Bila hati sudah terpaku tertancam mati di sebuah dinding ataupun sebuah kayu, akan sulit untuk mencabut memisahkan keduanya, meski ditarik dengan sekuat tenaga, meski dibantu mesin terbaik dunia, tidak akan ada yang mampu.
Ayahku sudah mengetahui itu, tapi dia tetap ingin mencabut tubuhku dari sana, tak peduli hatiku sakit ataupun sedih, ayahku tetaplah orang yang egois seperti saat saat ini yang menyuruhku datang ketempat dimana akan ada seseorang yang coba dia perkenalkan, berharap aku akan tercabut, walaupun dia tau bahwa tidak akan ada yang mampu.
"Sebenarnya siapa yang kita tunggu ?" tanyaku yang entah sudah keberapa kali.
Jika tahu akan seperti ini takkan sudi aku meninggalkan meja kerja untuk pergi dan duduk disini, menunggu orang yang bahkan tidak tahu kapan akan datang. Sial!
"Sabar sedikit Rafan, sebentar lagi mungkin dia datang"
Aku tersenyum dingin. "Mungkin ? berarti ada kemungkinan dia tidak datang"
Padahal ini sudah kesekian kali Dia mencoba melakukan hal ini, mejodoh-jodohkan aku dengan putri kerabat, putri rekan bisnis, bahkan putri tunggal pewaris kekayaan, dan dia pun tahu kalau semua tidak ada yang berhasil. Sekarang, dia mencoba melakukannya lagi, aku hanya penasaran kali ini putri siapa lagi yang coba dia sodorkan padaku.
"Kali ini siapa lagi ? Ternyata belum nyerah juga" ledek Rafan pada sang ayah yang kini langsung menghadiahi tatapan sinis padanya.
Rafan memulai tingkah asli yang dia miliki, dengan cuek melipat kaki, bersandar di bangku, tangan kanannya kini memegang gelas kaca berisi anggur dan langsung menegak hingga tak bersisa.
"Selamat malam Pak Nareswara"
Nareswara seketika bangun dari duduk, menyambut kedatangan seorang pria tua yang terbalut jas mahal dengan kaca mata dan rambut yang sebagian sudah penuh dengan uban.
Rafan terpaksa ikut bangun seperti yang di lakukan sang ayah saat dia melihat lirikan ayahnya yang penuh ancaman. "Selamat malam, saya Rafan" ucap Rafan dengan senyum yang di paksakan, bersikap elegan penuh wibawa adalah hal palsu yang harus dimiliki setiap orang sukses untuk mencari relasi palsu yang bisa membuat mereka semakin sukses.
"Oh anda Rafan ? Salam kenal, saya Arbi dan ini anak saya Sandrina"
Pria tua itu mulai menggeser tubuhnya yang membuatku bisa melihat anak perempuan yang sedari tadi berdiri di belakangnya, oh jadi anak ini yang akan menjadi target ayahku selanjutnya. Tapi entah kenapa rasanya tidak asing melihat wajah perempuan di hadapanku ini.
"Sandrina"
"Iya, saya Rafan"
Kami berjabatan tangan saling memperkenalkan diri, kutatap lekat wajah gadis di hadapanku ini, sekelibat ingatan mulai muncul dalam otakku, berputar seperti fillm yang menampilkan bait-bait kejadian yang pernah aku alami.
Aku ingat Gadis ini… Dia Si Pemabuk!
Tapi sepertinya dia tidak ingat kejadian yang terjadi antara kami, buktinya dia sama sekali tidak mengenali wajahku, bahkan saat kami bertatapan sedekat ini gadis itu tidak menujukan ekspresi apapun, malah terkesan ketus dan acuh.
"Maaf" ucapku saat tidak sadar terus menggenggam tangannya, aku buru-buru melepaskan dan kembali duduk.
"Om selamat ulang tahun ya, ini kado buat om"
Baik aku dan Papah saling menatap, wajah kami sama-sama bingung saat gadis mengucapkan selamat ulang tahun lengkap dengan kado kecil yang dia bawa saat ini.
