webnovel

Reruntuhan Dunia Lain

Sudah sejam kami berjalan menyusuri tempat ini, sejauh mata memandang hanya ada reruntuhan bangunan. Sesekali Tirta menempelkan telapak tangannya ke tanah, seperti sedang melakukan pendeteksian terhadap sesuatu. Ia menunjuk sebuah gedung yang masih berdiri tegak, lalu kemudian kami memasukinya.

Aku melihat sekeliling, gedung apartemen ini sebelum ditinggalkan sepertinya sebuah mall. Fungsi kelistrikannya beberapa masih berfungsi, Tirta beberapa kali mendrobak pintu yang sudah macet. Kami menyusuri tiap bangunan, sampai kemudian aku melihat sebuah etalase buku berjejer, aku melihat buku komik sebuah serial one piece.

"Tunggu sebentar, ini one piece edisi terakhir."

Fokusku jadi teralihkan untuk membaca karya yang enggan tamat itu di duniaku. Tapi sesaat aku berpikir, apa sebenarnya ini adalah duniaku di masa depan, sebab beberapa buku yang kulihat juga ada karangan yang sama pernah kulihat di toko buku dulu.

"Kau sedang apa?" tanya Tirta dari jauh yang mendapati aku terdiam. Aku segera berlari mendekat ke arahnya dengan memasukkan beberapa buku ke dalam tasku.

"Tidak apa-apa, hanya saja. Dunia ini terlihat sama dengan dunia asalku."

"Begitu, tapi bukan berarti ini adalah duniamu sekalipun sama. Kau tahu konsep dunia paralel bukan?"

"Kurasa iya, tapi aku hanya mengerti konsep itu dari hipotesis ilmuan dan karya fiksi saja."

"Itu sudah cukup, karena memang begitu kenyataannya."

"Apa kau yakin apa yang aku yakini itu benar?"

Ia langsung percaya saja dengan yang kuyakini, padahal mungkin saja apa yang aku yakini itu berbeda dengan pikirannya.

"Hanya tebakan saja, karena beberapa orang yang terpanggil sebelumnya, kelihatannya memiliki dunia yang hampir sama denganmu."

"Bukan berarti itu bisa ditarik kesimpulan bukan?"

"Kalau begitu ceritakan saja nanti."

Tirta masih mengamati sekitar ruangan ini matanya menyorot di berbagai tempat, tapi ia terlihat kebingungan ketika tak ada satupun yang bisa bawa. Barang disekitar sini tidak terlalu berharga baginya, kebanyakan juga rapuh.

"Jadi apa yang biasanya kau bawa?"

"Kau lihat di kastil beberapa barang yang terlihat berbeda kan?"

Yang ia maksud seperti peralatan modern, dan barang lain yang terlihat aneh. Itu adalah barang-barang yang ia temukan di dunia lain. Pantas saja ia memiliki wawasan yang lebih luas dariku. Bisa dibilang Tirta adalah sosok yang sangat berpengalaman.

"Sepertinya kita tidak akan menemukan barang yang bagus. Ambil ini."

Ia membuka sebuah lemari dan menemukan pistol yang diberikan padaku dan sepertinya masih berfungsi. Lalu ia melemparkan sebuah katana.

"Itu untukmu!" Lemparnya tanpa mempedulikan ujung yang tajam membuat tanganku hampir terluka karena katana tersebut tidak disarungkan.

"Hei, hati-hati!" Teriakku padanya.

Entah bagaimana bilangnya, rasanya sekarang aku jadi pemulung saja. Tapi ini jadi hal yang cukup keren karena dengan berkeliling di sebuah reruntuhan seperti mencari sebuah harta karun terpendam.

**

Setelah hampir satu jam kami berkeliling di gedung, akhirnya kami sampai di atap gedung dan beristirahat di tempat tersebut. Cuacanya berawan dan cukup sejuk jadi kami bisa sedikit melepas lelah di tempat ini sambil memandangi area sekitar dari ketinggian.

"Tidak ada seorangpun," gumamku setelah melihat kawasan sekitar. Tidak ada manusia atau burung yang berkeliaran di langit, semut atau serangga pun tak ada disini.

"Kau sangat beruntung kita berada di tempat ini, beberapa kali aku pernah berada di dunia yang dilanda peperangan."

"Begitu, aku sedikit penasaran tempat seperti itu, tapi kurasa itu memang menakutkan."

"Hei, mau kesana sebentar?" Ia menunjuk ke sebuah gedung berwarna merah, cukup jauh dari sini, mungkin sekitar 1 km.

