Zia menanyakan kondisi Vero dan pemuda itu hanya tersenyum. "Lo beneran gak apa-apa?"
Vero mengangguk, dia hanya memberikan kameranya pada Zia. Zia bingung dengan sikap Vero, tetapi berusaha untuk menanggapi pemuda di depannya itu.
"Lo potret gue?"
Vero kembali mengangguk sebagai jawaban. Bahkan, Zia melihat tidak hanya ada satu, melainkan ada beberapa foto dirinya di sana.
"Jago juga. Lo bisa lukis gak? Gue bisa ngelukis soalnya," cerita Zia.
Vero masih diam, dia hanya menatap Zia yang mulai menjelaskan kegemarannya itu. Vero tahu, dia beberapa kali pernah melihat Zia di jalanan, bahkan di danau.
Bukan hanya sekali, Vero bahkan memotret Zia tanpa sepengetahuannya itu setiap kali bertemu.
"Oh iya, gue Zia. Maaf soal tadi, ya!"
Vero merespons dengan anggukan juga senyuman manisnya. Wajah tampan dengan senyuman yang manis. Anda Zia tidak memiliki Nathan, maka Zia pasti akan memilih Vero. Tentu saja itu pun jika Vero sempurna seperti laki-laki lainnya.
"Sekali lagi gue minta maaf, ya!"
Zia pun memilih pulang, sementara Vero juga memilih pulang ke rumahnya yang berada tidak jauh dari sana. Zia awalnya memang akan pulang, tetapi dia tertarik dengan keindahan danau di sore hari, jadi dia memutuskan untuk bertahan di sana.
Zia menghubungi salah satu anak buahnya untuk mengirim peralatan melukis. Sementara itu, dia memilih duduk di salah satu pohon.
Dering ponselnya membuat Zia merogoh saku jeans-nya. "Halo, Nath?"
[Kamu di mana, apa yang terjadi?]
"Aku gak apa-apa kok, ini lagi di danau."
[Tungguin, aku jemput!]
Namun, Zia menolak dengan alasan masih ingin berada di pinggiran danau. Sementara Nathan, dia tentu saja tidak akan membiarkan kekasihnya itu sendirian.
[Jangan egois, nanti aku jemput, Zia.]
"Nathan, aku mau sendiri dulu."
[Aku gak bakalan biarin kamu sendiri,] jawab Nathan yang kini langsung mematikan ponselnya.
Zia tadinya hanya ingin sendiri sebab ini adalah masalah dirinya dan Nathan. Namun, apa boleh buat kalau Nathan memang tidak akan membiarkan Zia melewati masalahnya sendirian.
Di sisi lain, Vero kembali ke rumah. Dia tengah membereskan hasil potretannya hati ini. Tentu saja di saja banyak foto Zia.
Suara ketukan pintu membuat Vero dengan cepat menyembunyikan foto Zia. Tepatnya foto yang terlihat jelas wajah cantik gadis itu. "Vero!" panggil Bizka.
"Sayang!"
Vero pun membuka pintu, dia tersenyum lebar yang membuat Bizka menaikan alisnya. Ada apa dengan putranya ini?
"Kamu tadi ketemu sama Zia, gak?" Vero menjawab dengan gelengan kepala.
Dia tidak tahu, Zia putri ibu angkatnya itu yang mana karena Vero bertemu dengan Zia yang cantik dan sedikit aneh. Menurutnya tentu saja Zia yang dimaksud Bizka pastinya bukan itu.
"Dia lagi ada masalah sama acaranya. Jadinya dia pergi. Zia juga punya masalah sama percintaannya," cerita Bizka.
Vero duduk, dia mendengarkan semua yang diceritakan Bizka tentang Zia. Akan tetapi, ingatan Vero malah kembali pada Zia yang dia temui tadi.
Apa mungkin mereka gadis yang sama?
Vero melihat kalau Zia pun tampak memiliki beban masalah yang cukup berat. "Kamu ... astaga, ini kenapa?"
Vero menggeleng sembari tersenyum. Dia menyentuh lembab di wajahnya. Vero mengisyaratkan agar Bizka tidak perlu khawatir pada dirinya.
Bizka hanya bisa menghela napasnya, dia tidak bisa membiarkan putranya terluka. Namun, tampaknya ini luka pertama yang Vero dapatkan pada tubuhnya. Bizka bisa tahu jelas kalau ini bukan karena jatuh atau semacamnya. Akan tetapi, mungkin saja seseorang sudah memukuli Vero.
