webnovel

Honkai Impact: Deviation of Imagination (Indonesia)

Di luar Laut Quanta yang penuh kekacauan, di luar Pohon Imajiner yang sistematis, Eksistensi dari luar muncul membawa kekuatan dari makhluk transenden yang asing. Dan keberadaan anomali ini, akan membawa dunia di bawah genggamannya! --- Modifikasi Konten pada [15/4/23] --- [Disclaimer!]: Picture Belong to Artist. Honkai Impact Belong to Hoyoverse!

Skartha · Diễn sinh trò chơi
Không đủ số lượng người đọc
31 Chs

XIV. "Before" The First Step – IV

Suara langkah kaki yang cepat dari Kiana Kaslana dan Raiden Mei menggema di seluruh lorong sekolah yang telah berisi banyak mayat dan beberapa zombie dari para murid dan guru.

Si Putih itu mengayunkan bat di tangannya dengan kuat ke kepala salah satu zombie membuatnya bengkok dan mati seketika.

Elias melayang di udara, tepat diatas gedung Akademi Senba yang sudah rusak di beberapa tempat karena ledakan energi Honkai dan karena kebangkitan Mei sekali lagi.

Mata merah tuanya melirik lingkungan sekitar kota dengan cermat. Tidak ada sosok merah muda dimanapun yang terlihat atau dirasakan oleh Elias. Tentu saja, karena dia sudah mengamankan balok berisi Herrscher of Corruption untuk digunakan sendiri.

Ledakan Honkai ciptaan Cocolia benar-benar membuat satu Nagazora berada dalam kekacauan, Elias kagum pada teknologi Anti-Entropy—yang walaupun kurang dalam hal finansial tetap mampu membuat berbagai inovasi.

Belum ada satu hari dan zombie serta Honkai Beast sudah mulai bergerak seperti tidak ada hari esok di kota Nagazora. Beberapa dari mereka adalah Templar dan beberapa adalah Chariot. Ada juga yang lemah seperti Seraph.

Terbang di udara memang benar-benar efektif untuk menemukan seseorang di tempat seramai ini. Namun, akan menjadi tidak efektif jika orang itu berada di dalam ruangan.

Masalahnya, tujuan Elias bukanlah mencari siapapun. Dia sudah menemukan Bronya, Kiana, dan Mei. Kemungkinan besar, mereka semua akan bertemu di depan gerbang utama akademi Senba sangatlah besar.

"Menonton semua ini dalam resolusi yang lebih tinggi daripada 4K memang benar-benar luar biasa…" Mata Elias memperhatikan setiap sisi kota, sesekali melirik kepada para protagonis.

Disaat itu, ponselnya berdering, dia membukanya dan menemukan banyak pesan dan misscall dari Mei. Dia tidak ingin mengkhawatirkan gadis itu, tapi sekarang, sebaiknya mereka bertiga berkumpul dulu sebelum menemui dirinya.

Elias membuang ponselnya ke antah berantah, dan membiarkannya terpisah dari mereka.

Saatnya berburu bahan…

Raiden Mei menatap pemandangan sebuah kiamat di hadapannya. Segalanya hancur, kekacauan terjadi dimana-mana, dan makhluk raksasa yang menjulang hingga sebesar rumah biasa mengejar orang-orang.

Kiana Kaslana, gadis energik berambut putih yang dikepang dua, menyelamatkan diri bersama dengannya. Dia tidak bisa banyak memperhatikan banyak detail, tetapi satu hal yang pasti—ini adalah gambaran sebuah kiamat yang sempurna.

Kakinya terus berlari, menghindari kejaran makhluk silikon putih beraksen merah muda setinggi rumah. Bersama dengan Kiana disisinya yang membawa pistol, Mei menodongkan senjata di tangannya—senapan semi-otomatis dan menembakkan logam-logam panas ke arah makhluk itu.

Namun, makhluk itu sendiri tidak bisa dikalahkan dengan senjata api konvensional. Mereka tidak bisa mengalahkannya dengan senjata ditangan mereka—tapi mereka tetap mengalahkan monster itu. Dengan kemunculan seorang pria muda yang memotong makhluk itu menjadi dua dengan pedang logam biasa yang entah didapat dari mana.

"Elias! Kamu benar-benar menyelamatkan kami di waktu yang tepat!" Kiana dengan gembira menghampiri Elias, saat Bronya terjun dari atas gedung dan mendarat di sisinya.

"Apakah kalian baik-baik saja?" Pemuda itu bertanya dengan khawatir setelah menyarungkan pedangnya di pinggangnya.

Bronya menggelengkan kepalanya, "Positif. Tidak ada ancaman yang sulit diatasi. Dan musuh potensial terakhir sudah diatasi oleh Elias."