"Boleh saja, jika kau ingin kesana."

Ia menengadahkan kedua tangannya sembari mendekat ke arahku, entah kenapa aku merasakan firasat buruk tentang ini.

"Ada apa?"

"Kau masih tidak mengerti juga."

"Memang apa?"

"Gendong."

"Kau menyuruhku aku menggendongmu?"

"Tidak, aku yang menggendongmu," ucapnya santai sembari melemparkan senyum padaku.

"Tunggu sebentar, mana harga diriku sebagai lelaki kalau dirimu yang menggendong?" Lebih buruk dari dugaanku, rupanya ia berencana kesana dengan menggendongku.

"Memangnya kau bisa sampai disana dalam waktu semenit?"

"Kalau begitu tinggalkan saja aku disini."

"Jadi, kau tak ingin kembali ke istana, dan kembali ke duniamu sendiri, ingin menetap di reruntuhan ini selamanya."

"Bukan begitu."

Aku salah memilih lawan, logisnya harusnya aku menurut saja, karena ini memang pertama kalinya diajak plesiran ke dunia lain bersama dengan seorang gadis atau mungkin bisa kusebut nenek-nenek karena umurnya lebih tua dariku.

"Baiklah, mohon bantuannya."

Aku terima saja, anggap seperti pekerja baru. Karena dalam perusahaan memang pekerja baru yang perlu dilakukan adalah mengenali lingkungan tempat ia bekerja terlebih dulu sebelum melakukan pekerjaannya.

"Kalau begitu, sudah diputuskan."

"Hoe! Tunggu!"

Tiba-tiba dia langsung menjatuhkanku lalu membuatku di gendong olehnya sama persis saat aku pertama kali menggendongnya. Ia langsung melompat dari atas gedung.

"Hati-hati!"

Ia melompat seperti memijaki udara. Jika aku jatuh dari sini maka berakhirlah hidupku.

"Pegangan yang erat."

"Baiklah!"

Dengan berat hati aku melingkarkan tanganku ke lehernya agar tidak jatuh, kenapa harus aku yang jadi tuan putri. Tapi gendongannya agak kasar karena dia melompat-lompat hampir sama ketika naik wahana jumping. Angin berhembus sangat kencang sehingga mau tidak mau aku harus berpegangan erat ke tubuhnya agar tak jatuh, hingga tak butuh waktu dua menit kami sampai di atap gedung.

**

"Tadi itu hampir saja!"

Aku menekuk lutut sembari tangan menyangga badan, serasa adrenaline-ku tumpah cukup banyak saat melompat kesini. Napasku terengah meski sedang tidak berlari maraton, kalau begini aku bisa terkena serangan jantung dahulu.

"Menyenangkan bukan?" ucapnya dengan nada santai.

"Ah, mungkin ini yang mereka sebut dengan kesetaraan gender."

"Ya tentu. Menyerahkan sesuatu pada ahlinya meski berbeda lawan jenis, hal itulah yang namanya kesetaraan."

Aku kemudian berdiri setelahnya, mengambil napas panjang untuk mengatur kondisi tubuh. Sudah agak lebih baik, aku harus cepat-cepat menyesuaikan diri dengan situasi semacam ini.

"Oh iya, bisa bantu mencarikan aku lambang ini di sekitar sini?"

Ia membuka kaos tangan hitamnya, terdapat lambang seperti sepasang sayap berwarna biru di punggung tangannya.

"Baiklah, tapi lambang apa itu?" agak penasaran, pasti berhubungan dengan sesuatu yang penting. Sesaat setelahnya ia mengatakan bahwa itu adalah tiket untuk kembali ke istana dan untuk melawan raja iblis.

"Bicara soal 7 raja iblis itu? Apakah mereka masih hidup semua?"

"Aku berhasil membunuh 1, sementara orang-orang yang terpanggil ke tempatku sebagai pahlawan, membunuh 4 raja iblis."

"Jadi sekarang sisa 2."

"Tidak, masih sisa 7. Mereka bangkit kembali."

"Apa? Lalu bagaimana caranya membunuh semuanya?"

"Aku belum tahu, tapi jika tidak bertindak, kita bisa mati."

Masalahnya lebih rumit dari yang kuduga, tapi ia seolah terbiasa dengan hal itu. Kami tidak membahasnya lebih lanjut, setelahnya Tirta menyuruhku untuk berpencar mencari simbol sayap tersebut, aku menyusuri bagian kanan bangunan sementara Tirta sebelah kiri.

