Wisaka berjanji bahwa dia akan menolong hantu tanpa kepala itu. "Katakan, apa maumu?"
"Aku hanya minta, satukan kepala serta badanku dalam satu liang kubur." Satu suara terdengar di telinga Wisaka.
"Pergilah, aku akan mencoba menolongmu dan jangan pernah kembali meneror kami," pinta Wisaka.
Brugh ... brugh ... brugh.
Seolah-olah mengerti hantu menyeramkan itu pergi, kemudian menghilang di pintu goa meninggalkan bau anyir darah. Begitu pula kepala yang matanya melotot itu raib dari pandangan Faruq.
"Aaa ...."
Faruq kembali menjerit, rupanya kepala hantu itu kembali meneror Faruq. Ia menggelinding lagi, terasa ada basah-basah dan dingin mengenai kakinya.
"Pergi! Atau tubuhmu aku biarkan tanpa kepala selamanya!" seru Wisaka.
Kali ini kepala itu benar-benar lenyap. Mungkin takut jika Wisaka tidak menolongnya, menyatukan kepala kepada jasadnya. Rupanya masih ada rasa khawatir biarpun sudah menjadi hantu.
"Hhhah ..."
Wisaka dan Faruq melepas napas lega. Wisaka kemudian bersiap-siap untuk melakukan semedi lagi. Faruq melihatnya dengan heran, bukankah baru saja Wisaka terbangun dari bersemedi.
"Apakah Kakang mau bersemedi lagi? Kenapa?" tanya Faruq bertubi-tubi.
"Aku ingin tahu apa yang terjadi dengan hantu tanpa kepala itu, sehingga kepalanya terpisah dari badannya. Kau tidurlah hari masih malam," suruh Wisaka.
Wisaka duduk di batu datar bekas bersemedi tadi. Tangannya bersedekap, kemudian menutup matanya. Menerapkan ilmu Lorong Waktu, Wisaka ingin mengetahui masa lalu Hantu Tanpa Kepala.
Perlahan-lahan asap tipis serupa kabut menghalangi pandangan Wisaka. Wisaka semakin fokuskan pikiran dan pandangannya. Kabut itu sedikit demi sedikit memudar. Dia dapat melihat dengan jelas kini.
Dua orang berjalan mendaki sebuah bukit. Napas mereka terengah-engah, rupanya sedang melakukan perjalanan. Seorang wanita muda cantik tetapi kelelahan terbayang di wajahnya. Seorang laki-laki yang juga tampan. Sepertinya mereka suami istri serta sudah lama berkelana. Tidak jelas penampakan mukanya, sehingga Wisaka tidak mengenalinya.
"Kang, kita berhenti sejenak," pinta perempuan itu.
"Ayo, Kakang juga merasa capek. Sudah lama juga kita meninggalkan kampung," jawab suaminya.
"Iya, sepertinya hari sudah mulai malam, kita harus secepatnya mencari tempat berlindung," kata wanita itu lagi.
"Nanti, setelah istirahat Akang akan mencari sebuah goa," kata suaminya.
Wisaka melihat mereka berdua duduk beristirahat sejenak, kemudian beranjak kembali mencari tempat untuk bermalam. Kebetulan tidak jauh dari situ terdapat sebuah gua yang cukup luas.
Wisaka juga melihat dua pasang mata semerah biji saga, mengintip dari celah-celah batu besar di balik dinding goa. Memperhatikan gerak-gerik sepasang suami-istri itu. Mata sipit agak panjang, dengan pupil mata yang memanjang ke atas. Lidahnya menjulur keluar masuk, air liurnya menetes penuh selera.
Dua orang itu masuk ke goa, mereka melihatnya sebagai goa kosong tanpa penghuni. Akan tetapi tak urung mereka berteriak-teriak juga memohon izin.
"Ada orang di sini? Apakah goa ini ada pemiliknya?" Sang suami berteriak.
Tidak ada jawaban, hanya gema suara yang mengulang pertanyaannya itu. Setelah beberapa kali berteriak tetap tidak ada jawaban, akhirnya mereka merebahkan diri di sebuah batu yang terdapat di dalam goa. Mereka tertidur pulas karena perjalanan panjang yang begitu melelahkan.
Perlahan-lahan dua pasang mata yang sejak tadi mengawasi, beringsut mendekati mereka. Sepasang makhluk berukuran besar dengan bulu-bulu tebal berwarna coklat. Mata yang senantiasa berkilat-kilat serta lidah bercabang berwarna merah.
"Aku ingin mencicipi tubuhnya, Al-ifrit," kata makhluk yang berwujud laki-laki.
"Bodoh kau, Al-A'mir, kali ini kita butuh raganya untuk keabadian kita," jawab makhluk yang berwujud perempuan sambil mengumpat.
