webnovel

I have to Love You

WARNING! ADEGAN KERAS DAN DEWASA Emira Luciana, seorang gadis cantik dan jago bela diri itu, harus melarikan diri bersama sang ibu ke luar kota. Anak dari anggota mafia gelap melibatkan dirinya untuk bisnis mereka. Emira dan sang ibu tinggal di kota Jakarta. Dengan aset ibunya serta bantuan dari sang paman. Emira, mendapatkan pendidikan tinggi. Gadis tersebut bercita-cita menjadi seorang Polisi, namun ditentang keras oleh ibunya. Emira pun dipaksa oleh ibunya untuk bekerja di perusahaan stasiun televisi. Hingga ia merubah impiannya menjadi seorang Reporter. Serta memiliki impian menikah di bawah pohon Sakura. Akan tetapi, sang ayah mulai mengintai. Bermula dari sana, banyak misteri mengerikan datang ke dalam hidup Emira. Pekerjaan itu, mempertemukan Emira dengan sosok pria dingin. Jebran--CEO muda dan berkarya, membuat Emira terpikat kepadanya. Kelucuan, hingga sikap saling bertengkar itu terus berlanjut. Akankah Emira dapat meraih cinta itu? Mampukah Emira keluar dari segala misteri yang terus datang ke dalam hidupnya itu? Cover by : JIEUN DESIGN Follow my ig : @Rossy_stories Fb : Rossy

Rossystories · Thành thị
Không đủ số lượng người đọc
308 Chs

Misteri kematian si wanita.

Ruang sempit, kursi, meja kaca pecah, darah, bau amis. Semua yang tercium dan terlihat tampak begitu mengerikan. Aku sama sekali tak takut bahkan lebih kebal dari biasanya.

Sedangkan, Arga temanku menarik bahuku dengan pelan.

"Emira," panggilnya.

Aku hanya menoleh miring, sembari menatap sekeliling ruangan. Fredi menatapku dengan anggukan pelan satu kali.

Aku menoleh tepat di hadapan Arga lalu berkata, "Kenapa?"

"Kenapa kita ada di sini?" tanya Arga melemahkan nada bicara.

Kurasa anak ini sedikit takut dan gemetar. Aku dengan santai menyodorkan catatan dengan bertuliskan nama email dan alamat rumah. Arga terpelongo memandang tulisan itu. Dengan kaget matanya memelotot tajam.

"Apa kau mengenalnya?" sambung Fredi ikut melihat catatan itu.

Wajahku tak menampilkan rasa takut, apalagi gemetar.

Mataku begitu berkaca-kaca dengan kuatnya keimananku saat ini. Wajahku begitu serius tanpa adanya senyuman.

"Terakhir dia mengirimkan pesan untukku kemarin sore. Aku tidak membuka email semenjak akhir pekan dua hari yang lalu."

"Aku baru saja melihat pagi ini. Entah kenapa aku cepat-cepat datang ke sini untuk melihat apa yang akan terjadi? Tapi, semua sudah terlambat," ungkapku dengan nada datar.

"Emira, apa kau bisa memberikan keterangan ini ke kantorku?" ajak Fredi.

Aku menoleh ke arah sahabatku itu. Jika dia sahabat Dilan yang sangat dekat, berarti dia juga bisa kuandalkan.

"Ayo! Izinkan aku bergabung bersama kalian untuk berita ini," pintaku dengan tatapan mantap.

Aku mulai mengikuti langkah Fredi meninggalkan ruangan itu. Sebuah pembunuhan secara tragis telah terpampang jelas di wajahku. Arga terus mengikuti langkah kami dengan penuh hati-hati.

"Kontak mobilku terjatuh di dalam ruangan itu," ucapku memeriksa saku celana.

"Hah!" sahut Arga.

"Tunggu aku di sini!" sebutku pada rekanku satu ini.