"Terimakasih Sandrina, silahkan duduk"
Pak Abizar sepertinya sudah membohongi gadis itu agar Dia mau datang malam ini, kasihan sekali.
***
Ulang tahun kok begini ?
Ini pertama kali aku melihat orang kaya ulang tahun sesepi ini, tidak ada tamu undangan yang memakai gaun mewah, tidak ada pesta, bahkan tidak ada kue ulang tahun yang seharusnya jadi poin utama, super duper aneh banget. Bahkan tadi saat aku mengucapkan ulang tahun, Om itu tampak kebingungan.
Apa jangan-jangan Papah lagi-lagi bohongin gue ?! Tadi siang sudah cukup shock karena tiba-tiba di tunjuk jadi ketua Yayasan, awas aja kalau sekarang Papah bohongin gue lagi!
"Sandrina masih kuliah atau sudah lulus ?"
"Hmmm… Masih kuliah om" jawab Sandrina gugup.
"Semester berapa ?" Tanyanya lagi.
"Semester enam, om" jawabku pelan.
"Oh… Sandrina sekarang umurnya sekarang ?"
"Dua puluh empat, om"
"Sudah punya pacar ?"
Meski ragu dan agak aneh tapi aku menjawab dengan gelengan kaku dan senyum tipis dan sepertinya dia gak akan mau pacaran lagi, apalagi untuk saat ini karena cowok brengsek yang menghianati membuat diriku jadi trauma.
'Tapi kenapa gue ngerasa om Nareswara kayak lagi introgasi gue ya ? Dari tadi nanya melulu.'
"Wah Pak Abizar beruntung sekali punya putri yang sangat cantik seperti Sandrina"
Aku melihat Papah tertawa dengan ucapan om Nareswara, yang membuatku semakin tertunduk malu dan mual di saat yang bersamaan.
"Sebaiknya kita makan dulu sebelum menjadi dingin, mohon maaf apabila tidak sesuai dengan selera tapi saya memesan menu terbaik khusus untuk kalian"
Beberapa pelayan pun kembali masuk untuk menyajikan makanan, meja bundar yang elegant ini pun perlahan-lahan menjadi penuh dengan berbagai macam menu makanan yang di sajikan dengan cantik juga mengunggah selera.
"Kenapa tidak ajak keluarga anda sekalian, hanya datang berdua saja ?" tanya Abizar melihat kearah Nareswara dan Rafan secara bergantian.
Iya, ini juga pertanyaan yang sedaritadi ada di benakku, orang ulang tahun tapi gak ada satupun keluarga yang datang untuk merayakan bersama.
"Saya pikir ini adalah pertemuan yang serius" lanjut Abizar namun raut wajah pria itu berubah datar dengan senyum misterius.
Rafan dan Nareswara hanya saling menatap. "I.. iya mungkin lain kali akan saya bawa" jawab Nareswara dengan senyum kikuk.
Aku tertawa dalam hati, rasanya puas sekali melihat wajah ayahku yang salah tingkah bagai orang bodoh yang tertangkap basah sedang mencoba membodohi orang pintar di depannya
"Hmmm... saya permisi ke toilet dulu" ucap Sandrina memohon ijin, gadis itu berjalan keluar dari sana.
Aku berjalan keluar dari ruangan itu, berada di dalam ruangan itu lama-lama membuatku pusing dan rasanya ingin marah karena merasa di tipu oleh ayahku sendiri.
Setua apa umur gue sampai bokap gue suka banget jodoh-jodohin gue ?!
Entah ini sudah keberapa kali dalam setahun bokap gue ngenalin pria untuk di jodohin, dan rata-rata mereka ada adalah anak dari rekan bisnis atau keluarga jauh. Gila kan!
Sampai di dalam toilet, aku berdiri tepat di depan kaca besar, memperhatikan wajahku yang sudah tegang seperti kanebo kering, beruntuh saat ini toilet sepi.
