webnovel

Melawan Goblin

Alasan aku tak menggunakan pedang atau pisau karena bermasalah disebabkan darahnya pun baunya aku tidak tahu, jadi itu dapat mempengaruhi fokusku. Sesaat kemudian ia menciptakan tongkat dari tangannya lalu memunculkan sarung tangan yang keluar dari sebuah hologram.

"Tak kusangka sesuai perkiraanku."

"Tentu karena aku sudah biasa menyiapkan sesuatu untuk kesatria, tapi ngomong-ngomong kenapa kau tak menolak atau kembali keduniamu saja setelah aku memberikan alat itu?"

Beberapa hari lalu ia sudah memberitahuku cara untuk kembali dengan sebuah alat, namun ia tak dapat membawaku kemari lagi. Aku tidak mau bilang kalau aku tertarik dengannya saat ini.

"Karena aku sudah membulatkan tekad."

"Oke, boleh juga, kalau begitu akan kita mulai."

Sebelumnya aku sudah melakukan pemanasan, saat ini adalah kondisiku paling prima, jadi dengan semangat dan keyakinan akan kulakukan yang terbaik. Tiba-tiba borgol yang ada pada goblin tersebut lepas, yang kemudian secara brutal ia berlari cukup cepat mengarah padaku. Segera aku ayunkan tongkatku menuju ke arah kepalanya.

"Hatt."

Tak!

Ayunanku meleset terkena lantai, goblin itu cukup lihai menghindarinya. Sial sekali, bagaimana dia bisa secepat itu, segera saat ia sudah ada di sampingku, aku mengarahkan tongkatku lagi padanya, kali ini kena namun ditangkis oleh tangan kanannya. Mulai ku arahkan ujung satunya lagi, namun ia melompat ke belakang. Lalu melompat lagi dan mencengkeram tongkatku sehingga aku terpelosok ke belakang.

"Gawrrr!!"

Dak!!

Kakiku kuhujamkan ke perutnya, namun cengkramannya cukup kuat, lengannya menekuk salah satu tangannya berusaha meraih kepalaku untuk ia serang dengan cakarannya. Kucoba menghindar dan melemparnya dengan sekuat tenaga ke belakang. Aku kembali berdiri, namun ia lebih lincah dariku, sudah berada di depanku.

Crasshh!!

Aku terkena cakarannya mengenai lutut, ia melompat dan merangkak mencengkeram bahu, memperlihatkan giginya yang lumayan tajam, namun tiba-tiba ia terhempas oleh sesuatu.

Sraak!!

Cengkramannya yang kuat sukses menyayat baju hingga menembus kulit. Tapi kini ia terhempas beberapa meter dariku lalu kembali terantai.

"Cukup sampai disitu saja," ucap Tirta.

"Kenapa?"

"Kau akan mati jika diteruskan."

Tak terasa adrenaline-ku terlalu banyak terbuang, aku cukup lelah walaupun baru beberapa detik saja bertarung dengan goblin itu. Napasku terlalu cepat, keringatku terlalu banyak terbuang sia-sia. Kurasa Tirta benar, leherku hampir digigit olehnya, jika itu terjadi maka akan jadi akhir dari perjalanan hidupku.

"Huff ..." Tirta menghela napas setelah melihat pertarunganku tadi. Ia sedikit menggaruk kepalanya sesaat.

"Kenapa?" tanyaku padanya. Kurasa itu benar-benar mengecewakan, aku bahkan tak sanggup membunuh goblin, meski ini pertama kalinya bagiku, namun dalam pandangannya aku pasti hanya manusia yang sangat lemah.

"Tidak apa-apa, setelah semua ini kupikir kau akan pergi?"

"Heh? Jadi kau menghela napas bukan karena aku gagal mengalahkan Goblin?"

"Bukan, hanya mengetes keberanianmu, lagipula dengan keluatanmu yang sekarang kau takkan mungkin bisa mengalahkannya."

"Apa ada cara lain untuk membuatku lebih kuat?" tanyaku padanya lagi sama dengan waktu itu. Kalau hanya tekad kurasa semua akan cepat berakhir bila aku tidak memiliki kekuatan yang lebih besar dari ini.

"Tentu saja ada, itu jika kau mau."

"Tentu aku pasti mau."

"Baiklah, jadi begini, apa di duniamu ada energi halus atau bersifat gaib yang dipelajari orang-orang? Seperti untuk menyembuhkan sesuatu, bertarung, dan sebagainya? Oh iya, kita lebih baik kita pindah tempat saja."