Elias mengangguk pada gadis mungil itu. Dia memandang Mei yang mendekati dirinya dengan cepat.

Apapun alasan gadis itu mendekatinya, hal itu tidak seperti yang Elias pikirkan. Saat, keduanya saling berhadapan, pemuda itu membuka suaranya, walaupun—

"Kenapa kamu tidak menjawab pesanku?!"

"Gfu—"

—Gadis itu segera memotongnya ketika dia menyundul dagunya dengan keras.

"Wow… itu pasti sakit."

"..."

Kiana dan Bronya hanya bisa memandang dengan kagum melihat kemarahan sosok kakak perempuan yang lembut.

"Maafkan aku… aku tidak sengaja menjatuhkannya di suatu tempat dan kehilangan saat perjalanan kesini." Elias hanya bisa mengangkat tangannya berbohong tanpa daya saat gadis itu menatapnya dengan tatapan setajam pisau.

Mei hanya bisa menghela nafas, itu bukan kesengajaan yang dilakukan Elias, jadi dia melepaskannya.

Mata Mei menyapu semua tempat, segalanya sudah berakhir… bahkan menemukan Honkai Beast sebesar itu, mengingatkannya ketika dia membangkitkan Stigmata dan kehendak Herrscher di dalam dirinya.

Ini adalah makhluk raksasa pertama yang mereka temui sejak tadi, menunjukkan intensitas ledakan Mei berkurang drastis daripada yang terjadi pertama kali.

Namun ini aneh… mengingat radius ledakan yang dialami ketika masih berada di Akademi Senba, itu sangat kecil—yang menandakan bahwa sesuatu telah Elias lakukan untuk mengurangi dampaknya. Walaupun kehancuran gedung tidak terhindarkan, tidak ada satupun jiwa yang terenggut.

Maka… "Sepertinya kamu sudah menyadarinya, Mei." Elias menghampiri gadis itu, ketika dia mengeluarkan kain kasa dan alkohol dari tas di punggungnya.

"Luka terdeteksi pada tubuh Mei Nee-sama." Bronya berkata, menyadarkan putri Raiden pada rasa menyengat di lengannya.

"Hmm… itu pasti karena makhluk tadi, kan. Elias, Biarkan aku yang melakukannya!" ucap Kiana dengan tergesa-gesa.

Elias menyerahkan kain kasa dan alkohol kepada gadis itu. Secara mengejutkan, gadis itu benar-benar mengerti caranya merawat luka.

"Bronya terkejut Kiana bisa memberikan pertolongan pertama seperti itu."

"Hum-hum, tentu saja aku tahu. Aku ini sebenarnya sangat luar biasa."

"… Sepertinya Bronya harus menarik pujiannya."

"Hei!"

Mei terkekeh, sungguh menyenangkan bisa mendapatkan suasana yang hidup seperti ini di keadaan yang penuh kekacauan.

"Um, Elias, dimana kamu menemukan pedang setajam itu?"

Mei terdiam mendengar pertanyaan Kiana, dia memandang Elias yang juga sedang diam, Mei tidak tahu apa yang dia pikirkan karena tidak bisa melihat ekspresinya.

Kiana sungguh penasaran—begitu pula Bronya yang menyimak dengan seksama. Itu tidak seperti pedang yang seharusnya dibuat oleh warga sipil di negara yang damai seperti ini. Apakah Elias diam-diam menyimpan senjata ilegal?

"Kalian ingin tahu?" Elias bertanya dengan suara yang sangat tenang tanpa fluktuasi, seperti Bronya. Ini membuat Mei merinding.

"Ya…" Kiana menjawab, dengan nada suara seperti orang yang ragu-ragu. Dia jadi tidak yakin apakah benar untuk bertanya tentang itu…

"Bukan pedangnya yang tajam, tapi itu tenagaku sendiri." Elias menggelengkan kepalanya tanpa daya dengan kesalahpahaman semua orang, tapi mereka benar. Walaupun otot di tubuhnya terbentuk terlihat seperti orang yang rutin berolahraga, tapi itu tidak berarti Elias bisa memotong makhluk yang bahkan membutuhkan usaha dari Valkyrie Rank B.

Dia menarik pedangnya dari sarungnya lalu memotong sebuah pilar beton, sebelum dan menyerahkannya kepada si Putih. "Kalau mau coba, coba saja seperti yang kulakukan ini," katanya menunjuk pada tebasan pedangnya yang rapi.

"Oke!" Kiana dengan semangat mengambil pedang itu dari tangan Elias. Dia bisa merasakan beban massa dari benda itu… Kiana menjadi sadar jika Elias bukan manusia biasa.

Dia memegangnya dengan dua tangannya, menguatkan pijakannya lalu menebas miring ke arah pilar beton seperti yang dilakukan Elias.

