Bunyi 'ceket' dari pintu yang dibukanya cukup nyaring karena semua orang sudah masuk ke kamar mereka masing-masing.
Di ruang tengah juga begitu hening, tapi itu bukan jadi alasan Radit tidak berani keluar kamar.
Dia tidak mirip dengan Arsya yang penakut, Radit lebih berani sebagai lelaki gentle pecinta buku, Anime dan juga kisah-kisah mistis … menjadikannya sebagai karakter lelaki yang asyik, yang bisa mengobrol dengan beragam tipe perempuan juga –dengan beragam topik pembicaraan mereka.
Walaupun pecinta Anime sering disebut wibu dalam tanda petik gairah ilusi, alias mereka suka hal-hal tabu dalam dunia romansa para dewasa, Radit tidak seperti itu.
Dia hanya suka komik biasa, filmnya dan juga gambar-gambar Anime saja meskipun nafsu lelakinya jelaslah ada. Radit masih normal, tapi alasannya menyukai Anime bukan karena cerita-cerita bebasnya.
Dia cukup selektif memilih tontonan dan juga bacaan. Tidak semuanya dia sikat karena mentang-mentang Radit suka.
Radit mendekati Arsya yang tengah terlentang dan memegang handphone di tangannya.
Main game sembari tiduran. Radit sudah dapat menebak kalau Arsya memang sedang tidak baik-baik saja.
Kalau sedang serius, di jam segini dia pasti sedang membaca buku, menulis kata-kata walaupun dia juga sering menulis kata-kata di saat suasana hatinya sedang galau, dan juga terkadang dia sibuk dengan kerjaannya.
Radit yang tahu kalau kakaknya ini adalah seorang jomlo sejati, dia sudah tahu pasti kalau Arsya tidak punya lawan jenis untuk diajaknya chattan. Arsya terlalu abnormal, menurut Radit.
Tapi Radit memaklumi sikap kakak tirinya itu.
Penyebab yang pertama karena mereka berbeda orang tua, penyebab yang kedua karena Arsya belum menemukan seseorang yang bisa membuatnya jatuh cinta.
Radit duduk di tepi kasur dan kemudian tengkurap di samping Arsya yang sedang sangat fokus dengan permainan di layar handphonenya. Sudah biasa.
"Kak, maafin gue ya. Tadi Ayah –" ucap Radit menyerobot tapi langsung dipotong oleh Arsya.
"Kenapa lo harus minta maaf? Enggak perlulah, gue malah seneng kalau lo kerja besok." Arsya membenarkan posisisnya, dia duduk menghadap Radit. "Kerjaan gue jadi ringan, ya kan?" Kerling mata Arsya menunjukkan sebuah rencana yang mencurigakan menurut Radit.
Biarpun dia fokus, telinganya masih tetap berfungi dengan baik untuk mendengarkan suara selain sound dari permainan game-Nya.
"Oh ya, gue punya buku komik baru. Lo mau baca nggak?" tawar Arsya.
Arsya pun langsung menoleh dan mematikan game-Nya.
"Jangan tawari gue komik yang anu anuan ya, gue udah enggak suka," elak Arsya.
Dia menuding Radit akan memberikan bacaan komik dewasa padanya. Tapi hanya sekedar tudingan humor antar lelaki saja.
Radit meresponnya dengan mata yang melebar. Sungguh tudingan yang keji dia pikir.
Walaupun Radit suka baca komik tapi bukan komik seperti itu santapannya.
Tapi Radit memang pernah satu atau dua kali membaca itu dan dia anggap juga sah sah saja kalau hanya sesekali.
Ilmu kan? Dia juga harus tahu bagaimana contoh komik yang menyeleweng. Ya, itu menurut Radit.
"Enggak, ini motivasi buat lo! Menceritakan tentang orang yang trauma gituh, terus mereka bangkit dari traumanya. Cocok deh, apalagi untuk lo yang jomlo menahun," sindir Radit.
Arsya tampak merenung, mendengar kata trauma … Arsya terasa diingatkan.
Mau sampai kapan Arsya begini?
Sampai dia mendapat gelar jomlo oleh Unesco?
Kan enggak mungkin, satu-satunya penyembuh trauma itu adalah menemukan orang yang membuat trauma itu ada, dan dia adalah ibunya sendiri. Arsya tidak pernah serius mencari keberadaan ibunya.
Apalagi mendengar kabar kalau ibunyalah yang selingkuh dan memilih pergi dari rumah dan sekarang katanya kehidupannya luntang lantung tidak jelas.
Entah benar atau tidak dan apakah Arsya harus percaya atau tidak, itulah yang membuatnya bingung.
