webnovel

I’LL STAY (tamat)

"I'll have been falling in love with you today, tomorrow, and forever." Menerima perasaan yang sama dari orang yang disukai apalagi dia orang terkenal adalah suatu yang mustahil, tapi Kirana mendapatkan semua itu dalam sekejap. Tapi saat itu terjadi Kirana menyadari bahwa hatinya sudah dicuri oleh laki-laki yang sama sekali tidak dia harapkan.

Rufina_Dian · Teen
Not enough ratings
21 Chs

ENAM BELAS

Subrata berlari kecil melewati kerumunan orang yang lalu-lalang di sekitarnya. Ia meraih tangan Melisa, kekasih hatinya yang duduk di kantin kantor tempatnya bekerja. Dirinya merasa senang melihat kekasihnya rela menunggu dirinya untuk makan siang bersama di tempat yang tentunya sangat asing baginya. Lingkungan yang penuh dengan orang-orang dewasa bekerja. "Lama?"

"Nggak kok," Melisa tersenyum dan menyuruh Subrata untuk duduk di hadapannya.

"Nggak ada kelas ya?"

Melisa menggelengkan kepalanya sambil melemparkan senyumannya yang sangat manis. Ia terus memandangi kekasihnya yang begitu tampan dan gagah dalam balutan kemeja berwarna biru tua lengan panjang yang terlihat sibuk mebolak-balik buku menu. "Bagaimana tanggapan kedua orangtua kamu?"

Subrata mengangkat kedua bahunya. "Masih sama, mereka masih nggak menyetujui hubungan kita."

Kali ini Melisa tersenyum hingga deretan giginya yang rapi dan putih terlihat. "Aku bisa ngerti kok, karena memang aku nggak pantas bersanding dengan kamu. Keluarga aku bukan keluarga dari orang berada."

"Mel,"

"Iya," Melisa tersenyum. "Kerjaan?"

Subrata menutup buku menunya, melirik Melisa dengan tatapan menggoda. "Mau makan atau menginterogasi pacar kamu?"

"Keduanya,"

Subrata tersenyum malu, dirinya tidak menyangka bisa salah tingkah dengan gadis belia yang umurnya terpaut cukup jauh dengannya. "Kamu suka hadiah piano dariku nggak?"

"Suka banget! Itu kado termewah yang pernah aku dapat, terima kasih."

"Cuma itu?" Subrata tertawa senang. "Ya sudah kita makan dulu."

Mereka menghabiskan makan siang sambil mengobrol kesana kemari tanpa terasa jam istirahat sudah hampir habis. "Aku antar ke kampus atau ke rumah?" Tanya Subrata sambil melirik jam tangannya memastikan masih ada waktu untuk mengantarkan kekasihnya.

"Nggak usah,"

"Kenapa?" Subrata mengerutkan keningnya. Ia melihat ada sesuatu yang berbeda dari kekasihnya. Gadis itu lebih banyak tersenyum hari ini dan tidak banyak bicara. "Kamu kenapa? Ada masalah?"

Melisa menganggukkan kepalanya. "Aku mau berhenti kuliah,"

"Kenapa? Kan baru semester lima. Terus cita-cita kamu menjadi pianis gimana? Sirna dong?"

Melisa menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan berat. Suara riuh di sekitarnya dalam sekejap langsung terasa sunyi. Dirinya hanya bisa mendengar degupan jantungnya sendiri.

"Cerita dong sayang... aku jadi khawatir," kata Subrata.

"Aku hamil."

Subrata mengerjapkan matanya dua kali, mencoba memahami perkataan kekasihnya.

"Aku hamil Brata," kali ini suaranya lebih jelas, tapi ada keraguan dan ketakutan dari nada suaranya. Setelah mengatakannya ia memperhatikan Subrata yang diam terpaku menatapnya. Tidak ada satu kata pun yang keluar dari bibir laki-laki itu. Dia hanya diam terpaku. "Aku tahu, kita belum siap. Aku ngerti kok," katanya lirih sambil melemparkan senyuman kecut.

