dan membukakan pintu kamar untuk ibu. "Belum, Bu."

"Boleh ibu masuk?" tanya dengan tatapan dalam padaku.

AKu mengangguk. Ibu melangkah masuk dan duduk kursi meja riasku, sedang aku duduk menghadapnya di sisi kasurku.

"Nak, apa kau baik-baik saja?"

Ah, ini lah seorang ibu. Dia akan selalu mengetahui akan apa yang buah hatinya rasakan hanya dengan memperhatikan sikap nya saja.

"Aku… Baik-baik saja, Bu."

"Dan Choco?"

Aku terkesiap. Hal itu membuat ibu semakin yakin bahwa aku sedang dalam problem serius perihal hati.

"Dia… baik."

"Sungguh?"

Aku mengangguk dengan berat.

"Baiklah, ibu hanya ingin mendengarkan keluh kesah putri ibu satu ini."

Tidak! aku tidak boleh mengatakan hal ini pada ibu. Ini tentu akan semakin rumit. Aku berusaha menahan diri untuk tidak mengungkapkan semuanya ada ibu.

"Eng, Bu. Tadi sore aku bertemu kak Janet, dan dia sangat cantik. Hanya saja, pakaian yang dia kenakan sangat terbuka, Bu." jelasku menghalihkan apa yang terjadi.

Ibu tampak heran dengan mengerutkan keningnya menatapku. "Oh ya? ada apa dengannya itu? bukankah dia selalu berpakaian sopan?"

Aku menaikkan kedua bahuku. "Mungkinkah dia akan bertemu seseorang? Karena aku melihatnya berjalan seorang diri tadi, Bu."

"Ah, sudahlah. Jangan kau urusi kehidupan orang lain. itu tidak baik, Nak."

Aku mengatupkan bibir dengan rapat. Aku masih ingin membahas hal ini, aku sungguh di buat penasaran oleh penampilan kak Janet sore tadi. Ada apa dengannya? Dia terlihat seperti seorang gadis yang akan bertemu dengan kekasihnya.