Kerinduannya, luka karena ditinggal oleh ibunya itulah yang membuat Arsya seperti berpijak tapi tak terasa. Mengambang seolah tidak punya kaki untuk bertumpu.
"Menurut buku yang gue baca, motivasi terbesar ada dalam diri gue sendiri. Bukan dari orang lain, percuma gue baca buku motivasi kalau di dalam diri gue enggak ada niatan untuk berubah. Itu akan sulit." Arsya melamun, dia kemudian membentangkan kembali badannya. Handphonenya masih dia pegang.
"Nah, itu tahu. Tapi setidaknya dengan membaca buku, kakak jadi sedikit tercerahkan bukan? Dan penyebab motivasi kurang itu efek dari status jomlo lo, Kak!"
"Ah lo, so soan nyuruh gue pacaran. Lo sendiri masih sendirian aja!"
"Eh, tapi kan setidaknya gue udah pernah ngalamin pacaran meskipun ya … akhirnya kandas di tengah jalan," balas Radit, dia pun tertawa. Tapi kemudian pandangannya teralihkan pada botol kecil berisi pil pil obat.
Radit bangun dari tengkurapnya dan mendekati meja di mana obat itu berada, Arsya tidak memperhatikan Radit.
Dia anteng menatap langit-langit kamar, melihat lampu yang bersinar seakan-akan Sang Dewa Surya sedang berkata begitu puitis padanya.
Begini katanya, "Radit benar, kamu hanya butuh kebahagiaan dari seorang Hawa agar dadamu merasakan apa yang dinamakan dengan kehangatan, diberi tautan perasaan yang menggelora tentunya akan membuatmu lupa dengan perasaan rasa kehilangan itu. Yuk, dicoba!" Tapi, tiba-tiba bayangan Sang Dewa Surya itu berubah menjadi lebay, geli-geli manja.
Membuat otak Arsya geli sendiri membayangkannya. Padahal otaknya sendiri yang menciptakan ilusi Dewa itu. Ngeri!
Saat Arsya meringis, dia melihat Radit yang menilik-nilik obat miliknya.
"Kenapa lu? Serius amat mandangin tuh obat. Kalau mau nyoba, coba aja!" Arsya menggoda Radit.
Tapi Radit bukan ingin mencoba obat penenang itu. Dia justru kasihan pada Arsya yang masih bodoh ditipu oleh ibu tirinya, ibu Radit sendiri.
"Kak, lo sebaiknya berhenti deh ngonsumsi obat ini. Mending lo berobat herbal deh. Kayak makan minum yang sehat, panjatin doa, dzikir, refreshing sama temen dan yang lainnya. Gue yakin nanti lo sembuh. Jangan tergantung ke obat, masa mau sampai mati lo ngonsumsi ini?" Radit sedikit memunculkan nada emosi.
Arsya pun merasa aneh dengan nasihat adik tirinya itu.
"Apaan sih, lo!" Direbutnya botol obat itu dari tangan Radit.
"Gue serius, lo bakal sembuh kalau tanpa obat itu. Obat itu bikin lo candu." Radit berusaha menjelaskan tanpa memberit tahu alasan ibunya memberikan obat itu pada Arsya.
"Lo bukan Dokter, Dit. Ini obat manjur dari Dokter, yang bisa bikin gue tenang kalau lagi banyak keruwetan."
"Iya, tapi hanya sementara kan? Buktinya lo candu terus."
Perkataan Radit memang ada benarnya pikir Arsya, tapi tetap tidak akan dia penuhi karena obat itu adalah penyelamat hidupnya selama ini di tengah kegilaan yang memeluk Arsya.
Arsya seperti manusia berkedok yang setiap kata-kata puitisnya dikagumi banyak orang tapi jauh dengan kehidupan aslinya yang justru perlu banyak motivasi dari orang.
Arsya sendiri adalah makhluk yang butuh perhatian, tapi kebiasaannya memberi perhatian orang lewat tulisan.
Arsya sendiri adalah orang yang butuh dengan hiburan, tapi dia juga orang yang selalu memberi teman-temannya wejangan yang dikemas dengan gurawan.
Arysa sendiri bahkan tidak tahu dengan jelas apa tujuan hidupnya, tapi dia selalu menasehati orang agar mau berjuang terhadap apa yang mereka cita-citakan.
Begitulah Arsya, sebutan Black Magic yang kaitkan padanya juga seakan menjadi simbol bahwa dirinya merupakan kegelapan yang penuh dengan keajaiban.
Membuat orang lain bangkit, di tengah dirinya merayap saja kadang tidak bisa, dan obat-obatan itulah yang membantunya tenang meski sebentar.
***
Mandar dan Asri sudah tertidur. Mungkin di rumah itu hanya Intan seorang yang masih melotot.