Kalau dipikir, keadaan Tirta seperti berada di ujung tanduk, meski begitu ia masih tetap berdiri. Dia adalah gadis yang sangat kuat baik fisik maupun mental. Aku berkeliling di gedung ini sampai kemudian menemukan tanda yang sama di sebuah lantai ruangan yang terdapat beberapa alat musik.

Tapi kenapa juga aku lupa soal bagaimana soal menghubunginya, mengingat tempat ini cukup luas, Mungkin aku juga perlu mencarinya sekarang, tapi aku masih mencari cara termudah untuk memberi sinyal tanpa perlu mencarinya. Ayolah, apa aku hanya harus bilang, "Aku sudah menemukannya Tirta." niscaya ia langsung mendengar dari kejauhan dan datang kemari.

"Tunggu, aku kesana," jawab Tirta.

Suaranya masuk ke gendang telingaku, tak kusangka itu benar-benar berfungsi. Sekarang aku tak perlu lagi melakukan hal seperti membanting kursi atau bermain musik disini cukup keras agar ia mendengar apa yang kulakukan.

**

Tak butuh waktu lama, ia langsung terlihat dari arah pintu lalu mendekat kepadaku.

"Kau bisa diandalkan juga."

"Apa kau berusaha menghiburku."

Masalahnya agak aneh kalau dalam bidang apapun ia lebih hebat dariku tapi malah aku yang menemukan simbolnya terlebih dahulu. Tapi berpikir positif saja, mungkin dalam bidang pencarian seperti ini aku lebih unggul darinya.

"Sebagian pujian karena itu merupakan hadiah agar seseorang lebih percaya diri, dan sebagian mungkin memang aku berusaha menghiburmu karena itu sebagai caraku menghargai usahamu."

"Oh, begitu rupanya."

Sungguh kalimat dari seorang putri raja, terlihat bijak dan halus tutur katanya, sehingga akupun hampir tak mengerti apa tujuan dari jawaban pertanyaanku itu. Seharusnya aku tak perlu mempertanyakan sesuatu yang memang tak perlu.

Tangan Tirta mulai menapak ke tembok tersebut, entah apa yang ingin ia lakukan, lalu ia memejamkan matanya, aku menunggunya sembari mengamati sekitar, sampai beberapa menit kemudian ia membuka matanya lalu melepaskan pegangannya ke tembok tersebut.

"Sudah selesai," ucapnya.

"Begitu saja?"

"Memang apa yang ada dalam pikiranmu?"

"Aku pikir ada sesuatu yang terjadi. Seperti pentagram yang menyala dan sebagainya."

Setidaknya aku berpikir akan ada efek seperti dalam film, atau muncul sesuatu seperti harta atau ruang rahasia, tapi ternyata tidak terjadi apapun.

"Maaf, membuatmu kecewa, tapi ini bukan karya fiksi. tapi jika kau ingin sebuah pertunjukkan, aku bisa menunjukkan hasilnya padamu."

"Tidak perlu, itu pasti merepotkanmu kan?"

"Tidak juga, aku memang perlu mengetesnya, sebelum mencobanya secara langsung untuk meratakan raja iblis."

"Em, ok."

**

"Disini saja sepertinya bagus," ucap Tirta.

Setelah beberapa jam kami sampai di tanah lapang yang cukup luas dengan beberapa bangunan yang rusak di sekitarnya.

"Kau yakin tidak ada kehidupan disini Tirta?"

"Ya, jangan khawatir soal itu, perhatikan baik-baik akan kuperlihatkan sesuatu yang keren."

Ia menapakkan tangan kanannya ke depan, kemudian simbol di tangannya berubah menjalar ke tubuhnya yang secara otomatis merubah kostumnya seperti seorang tentara perempuan dengan kombinasi busana gothic.

"Hebat bukan?"

Untuk pertama kalinya aku melihat seseorang seperti berpakaian cosplay namun ini dari dekat. Terlihat begitu anggun nan cantik, aku hampir terlena karena terkesima oleh penampilannya.

"Dan sekarang adalah pertunjukannya."

Ia menggerakkan tangannya, lalu muncul hologram beberapa senapan yang cukup banyak jenisnya lalu ia menembakannya ke arah bangunan. Suaranya bising jadi aku menutup telingaku.

"Luar biasa!"

Seketika bangunan tersebut terkikis karena tembakan lalu kemudian hancur. Aku penasaran darimana ia memunculkan senjata-senjata itu.

"Kita coba yang lain."

Senapan-senapan itu mulai menghilang kemudian muncul tank di sekitar Tirta.

