Dylan meraih tangan Kirana—menggandengnya seraya tersenyum saat keluar dari apartemen. Dalam diam ia memperhatikan tubuh gadis itu yang begitu kecil jika disandingkan dengan dirinya. Rambutnya sedikit lebih panjang ketimbang saat pertama kali bertemu. Dylan bisa merasakan bibirnya tersenyum tanpa henti, hingga gadis itu sadar dirinya memperhatikannya dan Kirana melemparkan senyumannya yang paling manis. Gadis itu tidak menyadari bahwa kehadirannya begitu berarti untuk Dylan.
"Apa tante Elisa belum balik?"
"Coba panggil sekali lagi."
Tidak lama setelah Kirana mencoba memanggil kembali tetangganya, terdengar jawaban dari dalam. "Masuk aja!"
Dylan mengikuti langkah gadis itu dari belakang dan memilih menunggu di ruang tamu yang ruangannya tidak sesempit apartemen Kirana, walaupun masih jauh lebih kecil dibandingkan apartemen miliknya. Tapi sejak pertama masuk, mata Dylan tidak teralihkan dari benda cukup besar yang memakan tempat di ruangan tamu.
Piano, Dylan menyingkirkan kain yang menutupinya dan mengusap lembut dengan jemarinya, tidak ada sebutir debu pun yang menempel. Benda itu dirawat dengan sangat baik. Matanya menerawang menembus kenangan di masa yang lalu; gambaran masa kecilnya−ibunya sering memainkan sebuah lagu dengan piano kesayangannya. Mereka bahkan punya lagu rahasia, 'pelangi kecil'.
"Ini lagu kita, oke?" kata-kata ibunya kembali terngiang di telinganya. Dengan gerakan lembut ia menarik kursi dan jari-jarinya bersiap menari di atas tuts putih dan hitam yang berjejer sesuai nada mereka.
Dylan memejamkan matanya dan jarinya mulai menekan satu per satu tuts piano tersebut hingga menimbulkan irama merdu.
Dylan marah pada dirinya karena irama lagu ini tidak pernah bisa hilang dalam ingatannya, meski ia mencoba melupakannya. Bahkan di dalam tidurnya ia selalu memimpikannya; ia melihat ibunya duduk memainkan piano dan dirinya sendiri bermain disekitar ibunya sambil tertawa riang. Meski mimpi itu tidak pernah berakhir bahagia. Tiba-tiba semuanya menjadi gelap dan dalam sekejap ia hanya seorang diri sambil menangis. Ah, Dylan benci mimpi buruk itu.
Dylan menghentikan permainannya. Piano ini persis seperti yang ada dalam mimpinya. Ia mengerjapkan matanya dua kali saat melihat goresan kecil bertuliskan sebuah kalimat di sudut piano tersebut. Tubuhnya gemetar dan pandangannya mulai berkabut karena air mata mulai menggenangi pelupuk matanya.
Dylan sayang mama...
___
Kirana langsung menuju dapur menghampiri tetangganya yang tengah sibuk, dengan cucian piringnya. "Kemarin terima kasih sekali tante, aku nggak tahu harus bagaimana."
"Sekarang Dylan sudah baikan belum?"
Kirana mengangguk sambil tersenyum lebar, "Aku juga mau kasih kejutan buat tante."
"Apaan?" tante Elisa menyusun piring-piring bersih ke rak dan membiarkan Kirana terus mengikutinya kesana kemari, tiba-tiba Elisa menghentikan kegiatannya. Berdiri mematung saat mendengar alunan piano di apartemennya.
"Nah!" Kirana langsung merangkul lengan tante Elisa. "Itu kejutannya, Dylan disini loh!"
"Pelangi kecil..." ucap Elisa lirih.
"Mm?" Kirana menautkan kedua alisnya. "Tante kenapa? Ayo!" tanpa persetujuan Kirana langsung menarik tante Elisa menuju ruang tamu.
