Eyang Astamaya melihat ke arah Wisaka yang tengah memandangnya. Matanya menyiratkan tanda tanya. Eyang Astamaya maklum dengan keheranan Wisaka dengan semua yang dialaminya.
"Kamu baru saja melakukan perjalanan waktu ke masa lalu, dan mulai sekarang kamu akan sering mengalaminya," kata Eyang Astamaya.
"Apa itu, Eyang?"
"Itu artinya kamu bisa melihat apa saja yang terjadi di masa lalu, akan tetapi kamu tidak bisa mengubah apa pun, hanya menjadi penonton saja," jelas Eyang Astamaya.
"Aku tidak mengerti, Eyang," kata Wisaka.
"Kamu sedang mengalaminya, mengapa masih bingung?" tanya Eyang Astamaya.
Wisaka menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dia memang sedang mengalami sesuatu yang tidak dia mengerti, perjalanan waktu ke masa lalu.
"Mungkin nanti setiap malam kau akan mengalami perjalanan waktu ini, kau akan menganggapnya mimpi, tapi itulah kenyataan hidup di masa dahulu," ucap Eyang Astamaya.
"Iya, Eyang," Wisaka mengangguk walau hatinya masih bingung.
"Kuasailah jurus Matahari Terbenam," suruh Eyang Astamaya. "Kalau kau sudah menguasainya, kau boleh membuka matamu dan kembali!"
Wisaka kembali mempelajari ilmu itu dengan bimbingan Eyang Astamaya. Wisaka tidak mengerti apakah Eyang Astamaya itu roh atau sebangsanya. Pemuda itu hanya berusaha mengerti apa yang diajarkannya.
Faruq, Onet dan Galuh, juga harimau itu melihat ke arah Wisaka, badannya tiba-tiba mengeluarkan asap tipis. Bersikap waspada dengan apa yang akan terjadi. Faruq sudah cukup terkaget-kaget dengan apa yang telah mereka alami.
Faruq memandang tak berkedip, sesaat dia terkejut melihat Wisaka tiba-tiba membuka matanya, lantas lelaki tambun itu pun berteriak,"Kakang, kau sudah bangun, apakah kau berhasil?"
Wisaka tersenyum, kemudian mengangguk. Wisaka heran melihat seekor harimau di dekat Faruq. Namun, Faruq tidak ketakutan berada dekat harimau tersebut.
"Kapan dia datang," tanya Wisaka sambil menunjuk kepada harimau.
"Kemarin, Kakang, dia menyelamatkanmu dari gangguan siluman perempuan yang menggodamu," jawab Wisaka.
Harimau yang merasa menjadi pembicaraan datang mendekati Wisaka, ia menggesek-gesek bulunya ke badan Wisaka. Wisaka kemudian mengelus kepalanya.
"Kamu boleh pergi sekarang," kata Wisaka. Harimau itu berjalan gontai ke arah mulut goa, kemudian menghilang dari pandangan.
"Bagaimana, Kang, coba ceritakan pengalaman Kakang selama bersemedi?" tanya Faruq penuh harap.
"Saat aku bersemedi aku bertemu dengan roh Eyang Astamaya, pemilik gua ini, aku diajarkan jurus Matahari Terbe--"
"Aah, apa itu?"
Ucapan Wisaka terpotong dengan suara jeritan Faruq. Dari arah mulut goa ada sesuatu yang menggelinding, semula mereka menyangka bahwa itu adalah sebuah batu, tetapi ketika semakin dekat kembali Faruq histeris.
"Kang, itu kepala orang!" Faruq kembali berteriak sambil menunjuk benda tersebut.
"Ayo kita periksa," kata Wisaka sambil beranjak.
"Aku takut, Kang," kata Faruq sambil mengkeret.
"Laki-laki gendut gak punya nyali, dasar!" ejek Wisaka.
Wisaka melangkah ke arah kepala tanpa badan itu, kemudian membalikkannya. Terlihat satu kepala dengan raut wajah membusuk yang menakutkan. Nampak bekas luka yang tersebar di seluruh wajahnya. Wisaka berjongkok dan mengamatinya.
"Aaah!" teriak Wisaka.
Wisaka melompat ke belakang demi melihat kedua mata di kepala tersebut tiba-tiba terbuka dan mengeluarkan air mata seperti sedang menangis. Faruq yang ikut mengamati, berlari ke dinding gua dan menyembunyikan mukanya di sana. Saking ketakutannya Faruq hampir mengencingi dirinya sendiri.
Kepala yang sudah terbuka matanya berubah menjadi segar kembali seperti mayat baru. Mulutnya berkomat-kamit seolah-olah mengatakan sesuatu.
