webnovel

Jejak Masa Lalu

"Jika kau ingin memulai hidup yang baru, lupakan bayangan masa lalumu!" Ya, kata itu memang sangat mudah diucapkan oleh semua orang termasuk diriku sendiri ketika menyadari untuk memulai kehidupan baru di masa depan. Tapi nyatanya...

Michella91 · Teen
Not enough ratings
287 Chs

Bicara dalam hati

Aku terheran-heran di buatnya. "Ada apa?"

Dia menolehku dengan wajah sedikit panik. "Tidakkah aku mengganggu waktu kencamu dengan pacar mu?"

Aku menghela napas perlahan dan menggelengkan kepalaku. "Aku tidak punya pacar!" tegasku menjawab.

Ya, aku memang tidak lagi memiliki pacar setelah mengakhiri hubunganku dengan Choco. Choco yang berbeda dari nya, bahkan aku berharap dia tidak akan sama seperti Choco yang aku kenal sebelumnya. Pikiranku mulai menggila. Aku tau tidak seharusnya aku berpikir seperti ini dan membuat segalanya terlihat mudah nantinya, tidak Rose!

"Aku dengar kau berpacaran dengan seorang laki-laki dari kota, Rose!"

Aku terkejut akan ucapan Choco, bagaimana dia bisa tahu tentang kabar itu?

"Lupakan, aku tidak ingin membahasnya. Apakah kau datang kemari hanya ingin tahu hal itu?"mendadak aku tersulut oleh emosi mendengar apa yang Choco bicarakan. Sial, entah siapa yang memberitahunya.

"E-ehm… Maafkan aku," lirih Choco bicara.

Aku menatapnya sejenak. Suasana seketika menjadi canggung dan hening. Beberapa menit berlalu, tidak ada yang berani bicara lebih dulu di antara kami. hingga kedatangan ibu yang kini berdiri di sisiku mengejutkan kami, seketika Choco beranjak bangun.

"Malam, Tante…"sapa Choco menyalami tangan ibu dengan santun.

"Malam, maaf ya mengganggu. Tante bawakan kopi,"kata ibu sambil meletakkan kopi di atas meja yang menjadi penghalang di tengah-tengah kami.

"Terima kasih, Tante. jadi merepotkan," sahut Choco.

Ibu tersenyum menanggapinya, lalu menatapku. Aku bisa membaca dan memaknai apa yang ibu pikirkan saat ini, aku mengatupkan bibir rapat-rapat.

"Ya sudah, tante ke dalam dulu ya." ibu berbalik badan dan berlalu pergi.

"Rose, maafkan aku." Kembali Choco berbicara mengucap maaf padaku.

Aku menggelengkan kepala. "Jangan lagi minta maaf, aku hanya terlalu sensitif saja."

Kulihat Choco tersenyum lembut mendengar bicaraku barusan. " Kau memang berbeda,"ujarnya.

Detik dan menit terus berputar, segala obrolan demi obrolan mulai melunak. Seakan kami tidak mengingat waktu, kudengar dan kusadari, suara derhaman ayah dari dalam ruangan seakan menggema untuk memberikan sebuah isyarat yang memintaku untuk segera mengakhiri obrolan dengan Choco mengingat jarum jam tepat di jam 10 malam.

"Akh, sayang sekali. Rasanya masih tidak ingin pergi dari sini. Tapi sepertinya jarum jam sudah mengharuskan aku untuk segera pulang."

Aku tersenyum lembut, dia memang sungguh peka akan sikapku yang mulai gelisah sejak tadi. "Hem… Sebaiknya kau memang pulang dulu, ini sudah hampir larut malam."

"Apakah besok aku masih bisa datang kembali?"

Aku tertegun sejenak mendengar pertanyaan Choco yang aku saja tak mampu menjawabnya.

"Jika tidak boleh, tak apa. Tapi kita masih bisa saling bicara di telepon kan?"

Aku tersenyum dan mengangguk. Dia pun beranjak berdiri, selangkah dua langkah dia berjalan menuju motor yang dia kendarai. Dia kembali membalikkan badannya, dia menatapku dalam-dalam lalu tersenyum manis melambaikan tangan. Aku pun membalasnya dengan perlakuan yang sama.

Begitu dia berlalu pergi aku melangkah masuk ke dalam ruangan. Kulihat ayah masih duduk santai dengan ibu di ruang tv. Aku segera mempercepat langkahku untuk menuju kamar. Akan tetapi…

"Rose, kemarilah!" panggil ayah yang seketika membuatku berhenti melangkah.

"Duduk!" titah ayah padaku.

