webnovel

HANYA AKU UNTUK DIA

RATE 20+ Ada adegan dewasa [mohon BIJAK dalam memilih bacaan] Lima tahun kurajut renda kasih dengan seorang pemuda dan tidak pernah ada problematika. Dia selalu sabar dan mengalah terhadap aku (manja dan kekanak-kanakan), aku anak semata wayang. Panggil aku Inez ... Inez Prita Yulivan. Ketika dia membicarakan hubunganku secara serius dengan orang tua, kukira mereka setuju karena selama ini kami tidak ada pertentangan, namun semua keliru. Tanggapan orang tuaku adalah MENOLAKnya, hanya karena sepekan lalu Ayah bertemu seseorang. Bagaimana aku akan melanjutkan kehidupan dan kisah cinta kami? Aku dipaksa ayah menikahi pemuda yang memiliki masa lalu kelam, namun kaya. Pada akhirnya aku ingin dihamili kekasihku ... Agar mereka berubah setuju. Pergolakan bathin .... pemberontakan diri .... Lika-liku untuk memperjuangkannya ... Semua tercurah disini, belum lagi saat persabahatan di guncang dilema cinta. Aku tetap berharap, hanya dia yang menjadi jodohku di akhir kisah ini. HANYA AKU UNTUK DIA Anti Plagiat, Kejujuran akan berdampak pada Akhirat dan Duniamu.

Lika_FR · Thành thị
Không đủ số lượng người đọc
442 Chs

15 Ladang Tebu

Senang hati tak dapat aku luskiskan dengan kata, atau tuangkan dalam sebuah nada. Sebab ada dia yang menemaniku, tak terlintas sekalipun olehku lelakiku ini akan hadir pada ruang dan waktu yang harusnya mustahil dia ada.

Tapi dia ada, sekarang ... bersamaku menghabiskan waktu.

Keindahan bintang dan bulan nan bercahaya di gelapnya langit, tampak redup memendar tapi tetap memikat, desiran angin yang menyapu kulit-kulit ini membuat merinding dingin bulu-bulu ini, menambah tersulutnya asmara di dalam dada.

Di kesunyian ini, aku dan dia menghabiskan sisa-sisa malam dengan penuh kerinduan.

Aku memulai meraih tangannya sambil menolehkan wajah. Dia membalas menggenggam tanganku dan tersenyum mesra, akupun membalasnya sama.

Mata kami saling beradu tatap tanpa ada kata atau suara. Mataku yang sembab membuat dia menatap iba. Aku angkat tangannya lalu ku ciumi punggung tangan itu berkali-kali. Dia membalas dengan mendekapku, terasa hangat dan terhirup wangi tubuhnya dalam pelukan. Arman semakin mengeratkan pelukannya.

"Inez kenapa kamu memilih jalan ini? Aku tak akan sanggup kalau kamu menggodaku lagi Nez. Keadaan gelap, sepi dan dingin ini. Sungguh jika hanya berdua denganmu. Aku tak akan mampu menahan hasratku. Katakan apa yang harus aku lakukan Nez? Berat aku memikul perasaan dan janji hati, berbanding terbalik dengan rasa ini kepadamu," ucapnya mengeluh dan mengawali.

"Hasratku inginkanmu, namun janji hatiku menolaknya." ucapnya padaku.

Ladang tebu ini biarlah menjadi saksi bisu dua insan hendak memadu kasih. Malam ini.

Aku sama sekali tak menggubrisnya, ataupun menjawabnya, hanya bahasa tubuh yang aku suguhkan, yang aku lakukan adalah mengikuti alur dan ritme gairah cinta yang memang indah dilakukan bersamanya. Gejolak pagi dirumahnya kala itu, entah terasa belum terselesaikan dan menuntut untuk dituntaskan hari ini juga.

Aku bangkit dan kulepaskan pelukan itu, segera berjongkok didepan dia. Lalu ku duduk di pangkuannya, menyilangkan kaki di pinggangnya Wajahku menghadap wajahnya yang sayu dan tampan itu, sembari meletakkan kedua tanganku di kedua sisi pipinya, bersiap untuk menciumi bibirnya, sedangkan Arman memeluk pinggangku dengan kedua lengannya. Segera kukecup bibir lelakiku ini, lagi-lagi aku mencoba membakar gairahnya. Dia pun tak kalah kuat bergejolak membalas ciumanku. Ciuman disertai lumatan yang kami lakukan diiringi gerak tangan yang mulai melanglang buana membuka kancing-kancing pakaian yang aku kenakan. Ia lepaskan dari badan ini, sehingga tersisa "kacamata" dalam yang terpampang nyata di hadapannya. Tangan itu dia alihkan dengan segera meraba dan lagi mulai meremas-remas buah yang ada. Aku memejam geli sembari menghentak-hentakkan kaki pelan-pelan, namun serasa tak mau menyudahi, jantungku berguncang, darah sudah mengalir deras sampai ke kepala. Dia keluarkan keduanya dari tempatnya lalu dikecup dan dicucupnya dengan lembut ujung-ujungya bergantian. Kanan dan kiri.

"Aaaaah, semakin menyembul tegang.

"eehhmmmmm," gumamku menggeliat diatas pangkuannya.