"Kampret!" dumel Sandrina begitu menyalakan air lalu mencuci tangan di sebuah westafel. "Liat aja nanti. Begitu sampai rumah gue bakal protes!"
Hari ini adalah hari yang paling melelahkan dari hari sebelumnya, banyak kejutan yang aku dapatkan mulai dari tiba-tiba di suruh kerja, terus di tunjuk jadi ketua yayasan, sekarang harus di jodohkan pula.
Ulang tahun rekan kerja ?! Huft... Harusnya gue emang gak usah percaya sama omong kosong bokap gue yang pinter ngibul itu.
"Oke, calm down Sandrina, tenang, lo harus tenang" ucapku sambil menarik nafas panjang lalu menghembuskannya perlahan.
Aku menatap cermin yang memantulkan diriku, menatap lekat wajah dan riasanku yang masih rapih, walau enggan rasanya masuk kembali kedalam ruangan itu, tapi aku harus menghormati ayahku, setidaknya tidak mempermalukan dengan pergi atau melarikan diri dari sini.
"Kenapa kamu datang kesini ?"
Aku menatap Rafan yang tiba-tiba sudah berdiri di depan toilet, pria itu menatapku lekat dengan wajah datar tanpa ekspresi. Mau apa dia berdiri di sana ?!
"Apa ?"
"Kenapa kamu datang kesini ?" Tanyanya lagi.
"Saya... Saya diajak ayah saya untuk datang ke acara ulang tahun Om Nareswara" sahutku dan entah kenapa itu malah membuatnya tersenyum dingin.
Dia menggeleng seperti tak habis pikir "kamu gak ngerasa aneh ?" Tanya Rafan.
Tentu saja, aku bahkan sedari tadi terus bertanya-tanya, apa pria ini juga merasakan hal yang sama dengan apa yang aku rasakan, aku rasa iya.
Aku mengangguk pelan "sejujurnya iya" jawabku singkat dengan membalas tatapan pria itu.
"Kenapa tidak coba bicara atau bertanya terlebih dahulu ?"
"Memangnya ada apa ?" sahutku pelan, jantungku mulai berdetak sedikit lebih kencang.
"Sandrina... " dia memanggilku dengan tatapan yang teramat serius, membuatku jadi gugup ketika membalas tatapan dingin itu.
"Kita berdua sedang di jodohin" Rafan bicara begitu tenang, tapi itu sukses membuatku diam membeku, aku sudah menduga itu tapi entah kenapa saat pria itu menegaskan lagi dengan kata-kata dan tatapan mata, aku seperti tak bisa bergerak, hanya diam dengan tatapan melebar dan jantung yang berdetak semakin kencang.
"Mereka sengaja kesini, bukan karena ulang tahun orang tua saya, tapi agar kamu bisa bertemu saya dan saling mengenal satu sama lain"
Kami berdua saling menatap satu sama lain, aku masih mencoba mencerna ucapannya yang membuat semua motif ini jadi terlihat semakin jelas, aku yang sedaritadi hanya bisa menduga-duga seolah tengah disadarkan.
"Tapi, saya..."
"Iya, saya paham kamu pasti kaget banget"
Sebenarnya tidak terlalu kaget, tapi tatapan pria bernama Rafan ini yang ngebuat Gue jadi gugup dan takut, entah kenapa.
"Saya gak siap kalau harus menikah" Rafan bicara seperti sedang mengakui kelemannya.
Sama! Jangankan nikah, kepikiran buat pacaran aja enggak.
"Untuk itu saya minta tolong sama kamu"
"Maksud... Anda ?"
"Tolong tolak semuanya, semua hal yang berkaitan dengan perjodohan ini, saya mau kamu tolak itu" sambung Rafan tegas tanpa bantahan.
"Itu saja, Saya Permisi'
Setelah mengatakan itu Rafan berjalan melewatiku, meninggalkan Aku yang masih berdiri mematung, masih mencerna semua omongan pria itu.
Aku menatap punggung bidang Rafan yang berjalan semakin menjauh. "Tanpa Lo minta, gua juga akan tolak semuanya, Bapak Rafan!" ucap Sandrina takkalah tegas.