"Tunggu Tirta-"

Sebelum sempat aku menghentikannya sudah terdengar suara keras dari hujaman peluru dalam tank, kemudian disusul ia memunculkan pesawat yang menembaki tempat sekitar.

"Hentikan dulu Tirta!"

Aku berteriak ke arah Tirta, suara bising, getaran, dan hempasan dari debu di tempat ini mulai serasa berada di medan perang dunia ketiga. Jika aku terkena sekali saja, sudah pasti mati.

"Kau bilang sesuatu Mikka?"

Sesaat kemudian alat dan senjata perang itu langsung menghilang seperti hologram yang dimatikan menyisakan kerusakan di tempat sekitar.

"Maaf, tapi telingaku tak sanggup menahan suara dentuman senjata seperti itu dari dekat."

Benar-benar memekakkan, bisa-bisa gendang telingaku pecah karena ini. Rasanya aku jadi membebaninya, tapi aku harus memikirkan ide lain agar masalah ini dapat terselesaikan.

"Begitu ya, maaf, aku lupa kalau kamu manusia biasa."

Terkesan mengejek, tapi memang begitulah kenyataannya, jadi aku tak bisa melakukan protes karena hal ini.

"Bagaimana kalau aku menjauh sebentar agar kau bisa leluasa?"

"Tidak perlu, kita kembali saja sekarang."

"Kenapa?"

"Aku merasakan, sesuatu yang buruk di tempat ini, mari berkemas."

"Tadi kau bilang aman-aman saja?"

"Ya itu tadi, bagaimanapun juga aku baru menyadarinya."

Ia memandangi tempat sekitar seperti waspada, meski aku tak dapat merasakan apapun,tapi tempat yang berisi pepohonan dan reruntuhan amatlah mencurigakan, karena hewan lalat atau semut pun tak dapat kutemui di tempat ini. Seolah makhluk hidup yang bergerak akan dihapus oleh sesuatu.

**

"Haruskah aku yang menggambar ini?"

"Iya, agar aku lebih fokus mengamati."

Setelah kami berkemas, ia menyuruhku membuat sebuah diagram melingkar di atas gedung tertinggi ini dengan bentuk pola yang cukup rumit, aku tak terbiasa dengan ini, dan hanya dengan menggunakan kapur saja. Ia berkata kalau membuat pola ini perlu agar kami bisa cepat kembali dari dunia ini.

"Baik sudah selesai."

"Taruh alat ini di tengah."

Berbentuk prisma yang sepertinya dilapisi oleh baja di sekitarnya. Ia kemudian menyuruhku menekan tombolnya di tengah, prisma itu terbuka lalu di dalamnya terdapat sebuah gerigi yang kemudian berputar.

"Lingkaran yang kubuat tidak ikut menyala," gumamku sedikit penasaran.

"Hihi."

"Hei kenapa kau tertawa?"

"Sebenarnya, lingkaran yang kau buat tidak memiliki efek apapun?"

Ia kembali tertawa terkekeh saat melihatku, aku mengerti sekarang yang ia lakukan hanya mengerjaiku.

"Eeeem .... Aku mengerti. Jadi kau mengerjaiku."

"Yang benar saja, aku hanya mencoba mengakrabkan diri denganmu. Ayolah jangan pasang ekspresi membosankan seperti itu. Ekhem ..."

"Baiklah-baiklah, lain kali aku yang akan melakukannya."

"Hoo, aku tidak sabar menunggu."

Dia masih suka bermain-main, awas saja lain kali aku akan melakukan sesuatu yang membuatnya merasakan hal yang sama dengan yang kurasakan sekarang.

"Mereka datang," ucap Tirta yang sedang menggunakan teropong mimiknya berubah menjadi serius. "Lihatlah."

Ia mengulurkan teropongnya padaku untuk melihat sesuatu yang ada di ujung barat, seperti kawanan hewan aneh berwarna hitam, cukup banyak sekali, muncul di tiap sisi.

"Menyeramkan, berapa lama kita bisa pindah?" Itu bukan sebuah makhluk yang bentuknya kukenal, samar-samar tapi seperti ada kaki dan tangan cukup banyak muncul di badannya.

"Ayo, pergi sekarang."

Kami berdua kemudian mendekat ke arah prisma tersebut, sesaat setelah muncul cahaya terang dari prisma tersebut cukup menyilaukan hingga cahaya itu meredup, lalu pandangan telah berubah ke ruang bawah tanah istana sebelumnya.

"Hampir saja, tadi apa itu?"

"Nois, semacam organisme predator."

"Bagaimana kau tahu?"

"Akan panjang untuk menjelaskannya."

*****