Duduk diatas rerumputan luas nan basah mengandung embun, semakin menambah kuatnya nafsu bercumbu, rok yang aku pakai mulai menyibak-nyibak terbuka tertiup angin. Mengundang birahi mendatangi. Tangan itu mulai menggerayai disebalik rok ini. Aku geser-geserkan posisi dudukku dengan sengaja agar si adik kecilnya segera terbangun, karena aku memang maukan dia.

"Aarrgh ...." desahku,

"Aaah!" Kala kurasakan jemarinya menyelinap di dalam kain dalamanku. Menyentuh mahkota dan satu jemarinya mulai ingin memasukinya, aku gigit bibirku mendesis diikuti bulu roma yang berdiri merinding. Dia segera melepas sendiri pakaiannya. Aku pun segera melayangkan kecupan disana, mencium dan mengendusnya, tampak lelakiku ini bergidik merangsang atas tingkah polahku. Aku kecupi pula dada bidangnya sambil ku remas-remas miliknya itu. Kami bercumbu layaknya pemuda-pemudi yang sudah tak punya malu. Tarian dan suara goyangan tebu menambah indah suasana percintaan itu.

Arman tak kuasa menahan beban tubuhku yang sudah banyak tingkah di pangkuannya. Dia rebahkan tubuhnya diatas rerumputan. Aku masih menindih diatas tubuhnya. Aku masih asyik mengecup-ngecup leher jenjangnya, sembari satu tanganku merambat ke arah bawah berjalan ku selipkan di dalamannya itu, seakan mencari sesuatu.

Dia segera menghentikan tanganku.

"Nez, sekali lagi. Aku tak mau menodaimu. Jangan paksa aku Nez. Aku juga menginginkan ini, tapi disaat aku memilikimu seutuhnya. Bukan seperti ini, sebagai pencuri, pencuri dari Ayahmu, pencuri dari calon suamimu. Aku bukan lelaki brengsek yang mau mencari kesempatan dan ingin meminta keperawananmu saja, tapi jika kamu memaksaku terus. Aku tak akan mampu lagi mengeremnya. Kita sudah terlalu jauh dalam mengemudikan nafsu." Kata-kata Arman diselingi nafas yang sudah tersengal-sengal dikuasai oleh gairah, masih sempatnya dia memakai logika, keringat yang mengucur juga tampak di sekujur badan dan wajahnya dikala suasana malam yang sedang dingin-dinginnya dini hari.

Aku diam membisu. Segera aku peluk tubuhnya dan dia juga membalas pelukanku, sambil mengelus-elus kepalaku.

"Aku ingin digagahi olehmu. Itu terus yang berputar-putar dalam otakku Arman. Aku kehilangan akal karena tak ingin dipisahkan darimu. Aku mau cara ini, karena hanya ini yang bisa menyebabkanmu menikahiku," bantahku tetap sama, beralasan kepadanya.

"Biarlah kita sudahi gairah ini Nez, aku tidak setuju sengan idemu. Itu terlalu fatal untukmu. Aku sungguh menyayangimu, sampai tak mungkin aku menodaimu, meskipun harus menjadi milik orang lain, setidaknya aku sudah mencintaimu dengan segala cara yang aku bisa. Sekarang tidurlah dalam dekapanku. Kamu terlalu lelah dan berat melalui harimu," balasnya sambil mengecup rambutku.

"Apapun keadaanmu, jika kita memang dipertemukan kelak aku akan selalu mencintaimu, jika dia yang dijodohkan denganmu menyakitimu. Akulah orang pertama yang selalu menunggu dan menerimamu, ingatlah ini selalu," pesannya diiringi tangisku yang sesenggukan dipelukannya. Dia hanya mengusap-usap rambut dan punggungku masih dalam dekapannya, beralaskan rumput dan beratapkan langit, kami berdua masih disini menanti pagi datang menjemput.

"Inez, aku akan memberi kabar kepada Liza dan Ardy ya? Bahwa kamu disini bersamaku, agar mereka tidak cemas, karena mereka turut mencarimu sejak tadi," ucap Arman sambil mengeluarkan handphone-nya.

Dia mengirim pesan WA kepada Liza dan Ardy yang pasti kerepotan karena turut mencari kepergianku. Betul saja tak ada satu menit Arman mengirim pesan.

"Liza, aku sudah menemukan Inez. Dia ada bersamaku, dia baik-baik saja." Isi pesan Arman.

Langsung dibalasnya dari Liza.

"Oke Arman baiklah, emang kalian dimana sekarang? Di kontrakanmu ya?," jawab Liza menuduh.

"Tidak Liz, tapi dia aman dan aku akan menjaganya. Jangan khawatir," balas Arman.

"Oke, kapan kalian akan pulang? Aku sudah memberi kabar ke orang tua Inez bahwa dia inap di rumahku," jelas Liza lagi.

"Pagi-pagi kami akan ke rumahmu dulu, lalu minta tolong antarkan dia ke rumahnya ya?" pinta Arman untukku.

"Oke," jawab dia singkat mengakhiri. Liza masih belum tidur, padahal jam sudah menunjukkan dini hari. Dia menanti jawaban dan kabarku. Sekhawatir itu dia kepadaku? Padahal aku sedikitpun tak pernah menghawatirkan dia. Liza yang begitu dewasa dan lebih mandiri dibandingkan aku, membuat aku tak pernah tahu akan masalahnya selama ini, semua ia selesaikan sendiri.