"Aku sudah siap," kata Subrata yakin. "Aku sudah siap bertanggung jawab!"

"Kamu yakin? Orangtua kamu?"

"Aku yakin dan aku akan meyakinkan orangtua-ku," Subrata meraih jemari Melisa menggenggamnya erat. "Nanti malam, aku akan datang ke rumahmu. Tunggu aku."

Hari itu matahari tenggelam terlalu cepat bagi Melisa, sesekali ia melihat keluar jendela mencari-cari tanda kedatangan Subrata. Dirinya tidak bisa tenang sedetik pun, sebentar-bentar matanya melihat jam dinding yang jarumnya terus berjalan melewati waktu yang telah dijanjikan laki-laki itu. Melisa masih belum memberitahukan orangtua-nya perihal kehamilannya. Ia ingin menghadapi masalah ini berdua dengan orang yang dia cintai, orang yang akan bertanggung jawab atas dirinya dan anak mereka kelak.

"Mel, ada apa sih? Dari tadi mondar-mandir terus?" tanya ibunya dengan tatapan penuh tanya. "Mau pergi ya sama Subrata?" Melisa hanya tersenyum kecut mendengar pertanyaan ibunya yang tidak pernah tahu kalau hubungannya dengan Subrata tidak pernah disetujui oleh kedua orangtua-nya.

"Nggak kok ma," jawab Kirana mendekati ibunya yang tengah sibuk dengan tumpukan kemeja yang siap dipasangi kancing. Ia mencoba merapikan kemeja-kemeja yang sudah selesai dikerjakan ibunya. Ia sadar siapa dirinya dimata keluarga Subrata, tapi ia bangga menjadi anak orangtuanya yang sudah bekerja keras membanting tulang demi menghidupinya dan menyekolahkannya. Maafkan aku ma, aku anak yang nggak berbakti...

Tanpa disadari sejam berlalu, dua jam berlalu, tiga jam berlalu, dan hingga larut Subrata tidak pernah kunjung datang.

Masih dengan perasaan sedih dan kecewa Melisa pergi ke kampus seperti biasa, tapi tidak ada niat untuk mengikuti mata kuliah sama sekali. Dari pagi ia memilih berdiam diri diperpustakaan atau di taman kampus membaca buku untuk menghabiskan waktu menunggu siang dan menemui laki-laki itu.

Seperti biasa Melisa menunggu Subrata di kantin kantor tempat laki-laki itu bekerja untuk meminta sebuah penjelasan.

"Oh hai, kamu pacarnya Subrata kan?"

"Ah, iya." Kirana ingat wanita itu adalah salah satu teman Subrata dari divisi yang sama. Meski ia tidak terlalu mengerti pekerjaan Subrata, tapi ia sedikit tahu soal teman-teman kantor kekasihnya, "Aku kok belum melihat Subrata ya kak?"

"Hari ini dia nggak masuk kantor."

"Oh, terima kasih," jawab Melisa mengangguk lesu dan langsung pergi.

Begitupun keesokannya, Melisa masih belum bertemu Subrata. Tanpa disadari seminggu berlalu, tidak ada kabar. Sepucuk surat pun tidak pernah datang. Hingga seorang laki-laki datang menyapanya. Melisa tidak terlalu mengingatnya, tapi dengan jelas laki-laki itu mengingat dan mengenalinya. Tatapan laki-laki itu begitu mudah ditebak. Ya, tatapan iba.

Melisa begitu terpukul saat mengetahui Subrata sudah berhenti dari pekerjaannya, jadi selama ini ia menunggu seperti orang bodoh. Ia mencoba mengirim surat, tapi tidak pernah ada balasan. Ia juga tidak bisa menyembunyikan masalah ini pada orangtuanya. Ia mencintai anak yang ada dalam perutnya.