"Kang, bukankah tadi sudah membusuk, mengapa sekarang menjadi segar kembali?" tanya Faruq dengan suara gemetar. Dia sangat ketakutan.
"Entahlah," jawab Wisaka singkat. Lelaki itu berusaha bersikap tenang, walau hatinya juga diliputi ketakutan.
"Mungkin ia akan berkata sesuatu," kata Faruq.
Wisaka mendekat kembali ke arah kepala putus itu. Berusaha mendengarkan apa yang diucapkannya, tapi nihil tidak ada suara yang keluar.
Tiba-tiba ada satu bayangan di dinding goa. Mula-mula hitam seperti titik kecil, tambah lama tambah jelas dan membesar, sosok tubuh tanpa kepala. Bayangan yang semakin membesar itu mendekat seperti orang yang sedang berjalan.
"Aa--pp--aa lagi itu?" tanya Faruq sambil tergagap.
Wisaka tidak menjawab, matanya tidak berkedip memandang bayangan itu. Tiba-tiba bayangan itu seperti keluar dari dinding. Berjalan melangkah ke arah mereka. Faruq panik, begitu pula Wisaka. Kejadian ini tidak dapat diterima oleh akal.
Wisaka mencoba meraba bayangan hitam itu, tetapi dia seperti menyentuh tempat kosong. Terdengar tawa samar seperti mengejeknya.
"Hahaha ... hahaha ... hahaha ... hahaha."
Tawanya membuat merinding orang yang mendengar. Faruq semakin mengkeret di dinding gua. Sementara Onet dah Galuh melihat tanpa mengeluarkan suara. Wisaka mengernyitkan alisnya tanda tak mengerti.
Bayangan itu menghilang dengan suara tawanya yang kian menjauh. Kepala itu juga menghilang dari pandangan mereka. Namun, tiba-tiba bau busuk menyengat hidung mereka. Dari mulut goa muncul sesosok tubuh tanpa kepala itu lagi dengan pakaian compang-camping, berjalan seperti robot.
Brug ... brug ... brug.
Lantai goa seperti bergetar dengan langkahnya. Wajah Faruq semakin pucat pasi. Wisaka berusaha tetap tenang.
"Aw ... aw ... pergi kalau tidak mau kutendang!" teriak Faruq. Tiba-tiba di dekat kakinya ada kepala tergeletak melotot kepadanya. Tentu saja Faruq histeris, keringat dingin mengucur di tubuhnya.
Wisaka bersikap waspada, takut hantu tanpa kepala itu menyerangnya. Akan tetapi rupanya makhluk itu hanya meneror saja. Sebentar muncul sebentar menghilang.
"Mengapa sekarang dia melotot, Kang, tadi di sana dia menangis," tanya Faruq sambil gemetaran. "Lama-lama aku bisa mati ketakutan," tambahnya.
Wisaka diam saja, dia sedang mendengarkan suara yang samar-samar terdengar.
"Tolong ... tolong."
Wisaka mendengar suara rintihan seseorang. Hanya dia sendiri yang bisa mendengar. Hantu tanpa kepala itu mendekati dirinya. Lelehan darah kental mengalir dari dalam lehernya yang terputus. Mulut Wisaka terbuka, tenggorokannya tercekat.
Wisaka berusaha untuk tidak menjerit, sekujur tubuhnya kaku. Dia menelan ludahnya yang tiba-tiba terasa sangat kering. Tidak pernah dalam hidupnya menghadapi situasi seperti ini.
Angin yang tiba-tiba berhembus dari atap gua menambah horor suasana. Terasa sangat dingin tidak seperti biasanya. Onet dan Galuh sudah berpindah tempat ke dalam cerukan. Rupanya mereka juga takut.
Hantu tanpa kepala itu semakin mendekati Wisaka, Wisaka sudah bersiap dengan salah satu jurusnya. Sementara kepala yang tergeletak di lantai, dekat kaki Faruq masih tetap di sana meneror Faruq. Faruq semakin gemetar tubuhnya. Lelaki itu memegang erat-erat tongkat kaboanya. Rencananya akan dia pukulkan kalau tiba-tiba kepala itu menyerang dirinya.
"Tolong ... tolong."
Suara itu terdengar lagi di telinga Wisaka. Wisaka kembali menajamkan telinganya. Ucapan itu berulang-ulang di dengarnya.
"Baiklah, katakan! Aku akan menolongmu, tapi kamu harus berjanji, tidak akan meneror kita lagi!" perintah Wisaka.
Kepala manusia itu berkedip-kedip seolah-olah setuju dengan syarat Wisaka. Faruq semakin ketakutan melihat kepala tanpa badan itu mengedipkan mata.