"Dylan, ini tante Elisa yang..." ucap Kirana sambil menatap Dylan dengan tatapan terheran-heran. Laki-laki itu terduduk dengan punggung lesu memandangi piano sambil sesengukan. "Dylan?" Tanya Kirana mencoba mendekati laki-laki itu, tapi Dylan menoleh ke arahnya dan melempar pandangannya ke arah Elisa.
"Dia sudah lama mati..." kata Dylan lirih dan suaranya parau. "Wanita itu sudah lama mati!" bentaknya. Kirana bisa melihat kepedihan, kemarahan, rasa sakit, semua tertuang jadi satu dalam tatapan laki-laki itu. Tanpa penjelasan Dylan langsung beranjak pergi meninggalkan mereka berdua yang masih berdiri mematung.
"Dylan tunggu!" panggil Kirana mencoba mengejar laki-laki itu, tapi langkahnya terhenti saat melihat tante Elisa menangis. "Loh, tante nggak apa-apa?" masih dengan keadaan bingung, ia merangkul tante Elisa dan menyuruhnya untuk duduk di sofa yang ia yakin hanya pernah diduduki olehnya dan diluar hal tidak penting itu puluhan pertanyaan mulai berseliweran di kepala gadis itu.
Kirana mengambilkan segelas air putih dan meletakkannya di atas meja. Ia memegang tangan tante Elisa yang gemetar karena tangis yang Kirana tidak mengerti. "Tante," Kirana mengusap-ngusap bahu tante Elisa dengan lembut supaya membuatnya lebih tenang.
"Sejak hari itu tante sudah dianggap mati," ucap tante Elisa lebih tenang. Kirana bisa melihat kegelisahan di raut wajahnya yang selama ini terlihat begitu kesepian. "Tante memang pantas dia benci selama hidupnya."
Kirana bersandar di balik pintu apartemennya, menengadahkan kepalanya dan berusaha untuk tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Ia mengerjapkan matanya dua kali, mengingat kejadian beberapa hari yang lalu; pria berumur yang datang bersama tante Elisa malam itu tentu saja ia pernah melihatnya, di rumah Dylan, dalam sebuah figura di meja kerja Dylan.
Jadi foto anak laki-laki yang ada di dompetnya itu—sekarang semua jadi masuk akal baginya, mengapa tante Elisa begitu menggemari sosok Dylan.
Tubuh Kirana merosot pelan, hingga ia duduk berjongkok di lantai. Ia bisa mencium lututnya sendiri dengan wajahnya. Ia tertunduk dan menempelkan keningnya di kedua lututnya. Betapa sakit dan pedihnya perasaan laki-laki itu. Bagaimana bisa dia bertahan dalam kesakitan ini disetiap langkah harinya? Bagaimana bisa dia menelan pil pahit ini sendirian? Apa yang bisa aku lakukan supaya kamu bahagia?
Isakan kecil mulai terdengar dari bibir Kirana, ia terus menangis selama beberapa saat. Dengan perlahan ia mengangkat kepala, matanya menyapu apartemennya yang sunyi lalu beranjak dari tempatnya berjongkok. Ia berjalan dengan lunglai ke sofa dan meringkuk disana. Kali ini ia memandang segala sesuatunya dari sisi yang berbeda. Drama kehidupan itu sulit dipahami untuknya.
Dengan gerakan lambat Kirana merogoh ponselnya, menekan nomor orang yang paling bisa memahami dan menyayanginya. "Bulek... aku harus bagaimana? Bulek aku mau menolongnya... supaya dia bahagia..." Kirana terus bicara sambil terisak dan tidak terlalu mengerti apa yang bibinya bicarakan di ujung telepon. "Iya... aku cinta dia," setelah itu hubungan komunikasi mereka terputus, baterai ponsel Kirana habis. Sambil meringkuk Kirana terus menangis hingga ia jatuh tertidur.
___
Dada Dylan terasa sakit dan nyeri, tenggorokannya tercekat. Sesekali ia mengusap dengan kasar air matanya yang tidak kuasa ia tahan. Ia merasa begitu mudahnya dibodohi. "Sial! Sial! Sial! Brengsek!" Dylan berteriak sambil menghentak-hentakkan kemudi mobil dengan kepalan tangannya.