Suara raungan goblin memang agak memekakkan telinga, kami kemudian berjalan keluar dari ruang bawah tanah, sembari berbincang soal sesuatu yang dimaksud oleh Tirta.

"Maksudmu seperti tenaga dalam, sihir, aura, roh, cakra, dan sebagainya?"

"Ya, ya itu. Rupanya kau hidup di dunia seperti itu ya?"

**

Kami kemudian berada di aula yang cukup besar ada beberapa tempat duduk dan meja, aku pikir ini seperti tempat pertemuan.

"Dimana ya aku menaruhnya."

Nampak Tirta sedang mencari sesuatu, badannya terkadang menunduk mencari di sela-sela bawah meja. Dengan memakai rok pendeknya, itu sedikit membuatku gugup, akan terlihat tidak sopan jadi aku memalingkan kepalaku ke arah lain.

"Ah, ketemu, kau sedang melihat apa?"

"Bangunan ini nampak megah."

"Tentu saja karena ini istanaku. Kemari."

Ia menyuruhku duduk berhadapan dengannya, entah kenapa ketika dekat serasa berbeda dari pertama kali aku bertemu dengannya, ia kemudian menyuruhku mengulurkan tangan.

"Sekali lagi, aku bertanya, kenapa kau bersikeras ingin tetap tinggal disini?"

"Entahlah, sepertinya aku menyukai tempat ini."

Ia memasang sabuk di pergelangan tanganku lalu mengeluarkan alat kecil seperti sebuah remot berwarna hitam legam, lalu jarinya menekan salah satu tombol. Setelahnya, muncul layar yang menunjukkan tulisan namun tak dapat kubaca.

"Oh, pantas saja."

"Pantas saja apanya?"

"Kau tak memiliki kekuatan energi halus, tubuh astral, atau apapun itu. Makanya sarung tangan sebelumnya tak memunculkan angka kekuatan astral sedikitpun."

"Apa itu buruk?"

Pada dasarnya astral merupakan materi halus penyusun semesta dan makhluk hidup, itu menurut penjelasan dari Tirta. Dan hal-hal astral juga memiliki banyak jenis bisa diumpamakan seperti tabel periodik fisika, hanya saja materinya memiliki sifat metafisik yang berbeda dengan benda fisik. Tapi aku tidak memilikinya, masalahnya setiap makhluk harusnya memilikinya, itu yang Tirta tahu.

"Sebentar, aku akan menggunakan pendeteksian yang lebih mendetail, kemarikan tanganmu."

Ia menyentuh telapak tanganku dengan telapaknya. Sesaat kemudian ada yang serasa hangat mengalir dalam tubuhku, kelihatannya seperti ia mengirimkan sesuatu ke penjuru tubuhku.

"Bagaimana rasanya?"

"Hangat."

Sesaat kemudian rasa menjadi sedikit panas, alirannya semakin kuat, lalu terasa sebuah lonjakan seperti terkena setrum oleh listrik yang akhirnya aku melepasnya secara refleks. Tirta kemudian tertawa ketika melihatku seperti itu.

"Apa yang kau tertawakan?"

"Tidak-tidak! Rupanya alat ini memang sudah rusak."

"Terus kenapa kau pakai kalau itu rusak?"

"Barangkali, ini masih berfungsi. Ya lupakan saja."

Ia kemudian membakar alat itu segera, dengan tangannya seperti sebuah pemantik yang cukup besar sehingga secara cepat alat itu terbakar seketika dengan menimbulkan percikan api dan suara letupan.

"Kau tidak merasa panas?" Aku mundur beberapa langkah karena aku kepanasan ketika ia melakukan itu, dan api itu anehnya tak membakar bajunya sedikitpun.

"Tidak," ia tersenyum memandangku, entah apa maksudnya.

"Sebaiknya kau istirahat dulu, aku akan membahasnya lengkap esok hari."

Benar katanya, aku sudah terlalu lelah melawan Goblin, sesaat setelah beberapa diskusi aku kembali ke kamarku. Membersihkan diri, lalu merebahkan diriku ke kamar mengamati atap langit-langit ruangan ini. Tirta, gadis itu masih belum bisa ku mengerti sepenuhnya. Dunia yang antah berantah ini, bagaimana ia bisa bertahan sampai sejauh ini. Dengan kesendiriannya itu.