Aku memberanikan diri melangkah kembali pada ruangan 313. Tiba-tiba saja mayat wanita itu telah dibawa oleh tim medis menuju mobil Ambulans.

Aku pun segera pergi ke dalam ruangan itu. Tampak dari dalam sudah sedikit sunyi. Aku mencari kunci mobilku yang terjatuh.

Saat diriku mengingat sesuatu, aku pun tak sengaja berjumpa dengan kunci yang terpampang jelas di lantai dekat jendela.

"Ini dia!" sebutku.

Aku mengambilnya dengan berjongkok, lalu beranjak pelan sambil memperhatikan seluruh isi ruangan. Sebuah foto berdiri tegak di meja kecil.

Aku meraih foto itu dengan perlahan sembari memperhatikan semua orang yang ada di dalam foto tersebut.

"Emira," panggil Fredi.

Sontak aku menaruhnya kembali ke atas meja.

"Yah," sahutku.

"Sudah ketemu?" tanya Fredi.

"Sudah," singkatku.

Langkahku mulai berbalik. Namun, tubuhku seketika mengingat keanehan foto itu. Aku pun segera meraih foto itu dengan cekatan. Aku merampasnya untuk mencari tahu siapa wanita itu?

"Kenapa dia bisa mengenalku? Aneh!" pikirku.

Di depan mobil aku berpapasan dengan seorang pria yang hanya berdiri melamun. Arga—juru kamera itu akhirnya tersadar akibat kedatanganku.

"Arga," panggilku.

"Ah! Akhirnya kau kembali," keluh Arga.

Aku melemparkan kunci mobil ke arahnya, dengan cekatan ia menyambutnya.

"Kau yang menyetir!" pintaku sembari membuka pintu di samping kemudi.

"Ah!" ucap Arga bingung.

Di dalam mobil. Aku dan Arga hanya terdiam bisu. Sesekali aku memandang kaca jendela mobil.

Tak habis pikir, dengan apa yang sudah terjadi? Kami kembali ke tempat asal kami bekerja. Pandanganku kacau, diam dan hanya fokus pada jalanan saja.

Seseorang menghalangi jalanku, siapakah orang ini? Pandanganku hanya menurun ke bawah lantai. Saat kakiku mulai ke kiri, ia mengikutiku secara beringinan.

"Hei!" ucap pria itu.

Aku mengangkat daguku ke tepat wajahnya. Ternyata! Dia adalah bosku sendiri. Jebran.

"Pak," sapaku menyeringai.

"Dari mana saja kau tadi?!" tanya Jebran.

"Aku baru saja mendapat kabar bahwa ada pembunuhan di lokasi tak jauh dari kantor kita," ungkapku dengan santai.

"Siapa yang menyuruhmu pergi ke sana?" Jebran menampakkan wajah seriusnya.

"Aku sendiri yang ingin melakukannya," tegasku.

"Tidak ada yang menyuruhmu pergi ke tempat pembunuhan!" bentak Jebran.

Aku menjelengar saat ia membentak diriku di muka umum. Aku mulai memasang gaya melawan kata di saat yang sama.

"Hei, apa maumu? Selama ini aku bekerja, tidak ada yang melarangku pergi ke sana ke mari. Tapi, kenapa kau menolak berita ini?!" berangku melawan kata-kata bosku sendiri.

Aku tak memperdulikan apapun yang akan terjadi.

"Tapi, kau itu adalah milik perusahaan ini. Tidak ada yang boleh sembarangan meliput berita yang tidak-tidak!" Jebran memperkuat ucapannya.

Namun, Arga mulai memasuki zona tidak nyaman itu.

"Pak, kami tidak meliputnya. Kurasa kita harus bersama-sama membantu berita ini. Dia mengirimkan pesan singkat kepada Emira. Dan kami pun pergi untuk melihat, kami belum meliputnya," bela Arga.

Jebran kembali menatapku dengan tatapan tajam, ketika Arga bersuara untuk merelai semua ini.