Kiana berhasil, tapi tidak seperti milik Elias yang rapi, tebasan yang dia lakukan tidak rata dan berhenti di 1cm sebelum tertebas sepenuhnya.

"..."

"Apakah itu berarti Kiana lebih lemah dari Bronya?"

"Hei! Elias saja yang punya tenaga lebih kuat dariku! Jika kita bertarung pasti aku menang dengan rencana brilianku."

Yah… Kiana adalah Kiana, Elias tidak terlalu memikirkan persoalan semacam itu.

"Elias sepertinya biasa saja melihat Kiana bisa mengangkat pedang itu?" Bronya bertanya kepada laki-laki itu dengan penasaran.

Kiana baru sadar, dia ber- "oh" ria. "Benar! Bagaimana?"

Elias memandang Bronya, "Apakah kamu pernah melihat manusia melayang dan turun dari gedung tanpa mengalami satupun goresan berdarah?"

"Benar… Bronya melakukan kesalahan. Tapi tidak apa-apa, karena Bronya sudah tahu Elias juga bukan manusia biasa."

"Ya, tidak ada manusia normal diantara kita, bukan."

Bronya tersenyum pada kata-kata Elias. Mereka berempat sama. Ini membuat ikatan batin baru bagi Bronya dengan teman-temannya.

"Baiklah Mei-senpai! Sudah selesai." Kiana tersenyum lebar saat melihat pekerjaannya. Walaupun lambat, tapi balutan kain kasanya cukup rapi untuk seorang Kiana.

"Terima kasih, Kiana-chan."

"Hehehe~ aku dipuji Mei-senpai." Kiana menggosok hidungnya malu-malu.

Langit telah kehilangan rona oranye yang melankolis, kegelapan biru tanpa dasar telah menelan cahaya dan menyisakan bintik-bintik putih yang indah di atas langit.

Di dalam ruang tamu sebuah kamar apartemen yang berantakan, Elias duduk bersandar di tembok saat dia berkata kepada ketiga gadis itu. "Kalian bisa mengambil sesuatu untuk di makan di dalam tas ini."

Kiana dan Mei mengangguk, keduanya sudah sangat lelah baik secara fisik maupun mental. Bahkan jika keduanya punya fisik superior Valkyrie, keduanya masih amatir dan baru saja berurusan dengan Herrscher.

Keberadaan seorang laki-laki kompeten yang mereka percayai telah benar-benar menyelamatkan keduanya dari kelelahan ekstrim di tubuh mereka.

Elias memandang gadis-gadis itu, mereka benar-benar menyedihkan sekarang. Dia membuang nafasnya, mengurangi rasa sesak di dadanya, dan melegakan tubuhnya.

Pria muda itu menutup matanya mengistirahatkan pikirannya dari hal-hal tidak penting, tetapi kemampuan sensornya tetap dijalankan secara intensif dan fokus pada gedung yang mereka gunakan dan sekitarnya.

Sejujurnya, kesiagaan yang dia tunjukkan saat ini terlalu banyak. Bahkan jika mereka diserang, Elias mampu membunuh semuanya dengan mudah. Dia bahkan belum menggunakan sedikitpun sihir untuk membunuh sejak tadi.

"Apa yang kau lakukan, Kiana?" Tatapan Elias tertuju pada tangan gadis berambut putih itu yang dilambaikan di depan wajahnya.

Dengan mulut penuh makanan, Kiana menjawabnya. "Kwu pwikir kamwu shudah tidwur."

"Telan dulu, baru bicara." Elias tahu gadis ini sangat lapar, tapi dia benar-benar terlihat menjengkelkan saat berbicara dengan mulut penuh makanan.

Kiana diam dan melanjutkan makannya. Kiana bersyukur karena Elias membawakan banyak makanan, tapi instingnya mengatakan ada sesuatu yang salah tentang tas yang digunakan Elias… makanannya masih hangat dan tertata rapi. 'Hump, sudahlah, yang penting ini enak.'

Mei menggoyang-goyangkan tubuh Bronya, mencoba membangunkan gadis itu. "Bronya-chan, Bronya-chan. Makanlah dulu."

Elias merobek bungkus plastik lima energy bar rasa coklat dan langsung menghabiskannya. Elias benar-benar ketagihan dengan energy bar itu karena sudah memakan satu paket produk bernama "Snipers" itu.

"Apakah itu enak, Kiana?"

"Ya! Ini benar-benar luar biasa." Kiana menjawab langsung, entah karena lapar atau memang benar begitu, dia sangat menikmati makanannya.

Elias tersenyum mendengar jawaban langsung tanpa berpikir dari Kiana. "Saat kita sudah keluar dari sini, aku akan mentraktirmu apapun yang kau inginkan."