Dua orang manusia yang tertidur masih tidak sadar akan kehadiran bahaya yang akan mencelakai mereka. Bahkan kini terdengar dengkuran keras dari mereka. Mereka benar-benar pulas. Sementara sepasang makhluk menyeramkan itu semakin mendekati mereka.
"Gunakan ilmu sirepmu, A'mir!" bisik Al-ifrit.
"Benda minituna ujung kulon
Jasad turu bumi turu
Maka turulah kabeh."
Mantra sudah dibacakan oleh A'mir, ada semilir angin yang membuat mata semakin lengket, datang menerpa kedua insan yang sedang tertidur. Mereka semakin tenggelam dalam alam mimpi, karena pengaruh kedua makhluk jahanam itu.
Secepatnya makhluk itu mendekati kedua manusia. Mereka menelentangkannya, kemudian mereka tidur di atas kedua tubuh itu. Ajaib, tubuh mereka seperti melesak, masuk ke raga manusia tadi. Sesaat kemudian tubuh manusia itu bangkit. Meninggalkan sosok menyeramkan tengah tidur pulas.
Manusia yang sudah berganti jiwa itu tertawa terbahak-bahak. Mereka sangat bahagia dengan wujud yang sekarang. Diamatinya tubuh yang menjadi jasadnya kini. Setelah puas mengamati, mereka membangunkan mahluk yang masih dalam kondisi kena sirep.
"Bangun, Kisanak! Aku harus menanyakan namamu." Perempuan berparas cantik itu mengguncangkan sosok-sosok di hadapannya.
Saat makhluk itu terbangun, mereka yang belum sadar akan apa yang terjadi. Makhluk itu begitu kaget, ada orang di goa ini yang begitu mirip dirinya.
"Ssi si …siapakah kau?" tanyanya tergagap-gagap. "Mengapa begitu mirip diriku?"
"Aku ya aku! Katakan siapa namamu dan suamimu?!" bentaknya kasar
Gaduh dengan suara-suara keras, suami perempuan itu juga turut bangun. Dia juga sama turut kaget.
"Aah, apa ini? Mengapa diriku berubah?" Kaget dan menjerit demi melihat perubahan itu. Cepat-cepat dia meraba seluruh tubuhnya. Bulu-bulu kasar tersentuh di seluruh tubuh barunya.
"Cepat katakan! Siapa namamu?"
Mahluk perempuan itu menangis mengeluarkan suara aneh. Dia dijambak oleh manusia serupa dirinya. Hampir copot kepala rasanya.
"Katakan! Atau kalian kubinasakan!" seru manusia jahat itu.
Wisaka melihat makhluk itu berkata sesuatu, tetapi Wisaka tidak mendengarnya. Mungkin makhluk itu menyebutkan sebuah nama. Manusia jadi-jadian itu pergi meninggalkan kedua mahluk yang sedang menangis berpelukan.
Malam berada di puncaknya kini, seorang laki-laki nampak tidur di atas pohon. Sepertinya ia seorang pengembara juga yang terpaksa tidur di hutan. Kadang-kadang tubuhnya kaget karena akan terjatuh, akhirnya berbalik dan tidur mendekap erat batang pohon tersebut.
Hidungnya tiba-tiba mengendus sesuatu yang membuatnya ingin membuka mata. Harum lembut parfum entah dari mana. Semakin ia abaikan semakin menggodanya. Terpaksa melek sambil tetap memeluk batang pohon.
Terlihat olehnya sosok perempuan langsing tengah duduk tak jauh dari pohon yang sedang dia dekap. Wanita itu membelakanginya. Namun, berani bertaruh kalau perempuan itu pasti cantik parasnya.
Tak ingat lagi di mana kini ia berada, tak perduli lagi dengan logika. Mana ada perempuan cantik di hutan. Ia hanya merasakan bagian bawahnya perutnya terasa sesak karena pesona perempuan itu. Laki-laki itu turun dari pohon dan mendekat, kemudian menyapa.
"Nyai, mengapa kau ada di sini tengah malam begini?" tanyanya.
"Aku tersesat, Kakang," jawab suara sangat merdu dari perempuan itu.
"Kalau begitu, bolehkah Akang temani?" tawar laki-laki itu.
"Boleh." Setelah diam sejenak perempuan itu menjawab lagi disertai tawa renyah.
Merasa mendapatkan angin laki-laki tadi cepat memburu lalu duduk di sebelahnya. Tidak salah perkiraannya, perempuan itu sangat cantik.
"Cantik sekali kau, Nyai." Laki-laki itu perlahan-lahan meraih jemari perempuan yang diam saja kala di sentuh. "Dingin sekali tanganmu, Nyai."