Aku menurutinya dan segera duduk di depan ayah dan ibu yang menatapku serius saat ini. Aku duduk dengan hati yang berkecamuk, kau sudah bisa menduga apa yang akan mereka katakan padaku.

"Rose, sejak kapan kau mengenal pria itu?" tanya ayah padaku.

"Dia teman Reno, Ayah…"jawabku spontan.

Ayah menarik napas sejenak. "Dia berbeda dengan kita, ayah harap kau mengerti maksud ayah ini."

Aku menatap wajah ibu dengan pilu namun sekuat tenaga aku menahan diri agar tidak menunjukkan diri betapa hatiku sangat sakit mendengar peringatan dari ayah. Semua belum di mulai, tapi seakan aku di paksa untuk segera mengakhirinya.

"Tapi kami hanya berteman, Ayah. Itu pun karena…"

"Rose, perihal suatu hubungan antara pria dan wanita semua berawal dari pertemanan."

Mulutku serasa terkunci, akan apa dan bagaimana pendapat ayah tentang ini.

"Sudah, masuk kamar. Tidur lebih awal, besok kau harus pergi ke sekolah."lanjut ibu berbicara.

Aku merasa sedikit tertolong untuk tidak terus mendengarkan nasehat dan tanggapan ayah. Aku beranak bangun dan kemudian melangkah menuju kamar segera. Sampai di kamar, ponselku menyala yang sejak tadi kuletakkan di atas kasur begitu saja.

Dengan cepat aku meraihnya, sebuah panggilan yang terlewatkan dari Choco. Dengan tanpa berpikir apapun lagi aku segera mengirim pesan padanya, dalam beberapa detik pula Choco kembali menelponku. Seperti canggung ketika kami saling mendengar suara masing-masing.

Entah siapa yang lebih dulu mengakhiri panggilan dan obrolan kami, suara kicauan burung di luar jendela membangunkanku dan segera aku meraih ponselku. Jam sudah menunjukkan pukul 6 pagi, dengan tergesa-gesa aku bangkit dari tidurku dan bersiap-siap untuk pergi ke sekolah.

Sesaat setelah aku tergesa-gesa berjalan kaki menuju halte bis, kulihat Choco dari arah depan dengan gaya ciri khasnya yang hendak pergi bekerja. Tapi apakah sepagi ini? Dia berhenti tepat di depanku. Aku menghentikan langkahku dan menatapnya sesaat kemudian menundukkan kepala kembali.

"Ayo, aku antar kau ke sekolah."

"Aku…"

"Rose, ayolah. Bukankah kita sudah akrab?'

Aku menahan napas sebentar. Di dalam dadaku kini seperti ombak yang sedang bergemuruh saling beradu untuk mencapai pesisir pantai. Tidak ada pilihan, aku tidak ingin memunafiki hatiku, aku senang. Aku bahagia, pagi ini aku kembali bertatap muka dengan pria ini.

Aku mengangguk. Kulihat wajah sumringah Choco begitu tampak jelas nyata. Aku menaiki motornya, jarak duduk diantara kami sedikit jauh, seperti sebuah spasi diantara dua kata yang berbeda. Dengan perlahan Choco mulai melaju, detak jantungku kian semakin dekat.

Ada rasa malu, rasa takut, rasa senang, semua menjadi satu berbaur di dalam dadaku. Ada apa denganku? Aku bertanya-tanya di dalam hati. Apakah aku sungguh telah jatuh hati pada pria ini? semudah itu? secepat itu? Oh tidak!

"Rose, bagaimana tidurmu semalam? Apa kau nyenyak?"

Aku terbangun dari lamunanku yang sejak tadi berbicara dalam hati. "Hem, mungkin. Maafkan aku, semalam aku…"

"Tidak apa, aku bahkan juga tertidur. Sungguh, aku merasa bahagia, Rose."

Diam-diam aku tersenyum mendengar ucapannya itu. aku pun merasakan hal yang sama sepertimu.

Beberapa saat kemudian tiba di sekolah, aku segera turun dan menatap wajah Choco kembali sejenak. Dia tersenyum padaku, sangat manis.

"Terima kasih, Cho."

"Hem, masuk lah!" ujarnya. Aku mengangguk, menuruti ucapannya.

Rasa ingin menoleh nya kembali ke belakang begitu kuat, namun aku tidak punyai keberanian itu. aku hanya mendengar suara deru motor miliknya, berlalu pergi dan segera aku menoleh ke belakang. yah, aku hanya bisa menatap punggung nya dari belakang.

Tuhan, pagi ini aku bahagia.