Aku kesal, entah kenapa. Rasanya sebal saat melihat wajah serius yang mampu membuat aku jadi seperti orang bodoh yang tidak bisa berkutik, apalagi dengan orang yang baru aku kenal. Bagaimana bisa dia membuat aku jadi gugup dan takut di saat yang bersamaan hanya karena saling bertatapan dan ini kedua kalinya setelah si Bangsat Ricko yang membuatku jadi bodoh.
***
Kembali ke ruang makan, Nareswara dan Abizar masih berada di tempat duduk mereka sambil memakan hidangan mewah itu sampai sebuah suara mengintrupsi mereka untuk berhenti melakukan kegiatannya dan melihat kearah pintu yang terbuka menampilkan Rafan yang berdiri tegap menatap mereka berdua.
"Saya sudah selesai, permisi..."
"Rafan. Apa-apaan kamu ?! Duduk kembali!" titah Nareswara yang langsung berdiri dari duduk, menatap Rafan dengan penuh peringatan.
"Maaf Om, tapi saya sudah selesai, Sandrina yang akan menjelaskan semuanya"
"Apa ? Sandrina ? Apa maksudnya ?"
"Papah..."
Gadis itu pun datang, memangil ayahnya yang masih bingung dengan suasana saat ini. "Apa maksudnya ini Sandrina ?" tanya Abizar.
"Karena Sandrina sudah disini, maka saya permisi, selamat malam!" ucap Rafan menyelak, tanpa persetujuan laki-laki itu langsung mengambil ponselnya yang tergeletak diatas meja dan pergi begitu saja.
"Sandrina jawab!" bentak Abizar dengan raut wajah yang memerah, sementara sang putri hanya diam dengan tubuh tegap dan tatapan lurus menatap langsung mata sang ayah.
"Papah, aku menolak perjodohan ini" tegas Sandrina.
"Apa-apaan ini Sandrina !? Memalukan!"
"Sandrina jangan terlalu cepat mengambil keputusan, kalian bahkan belum mengenal lebih jauh!" selak Nareswara yang terlihat begitu tidak terima.
"Maaf Om, tapi..."
"Sandrina kamu keterlaluan, kamu sengaja mau bikin Papah malu, Hah ?!" teriak Abizar tepat di depan gadis itu, menarik tangannya dan mencengkram kuat-kuat.
Gadis itu membalas tatapan sang ayah, menepis tangannya. "Aku udah bilang berkali-kali kan kalau aku gak mau di jodohin!"
***
Rafan menyetir mobil dengan kecepatan diatas rata-rata, membelah aspal jalanan yang lengang tanpa hambatan, waktu terus berjalan yang hampir menunjukkan tengah malam.
"Halo Kris, lo dimana ?"
Mata terus menatap depan yang menampilkan jalan serta lampu-lampu penerangan, menyimak suara Kris lewat ponsel yang sengaja di loudspeaker.
"Gua ? ya gua di tempat biasalah, kenapa ? Btw gimana tuh pertemuan malam ini, lancar ? Cantik gak ceweknya ?"
"Gua kesana sekarang!"
"Hah ? Okelah, gua tunggu."
Selepasnya Rafan mematikan sambungan panggilan itu secara sepihak, demi melepaskan stress yang saat ini dia rasakan, Rafan menancap gas lebih dalam hingga membuat mobil sport itu berpacu lebih kencang.
**
Garis itu tidak bisa di tentukan oleh ucapan orang, perintah orang tua ataupun Ramalan murahan.
Rasanya sang sialan untuk jika ada orang yang Sok Tau dan ingin ikut campur dalam hidup orang lain.
Aku bahkan masih menata hati, mencoba untuk melupakan walaupun tindakan untuk menemukannya masih giat aku lakukan.
Sejak satu tahun yang lalu aku sudah memutuskan, apapun yang kulakukan semuanya adalah atas dasar kehendakku.
Siapapun mereka, Tidak akan kubiarkan mengatur-ngatur hidupku lagi.