Ada dua perasaan yang berkecamuk didalam hatinya saat mengetahui wanita itu masih hidup, antara sedih dan marah semua saling tumpang tindih. Sedih karena selama ini dia merasa hidup seorang diri, sedih hidupnya selalu dalam penyesalan karena menganggapnya benar-benar tidak ada, sedih karena di dalam hatinya yang paling dalam merasa bersyukur wanita itu masih hidup. Marah karena wanita itu tidak pernah mencarinya dan mengetahui bahwa wanita itu benar-benar tidak menginginkan dirinya. Wanita yang selalu ia panggil mama dalam mimpinya dan paling membuatnya dirinya marah karena ia tidak pernah bisa membencinya meski ingin.
Dylan meminggirkan mobilnya di jalur lambat, ia menempelkan keningnya di kemudi−mulai menangis sejadi-jadinya seperti anak kecil. Ia mengepalkan tangannya memukul-mukul dadanya yang terasa sesak dan sakit.
Dylan mengangkat kepalanya , tatapannya jauh lurus ke depan, nafasnya memburu. Wajahnya langsung memanas dipenuhi amarah. Ia memindahkan persneling dan langsung menginjak pedal gas.
Dylan membuka pintu gerbang dan menerobos masuk ke dalam rumah dengan kasar. Ia memanggil-manggil ayahnya dan memeriksa seisi rumah, amarahnya semakin memuncak ketika tahu ayahnya tidak ada.
Dylan berdiri di tengah-tengah ruang tamu yang luas, matanya memandang sekeliling ruangan. Dua orang asisten rumah tangga memperhantikannya dari jarak cukup jauh. Mereka tidak berani menegur atapun bicara. Dylan mengusap wajahnya dengan kasar, mendengus dengan kesal, menatap salah satu diantara mereka, "Kasih tahu sama dia, gue ada disini!"
Dengan nafas yang memburu Dylan meninggalkan rumah tersebut, sesaat baru melangkahkan kakinya keluar, ia melihat ayahnya baru turun dari mobil dan menyambutnya.
"Loh kamu main kemari nak?" tanya Subrata dengan wajah setengah senang sekaligus bingung.
"Aku mau ke kuburan wanita itu," pinta Dylan.
"Loh, kenapa? Bukannya kamu sudah tidak mau melihatnya, bahkan kuburannya?" jawab Subrata tertawa sambil mengajak Dylan masuk.
"Aku mau papa kasih tahu tempatnya, biar aku sendiri yang kesana!" Dylan menatap mata ayahnya menantang. Subrata menatap kembali mata anaknya yang terlihat penuh amarah. Ia tidak tahu apa yang sedang terjadi, tapi juga tidak bisa memberikan permintaan anaknya. "Kenapa?"
"Kamu tidak perlu menemuinya, dia sudah membuangmu," jawab Subrata tanpa menatap Dylan dan melewatinya masuk ke dalam rumah. "Tidak perlu juga menengok kuburannya karena−"
"—Dia belum mati kan?" Dylan melanjutkan perkataan Subrata sambil setengah tertawa setengah mendengus. Ia bisa melihat tatapan terkejut saat ayahnya menoleh padanya. "Aku ketemu sama dia hari ini,"
Bibir Subrata bergetar tidak sanggup berkata-kata, hanya tatapan sedih yang terpancar. Dylan meraih kedua bahu ayahnya yang masih tegap meski umurnya sudah tidak muda lagi. Ia sedikit mengguncangnya. "Papa tahu aku selama ini menjalani hidup seperti apa? Kenapa papa masih punya hati untuk melakukan semua ini?"
Subrata tidak sanggup menatap mata anaknya yang begitu terlihat menderita. Ia bisa merasakan dengus nafas anaknya yang memburu serta otot-otot tubuh anaknya bergetar karena amarah dan kesedihan. "Maafkan papa..."