webnovel

14. Jembatan Kecil Sebuah Dasi

Zayyad meraba saku jasnya mencari ponsel, detik itu ia teringat ponselnya sudah rusak. Ruangan sempit ini tampak semakin menyesakkan dalam keadaan gelap. Setidaknya sedikit cahaya, mungkin dapat menenangkan Alina yang nyaris hampir mati ketakutan. Jadi Zayyad berpikir untuk mendapatkan sedikit sumber cahaya.

Meraba-raba sekitar lantai, Zayyad menemukan tas tangan Alina. Zayyad membukanya dan mengambil ponsel Alina. Zayyad segera menyalakan senter dari ponsel milik Alina. Cahayanya lebih dari cukup untuk menerangi ruangan kecil ini.

Saat itulah Zayyad dapat melihat jelas wanita yang jatuh pingsan di lengannya perlahan membuka mata. Detik itu...Zayyad kehilangan kontrol akan—

"Ugh!" Seteguk cairan asam tumpah mengotori pundak Alina. Zayyad terkesiap, langsung meletakkan pelan Alina ke lantai. Menutup mulutnya, Zayyad berusaha keras menekan gejolak asam dari perutnya agar tidak melakukan kesalahan kedua kalinya.

"Maaf!" Zayyad memasang tampang menyesal. Ia sudah siap menerima amukan wanita itu. Hanya saja lama ia menunggu, hal tersebut tidak terjadi.

"Hah..hah.." Nafas Alina memenuhi lift yang sunyi. Mata hitam itu kosong, sesekali bergetar tak tenang. Sepertinya kesadaran wanita itu belum sepenuhnya pulih.

Merogoh sapu tangan di saku jasnya, Zayyad ingin menyerahkan pada Alina. Tapi Alina sudah bangun, berdiri dan terus berlari kearah pintu lift yang tertutup rapat.

Alina dengan panik menyentuh sembarang asal tombol berharap pintu lift terbuka. Hanya saja segalanya nihil, pintu besi itu masih enggan terbuka.

Zayyad nyaris hampir terlupa. Ada tombol emergensi di setiap lift perusahaan. Zayyad pun segera menemukan tombol dan menekannya.

"Seseorang apakah mendengar saya? Saya dan istri saya terjebak di lift CEO lantai 50"

"Baik pak! Kami akan segera mengirimkan pertolongan..."

Di samping Zayyad yang sama sekali tidak terpengaruh dengan kekacauan di lift.

Alina yang baru saja siuman dari syok beratnya. Kembali takut dan menggigil di tempat. Memeluk dirinya erat, Alina berjuang keras untuk melawan rasa takutnya. Tapi bayang-bayang masa lalunya kembali datang menghantuinya.

Situasi itu membuat Alina terjerat dalam masa-masa terkelam dalam hidupnya. Matanya yang bergetar, perlahan meluruhkan air mata seperti gerimis dari langit.

Setelah berusaha berkali-kali menekan tombol-tombol dan gagal— pintu logam itu sama sekali tidak terbuka. Alina pun berjongkok pasrah di tempat, kepalanya tertekuk ke bawah dengan kedua tangan memeluk lehernya erat.

Zayyad melihat tubuh Alina bergetar hebat, jelas sekali wanita itu butuh seseorang untuk menenangkannya. Hanya saja Zayyad tidak berdaya melakukan apapun. Tadi saja ia sudah muntah, jika ia bergerak mendekati Alina lagi. Bisa saja ia jatuh pingsan karena sudah melebihi batas pertahanannya.

"Pintu- ke-kenapa pintunya tidak dapat di buka" Mengangkat kepalanya, Alina mendongak kearah Zayyad.

"Bukankah katamu ini tidak akan lama?" Lirih Alina dengan bibir bergetar. Air matanya satu persatu meluncur di kedua belah pipinya. Di samping terlihat menyedihkan, Alina bahkan sama sekali tidak sadar dengan cairan asam yang sudah mengotori salah satu pundaknya.

"Aku sudah menghubungi bantuan, mereka akan segera datang. Bertahanlah..." Hanya itu yang mampu Zayyad katakan.

Alina menggelengkan kepalanya resah, bernafas tersendat-sendat dan tangannya memukul dadanya dengan keras, "Berapa lama lagi?"

'Aku sudah sangat tidak kuat!'

"Mungkin...sekitar membuat secangkir kopi"

Alina menggelengkan kepalanya pasrah, tidak tau apakah masih cukup kuat untuk bertahan.

"Hah..hah.." Ruangan yang sempit ini, seakan menghimpitnya perlahan. Nyaris seperti menekan habis rongga pernafasannya sampai patah.

'Tidak! Aku tidak boleh hilang kesadaran seperti tadi...'

Zayyad yang memperhatikan keadaan Alina kian memburuk, kembali menekan tombol emergensi dan bersuara lebih keras, "Seseorang apakah mendengar saya? Jika memang terjadi pemadaman listrik, nyalakan saja genset nya"

"Harap bersabar pak! Ini masih dalam proses"

Mengerutkan dahinya, Zayyad merasa ada yang aneh. Tidak tau kenapa ia berfirasat...