"Benarkah?!" Kiana menggebrak lantai dengan antusias. Hehehe, dia punya kesempatan untuk melorotkan uang Elias… dia ingin tahu reaksi macam apa yang Elias tunjukkan nanti~

"Tentu saja. Aku akan bersumpah demi bulan untuk itu."

"Yay!" Janji sudah didapatkan! Dan selama mereka mencapai kota, dia akan membeli makanan paling mahal di dunia ini. 'Tapi, kenapa harus bulan? Memangnya ada apa di sana, dewa kah? Huh, pasti Elias terlalu banyak membaca cerita-cerita konyol itu dan mempercayainya.'

"... Elias." Mei membuka suaranya, memanggil satu-satunya laki-laki muda disana. Elias memandangnya, mencoba mendengarkan tujuan Mei memanggilnya.

Mata adalah jendela jiwa, Elias bisa merasakan perasaan kesedihan, khawatir, dan ketakutan dari mata gadis itu. Mei bertanya kepadanya, "Apakah kita bisa keluar dari sini?"

"Tentu saja. Apapun yang terjadi, aku akan melindungi kalian semua dan memastikan kita semua keluar dari sini. Percayalah." Pemuda itu dengan tegas dan lantang menjawabnya.

"... Aku mengerti, aku percaya kepadamu…" Mei tersenyum mendengarnya, kepercayaannya tumbuh dan harapannya tidak hilang.

Elias dengan cepat bangkit dari posisinya, menarik pedang disisinya dan membuat posisi bertahan, membuat ketiga gadis itu terkejut.

Dia menoleh ke arah mereka bertiga, "Pergi!" Elias berteriak, saat dia menggunakan gelombang energi untuk melemparkan mereka menjauh—dan sebelum mereka merespon dengan baik, gedung itu terbelah menjadi dua, meremukkan Elias ke dalam reruntuhan.

""Elias!!"" Kiana dan Mei terkejut, mereka melihat ke arah makhluk raksasa pucat yang besarnya melebihi setiap bangunan disana.

Melihat tanda-tanda serangan, Bronya memanggil Project Bunny dengan cepat—saat pile bunker dan tombak besar milik Honkai Beast raksasa itu saling bertabrakan, dia terpental jauh menabrak banyak bangunan di belakang.

"Bronya-chan!" Mei mengalihkan perhatiannya dengan khawatir, namun hal itu akan menjadi sesuatu yang akan dia sesali…

"Mei-senpai, kau tidak boleh melamun begitu!"

Raiden Mei syok, tidak bisa berkata-kata, melihat sosok gadis berambut putih di pelukannya… "Ki- Kiana-chan…"

Karena dirinya, Kiana harus terluka… Karena dirinya, Bronya harus terhempas jauh… Karena dirinya, Elias terkubur di bawah reruntuhan.

"A- ah- AHH—!"

Dia terlalu lemah, selalu dilindungi oleh orang-orang disekitarnya, Raiden Mei adalah orang yang tidak berguna sama sekali. Segalanya karena dirinya, termasuk kekacauan di kota itu—tidak, itu karena serangga bongsor pucat di hadapannya. Dia sudah melukai seluruh orang-orang yang Mei sayangi.

Siapapun yang melakukan itu harus mendapatkan akibatnya. Emosinya menjadi tak terbendung memandang sosok raksasa di hadapannya.

—Cacing yang melewati batasnya harus mati!

Elias menyingkirkan dan menghancurkan beton bangunan yang menghalangi langkahnya. Dia membersihkan debu-debu di tubuhnya, sebelum pandangannya terfokus pada 'Mei' yang tengah berada di udara dengan sosok lemah Kiana di pelukannya.

Dan lawannya, pesawat raksasa —yang lebih mirip kapal luar angkasa— yang menembakkan setiap persenjataannya ke arah gadis itu.

Beruntung, dia tidak jadi memotong pedang Beast kelas Templar itu dan malah memilih menangkisnya, atau Mei akan sadar dengan keadaannya dan tidak jadi mengalami lonjakan emosi lagi.

"... Huh… rasanya aku seperti orang jahat, memanfaatkan Mei untuk memanggil Hyperion…" Jujur saja, ini meninggalkan rasa tidak enak yang mengganjal di dalam dirinya.

Sosok berpakaian ketat merah dari seorang wanita terlihat melesat ke arah Mei dengan pedang besar di tangannya. Dia harus menghentikan pertarungan sesegera mungkin atau Kiana akan mendapatkan lebih banyak luka entah dari lukanya yang lama ataupun dari 'Mei'.

"Aku harus membalas budinya setelah kita keluar dari tempat ini," ucap Elias, sebelum dirinya berjalan menghampiri gadis itu.

Sudah saatnya bertemu dengan guru kesayangan kita semua.

Satu chapter lagi sebelum volume 1 berakhir.

Skarthacreators' thoughts