[Vero mau belajar melukis lagi.]
"Kenapa melukis? Vero udah pintar memotret, apa mau Bunda masukin kelas melukis?"
Vero menggeleng, dia pikir melukis tidak akan sulit. Dia hanya perlu dekat dengan Zia dan mengamati gadis itu. Vero tampak tersenyum, entah apa yang dipikirkannya, bahkan Bizka pun tidak paham.
Vero meraih kemejanya, tidak lupa dia membawa kameranya juga yang dia gantung di leher. "Kamu mau ke mana, Vero?"
Vero hanya melambaikan tangannya, dengan cepat dia berlari kembali untuk mencari Zia.
Suasana di danau dan jalanan tampak ramai. Vero menyukai pemandangan itu, banyak objek yang bisa dia potret di sana. Senyuman manis Vero selalu menjadi pusat perhatian. Tidak ada yang tahu, kalau pemuda tampan dan ramah itu seorang tunawicara.
Vero mendapati objek yang paling disukainya saat ini, Zia. Namun, matanya menemukan hal lain yang membuat senyumannya luntur seketika.
Di sana, ada seseorang yang kini berjalan mendekati Zia. Tampaknya orang itu sangat dekat dan mungkin memiliki hubungan baik dengan Zia. Siapa? Entah. Vero rasanya pernah melihat pemuda itu. Vero memutuskan untuk berjalan mendekat, melihat dengan jelas siapa yang berani menyentuh pipi dan rambut Zia.
Berulangkali Vero memotret Zia, tetapi dengan mata yang tidak lepas dari sosok Nathan. Tampan. Ya, Vero menyadari kalau pemuda di samping Zia sangatlah tampan.
"Mas, kalau minta difoto berapa?"
Vero menggerakkan tangannya, menandakan kalau dirinya tidak akan meminta bayaran. "Beneran gratis? Kalau gitu, tolong fotoin saya sama pacar saya, ya."
Vero mengangguk dan mengikuti pemuda itu. Sementara Zia, dia fokus melukis bersama dengan Nathan yang ada di sampingnya.
"Aku gak mau lepas dari kamu, Nath."
"Aku tahu, aku pun sama. Kita lari aja gimana?" tawar Nathan.
Hidup bersama Nathan adalah impiannya. Akan tetapi, untuk pergi jauh dari Alena dan orang-orang yang mencintai Zia, rasanya itu akan sulit. Zia tidak memiliki keberanian melakukannya.
"Kamu percaya sama aku, kan?"
"Tapi kalau kita pergi tanpa identitas Carter, apa yang bisa kita lakukan, Nathan? Kamu bahkan belum bisa bekerja dan aku juga tidak bisa melakukan itu," jelasnya.
"Tapi aku lebih gak mau kalau harus kehilangan kamu, Zia. Kak Zia, aku gak mencintai kamu," ucap Nathan yang membuat Zia mengangguk sembari tersenyum.
Di penjuru lainnya, Keenan datang ke tempat Zafran. Dia berniat membicarakan hubungan Zia dan Nathan. Di sana ada Zafran juga Nadia yang menghadapi Keenan secara langsung.
"Jadi bagaimana? Aku sudah melakukan semuanya Kak, tapi Nathan terus bersikeras. Bahkan dia mengatakan kalau Zia pun mencintainya," tutur Zafran.
Bener. Memang begitulah adanya. Keenan hanya mengurut keningnya itu. Rasanya benar-benar muak, kesal, dan marah pada situasi ini.
"Mereka harus dipisahkan secepatnya!"
"Saya setuju, Kak. Tapi bagaimana caranya?"
"Bawa Nathan kuliah di luar negeri. Jangan biarkan dia kembali sebelum aku menikahkan Zia dengan laki-laki pilihanku," tegas Keenan.
Apa mungkin Zafran dan Nadia harus membuang anaknya ke negara lain? Namun, mungkin memang benar, hanya ini jalan satu-satunya.
"Tidak ada cara lain, Za. Mereka benar-benar keras kepala," ujar Keenan.
Zafran melirik Nadia, tampaknya sang istri tidak mengizinkan hal itu terjadi. Jauh dari Nathan membuat Nadia sedih, itu yang biasanya terjadi. Maka tidak mungkin jika Nathan harus dibuang jauh ke negara lain.
"Aku akan bicarakan ini dengan Nadia dulu, Kak."
"Aku harap kalian setuju," ucap Keenan sembari bangkit.