___

Kaki Dylan masih tidak bergerak dari tempatnya, seluruh tubuhnya menegang. Ia masih mencengkram kedua lengan ayahnya yang terasa makin kecil dibanding dulu. Dirinya cukup terkejut melihat garis wajah ayahnya yang keras dan angkuh berubah seketika menjadi lemah dan tidak berdaya. Ia benci melihat wajah sedih laki-laki itu. Bukan karena khawatir, tapi ia merasa tidak pantas laki-laki itu sedih karena semua itu memang layak ayahnya dapatkan sebagai hukuman.

"Papa minta maaf Dylan... maafkan papa..." Subrata mengatupkan kedua tangannya di depan dada. "Setelah beberapa tahun, istri pilihan nenek-mu tidak bisa memberikan keturunan, lalu aku kembali mencari dirinya untuk mengambilmu.'

"Kamu memberikan dia uang? Jumlahnya besar?"

"Iya, tapi dia tidak pernah mengambilnya seperserpun."

"Aku pergi!" seru Dylan. "Jangan harap aku akan kembali kemari."

Subrata mencoba mengejar anak kesayangannya, tapi kakinya yang sakit membuatnya tidak berdaya. "Dylan jangan pernah membencinya, papa yang merebut kamu darinya!"

Dylan terus melangkah sambil menahan emosi, tapi langkah kakinya terhenti. Terkejut. Seorang laki-laki yang berdiri tepat diambang pintu pagar sambil memegang sebuah kamera yang ia yakini sedang merekam kejadian barusan.

Emosi yang berusaha ia tahan kali ini lepas kendali. Dengan kasar Dylan merebut kamera tersebut dari pegangan laki-laki itu dan membantingnya tanpa mengucap satu katapun. Saat melewati laki-laki tersebut, ternyata sudah banyak pencari berita berkumpul lengkap dengan peralatan mereka. Kali ini Dylan tidak bisa merebut kamera mereka satu per satu, dengan setengah berlari ia menuju mobil dan beberapa reporter berusaha menahannya dan mencecarnya dengan pertanyaan-pertanyaan tentang kejadian barusan. "Pergi! Biarkan aku sendiri!" teriaknya.

Sial! Dylan menghantam kemudi mobil-nya dan matanya menyapu keluar mobil menatap para reporter yang merubungi mobilnya. Dengan cepat ia menyalakan mesin mobil dan meng-klakson berkali-kali supaya para reporter itu menyingkir dari hadapannya.

Dylan langsung menancapkan pedal gas dan melaju kencang. Setelah keluar dari komplek perumahan, ia melirik kaca spion takut kalau dirinya masih diikuti, tapi ketakukannya tidak terjadi. Ia yakin kali ini selain Kirana, ayahnya pasti menjadi incaran para reporter itu.

Dengan kasar Dylan merogoh ponselnya dari saku dan menelepon manajer Koh.

———

Kirana memijit kenignya yang terasa pusing akibat menangis. Ia merasa bodoh karena bisa tertidur. Ia bisa pastikan bibinya pasti khawatir padanya. Kirana beranjak dari sofa men-charge ponselnya dan menyalakannya, ada pesan masuk dari bibinya.

Saat membaca pesan singkat tersebut membuat hatinya sedikit lebih tenang. Ia beruntung masih memiliki orang yang mengasihinya. Dan Kirana kembali teringat pada Dylan yang masih belum memberinya kabar padahal sudah hampir larut.

Mata gadis itu terus memandangi kenop pintu berharap pintu itu segera terbuka dan melihat sosok laki-laki itu kembali, tapi sama sekali tidak bergerak sedikitpun. Ia menatap layar ponselnya, mencoba menghubungi Dylan dan tidak ada jawaban. Terus begitu hingga belasan kali.

Beberapa saat kemudian ponselnya berdering dan sontak mengejutkannya. "Kamu dimana?"

Kirana bisa mendengar gumaman Dylan di ujung telepon. "Aku sekarang lagi minum es coklat yang rasanya agak sedikit aneh. Kamu tahu nggak? Harganya murah banget! Aku nggak pernah minum-minuman kayak gini loh. Nanti aku sakit perut nih," terdengar candaan Dylan yang garing.