Ini seperti sudah direncanakan!

"Hah..hah..."

' Tidak! nafas ku—'

Alina yang seakan sudah kehabisan oksigen, perlahan merosot dari duduknya dan terkulai dengan menyedihkan.

"Jika begini terus a-ku akan m-mat- hah..hah.."

'Ruangan sempit ini mencekik ku!'

Zayyad yang melihat pemandangan itu, segera melepaskan lilitan dasi di lehernya.

"Bertahan lah!"

Zayyad mengulurkan salah satu dari ujung dasi itu pada Alina yang sudah terbaring meringkuk di bawahnya tak berdaya.

"Pegang itu!"

Alina yang melihat seseorang mengulurkan ujung dasi kepadanya dengan gugup mendongak keatas.

Matanya yang berkabut samar-samar menangkap wajah yang menatapnya lembut membawa rasa aman.

Perlahan Alina mengambil ujung dasi tersebut.

Mendadak dasi itu ditarik dari tangannya, refleks Alina memegang ujung dasi itu lebih erat.

"Lihat!" Kata Zayyad sembari menunjuk wajahnya.

"Kau tidak sendirian di sini, tapi ada aku disini bersama mu"

"Hah..hah..." Benar! Ada pria itu di sini.

"Lupakan rasa takut mu, kita hadapi ini bersama, oke?" Kata Zayyad lagi sambil memiringkan wajahnya.

"Hah..hah.." Dengan nafas yang tersendat-sendat, Alina perlahan mengangguk.

"Maaf, aku tidak dapat menyentuh mu! Aku hanya dapat melakukan ini, ku harap kau dapat memakluminya"

"I-ya! J-jangan lepas" Bibir bergetar Alina gugup dan takut. Sedikit demi sedikit oksigen di sekitarnya mulai terkumpul kembali.

"Ya! Terus pegang itu dan aku tidak akan melepasnya" Ucap Zayyad. Bibirnya melengkung keatas, tersenyum tulus.

Alina memegang erat ujung dasi itu dan begitupun Zayyad yang memegang ujung lainnya sambil berdiri.

Dasi tersebut akhirnya membentuk jembatan kecil antar mereka yang walaupun terlihat berjarak tapi terasa dekat.

___

Di sisi lain, Bakri berkali-kali menghubungi bosnya dengan cemas. Di lantai bawah sudah di penuhi oleh para wartawan dan awak media. Kedatangan mereka bertujuan untuk meliput istri dari seorang CEO PT. Jaya Sejahtera.

Rasanya ini ganjil. Mereka tidak mungkin meliput hal seperti ini tanpa persetujuan dari perusahaan dulu. Apa lagi mereka cukup berani melangkah masuk ke dalam perusahaan sampai mendorong security.

Seseorang pasti sudah bekerja sangat keras untuk merencanakan hal ini.

"Pak! Kenapa ponsel anda tidak aktif di situasi genting seperti ini" Bakri dengan tak berdaya memasukkan ponselnya kedalam saku jas.

Lalu Bakri melihat para wartawan itu tampak semakin tidak sabar, mereka terus mempertanyakan di mana Zayyad dan istrinya. Mereka sangat ingin mengklarifikasi apakah pernikahan itu adalah benar atau hanya settingan.

"Terus kawal mereka"

"Jangan biarkan seorang pun sampai menerobos masuk kedalam" Teriak Bakri pada semua bagian keamanan perusahaan.

"Pak, apakah anda sekretaris pribadi pak Zayyad?"

"Kenapa anda melarang kami untuk meliput?"

"Apakah pernikahan yang di umumkan beberapa hari lalu oleh pemimpin besar PT Jaya Sejahtera hanyalah settingan?"

"Apakah itu dilakukan untuk menutupi ketidaknormalan pak Zayyad seperti yang di isukan?"

Satu persatu pertanyaan meluncur bagai hujan peluru yang tak berhenti. Bakri tidak tau harus menanggapinya seperti apa. Tapi setelah memperhatikan beberapa detil dari seragam para reporter, sepertinya itu tidak asing.

Bukankah itu adalah seragam pekerja dari beberapa media yang ia tuntut beberapa hari lalu atas pencemaran nama baik?

Bakri menertawakan situasi itu dalam hati. 'Jadi seseorang sudah memancing mereka semua untuk menjalankan misi balas dendam terhadap bosnya?'

"Pak, terjadi pemadaman listrik! Saya tidak dapat menggunakan lift untuk keruangan pak Zayyad" Lapor salah seorang yang baru saja Bakri suruh untuk pergi keruangan Zayyad. Bakri menyuruh seseorang untuk melapor kekacauan yang ada di bawah pada bosnya. Karena bakri tidak bisa pergi meninggalkan situasi ini begitu saja.

"Apa?"

'Aku semakin yakin.'

'Ada yang tidak beres dengan semua ini!'