Jebran akhirnya mengalah dari kata-kata Arga. Sedangkan, aku hanya terpaku diam di depan para pekerja lainnya.

"Kau tidak apa-apa?" tanya Arga.

"Tidak, aku baik-baik saja."

Aku memaksa jalanku menuju meja kerjaku. Saat ini aku mulai ragu untuk mengetahui apa yang terjadi dengan wanita itu.

Sebuah foto terlihat asing sudah berada di tanganku. Kubalikkan foto tersebut, terlihat sebuah tulisan terukir kecil berinisial di dalamnya, 'MD'.

"MD?" ucapku.

Kuperhatikan satu-persatu orang yang ada di dalam foto. Namun, mataku berhenti pada satu orang yang ada di dalamnya. Sekitar lima orang berdiri dengan senyumnya.

Di tengahnya pasti si wanita itu, sedangkan di bagian ujung sisi kanan. Seorang pria yang tidak begitu asing.

"Ha!?" sebutku.

Aku mulai mengingat wajah pria sebaya ayahnya itu, "Kira-kira di mana aku pernah melihatnya?"

Aku berusaha mengingat seluruh memoriku. Semua ingatanku terhadap ayah beserta kawan-kawannya. Bahkan paman beserta kawan-kawannya.

Aku mulai putus asa, ketika pikiranku tidak bisa mengingat orang ini.

"Tapi, aku yakin! Pasti aku mengenal orang ini," gerutuku mulai menghempaskan kepalaku di atas meja.

"Hah!" Aku terperanjak tiba-tiba.

Aku pun meraih foto itu dengan kuat dan berlari ke arah ruangan Jebran.

Aku berhenti tepat di pintu itu dengan segala keberanianku. Aku memberanikan diri untuk mengetuk sambil merunduk. Tiba-tiba, tak kusadarkan pintu sudah terbuka, sedangkan aku mengetuknya dengan paksa. Sambutan tanganku diraih oleh seorang pria.

Wajahku terangkat dengan kesal saat pintu itu sudah terbuka dan malah tanganku diraih secara kuat.

"He he, Pak!" sapaku kepada Jebran yang hendak keluar.

Ia masih memegang genggaman tanganku lalu menghempaskannya sekali. Wajahku seketika luntur dan bersaing padanya.

"Kau?!" gerutuku.

"Hei, apa kau tidak melihat pintu ini sudah terbuka?!" geram Jebran.

"Ma-maafkan aku, Pak. Tapi, aku ingin meminta persetujuan darimu. Izinkan aku meliput kematian wanita ini!" pintaku memelas.

"Apa?!" ucapnya.

"Aku mohon! Sepertinya aku mengenal orang ini. Tapi, aku masih butuh waktu untuk mengingatnya," aduku sambil memperlihatkan foto itu kepada Jebran.

"Hah! Dari mana kau mendapatkannya?" tanya Jebran.

"Aku butuh bantuanmu!" pintaku lirih.

Jebran segera meraih tanganku memasuki ruangan, saat seseorang mendekati ruangannya.

Jebran mengunci rapat-rapat dengan segala kekesalannya.

Kenapa wajahku sedikit memucat ketika ia mendorong tubuhku ke dalam ruangannya? Ada apa ini? Kenapa dia melakukan ini? Pikirku sedikit kacau oleh pria dingin ini.

Jebran membalikkan tubuhnya lalu mendekati diriku dengan tatapan wajah menyala-nyala.

Anda akan menemukan kejutan di bab berikutnya.

Kira-kira apa yang akan terjadi?

Terus ikuti kisah menariknya.

Tambahkan ke raknya sekarang juga!

Review ceritanya dan undi hadiahnya.

Follow juga ig-nya : @rossy_stories

Terima kasih karena Anda telah meluangkan waktu demi sederet kata-kata penghibur dari si penulis.

Sampai ketemu di kolom review.