"Bodoh," jawab Kirana dengan suara parau. Ia mengusap air matanya yang mulau jatuh, tapi ia sadar dirinya harus lebih kuat dari laki-laki itu supaya bisa menjadi sandaran baginya. "Kamu nggak pulang?"

"Kemana?" tanya Dylan di ujung telepon. Suaranya terdengar seperti putus asa. "Aku nggak ada tujuan pulang."

"Ke apartemen aku,"

Untuk beberapa saat mereka berdua tenggelam dalam diam. Kirana berusaha tidak memaksa Dylan untuk bicara, ia tahu laki-laki itu pasti masih syok dengan kenyataan yang ia terima. Tidak lama terdengar dengusan tawa yang dipaksa. "Aku juga nggak bisa ke tempat kamu, aku masih belum mau ketemu sama dia dan para reporter itu pasti masih mencari keberadaanku."

Kirana mengatupkan bibir dan menganggukkan kepalanya, ia sadar kalau Dylan tidak bisa melihatnya. "Mm,"

"Tapi aku sudah minta tolong manajer Koh menjemput aku dan meminta Alva mengalihkan perhatian para reporter itu," terdengar hembusan nafas Dylan lagi. Kali ini terasa lebih pelan dan berat. "Kirana...bantu aku menghilang dari semua kekacauan ini,"

"Dylan..." Kirana memejamkan matanya mencoba berpikir jernih.

Tiba-tiba terdengar suara tawa garing di ujung telepon. "Aku cuma bercanda kali kelinci, lagipula mau ngilang kemana?"

"Nggak!" seru Kirana.

"Iya, iya, nggak usah teriak juga."

"Aku serius, kita ketemu di stasiun gambir sekarang!"

"Sekarang?"

Tanpa menjelaskan Kirana langsung menutup ponselnya dan bergegas mengambil obat-obatan Dylan dan beberapa keperluan penting. Semua ia masukkan ke dalam tas slempang miliknya.

Dylan meringkuk di belakang bangku kemudi, berusaha menyembunyikan dirinya. Ia tersenyum saat menyadari dirinya masih memegang gelas plastik berisi es coklat yang sudah bercampur air dari es batu yang mencair. Minuman ini yang menemaninya selama menunggu manajer Koh datang menjemputnya.

"Jadi sekarang kemana?" manajer Koh terus menyetir. "Apartemen-mu sudah dikepung, yah jauh sih dari apartemen, tapi tetap aja mengganggu."

"Nggak, aku mau ke stasiun gambir," jawab Dylan masih meringkuk di bangku penumpang. Ia kembali tersenyum saat ini seperti dirinya waktu masih SD; bersembunyi di jok belakang mobil ayahnya. Saat itu ia benci dengan ayahnya yang memaksanya pindah ke sekolah internasional, lingkungan elit yang tidak dikenalnya. Ia senang membuat ayahnya panik mencarinya, disangka hilang, padahal bersembunyi hingga ketiduran disana. "Manajer aku mau menghilang dulu dari semua kekacauan ini."

"Semua masih bisa ditangani, kenapa kamu harus sampai pergi ke luar kota sih?"

Dylan terkekeh pelan sambil membaca kicauan twitter dari layar ponselnya. Sesuai dugaannya, dirinya menjadi trending topic di media social. #skandalDylandan asisten #Dylantidakprofesional #GoDylan #Asistenartistidaktahudiri #Dylandenganorangbiasa. Ada yang membelanya dan ada yang senang dengan berita seperti ini.

"Besok pagi pasti lebih heboh dari ini, jangan kaget." Kata Dylan mengingatkan.

"Soal apa lagi?"

"Lihat aja besok di tivi. Pokoknya sekarang aku mau menghilang dulu dari kekacauan ini dulu."

"Sampai?"

Dylan hanya mengangkat bahunya, meski dirinya tahu manajer Koh tidak bisa melihat gerakannya.