webnovel

Malam Padang Bulan 3

Surya mengira suara tangis tadi adalah suara hantu, tapi ternyata suara tersebut berasal dari adiknya. Kelopak dan kantung mata adiknya bengkak serta rambutnya berantakan. Dia masih menangis di sudut kamar mandi dan ada satu hal yang membuat Surya merasa agak janggal, yaitu adiknya menangis di dalam kamar mandi bukan malah di dalam kamar tidur, padahal hari sudah larut malam. Namun, Surya berusaha meyakinkan diri mengingat bahwa Anes merupakan anak pemberani dan dia hanya takut ketika ada orang yang menakut-nakutinya.

Surya melangkahkan kaki pelan saat akan mendekati Anes yang masih memeluk kedua kakinya dengan kepalanya ditelungkupkan di atas kedua lutut. Rambutnya yang lumayan panjang hampir saja mengenai tanah karena posisi rambutnya saat ini terurai berantakan, mungkin dia tidak sadar atas kehadiran Surya yang sedikit mengendap-endap.

Semakin Surya mendekat maka semakin terdengar jelas pula suara isak tangis Anes. Sebagai kakak, Surya sedikit merasa iba ketika melihat adiknya sedih, meskipun dia tidak tahu penyebabnya. Akhirnya Surya pun jongkok untuk mensejajarkan tinggi badannya dengan tinggi badan Anes.

"Nes, kenapa nangis?" Tanya Surya sambil mengelus rambut Anes.

Anes hanya menggelengkan kepala dengan tangisnya yang tak kunjung berhenti. Surya menyelipkan anak rambut yang menutupi wajah Anes ke belakang telinga. Tampak jelas matanya berwarna merah dengan kedua pipinya basah terkena jejak air mata. Surya tidak tega melihat kondisi Anes kacau, dia memejamkan mata sejenak sambil mengambil napas dalam-dalam lalu dihembuskan secara perlahan agar tidak terbawa suasana sedih pula. Cukup Anes saja yang sedih dan Surya sebagai obat penghibur lara.

"Kenapa kamu nggak masuk kamar?" Tanya Surya.

Anes hanya menggelengkan kepala lagi, Surya pun bingung karena dia harus berbuat suatu hal yang sekiranya bisa mengajak Anes mau masuk ke dalam kamar. Hujan malam ini cukup terasa dingin, sedangkan Anes masih saja menangis, di dalam kamar mandi ada genteng yang pecah, sehingga banyak air yang masuk ke dalam kamar mandi. Untung saja pecahnya tepat di atas sumur, sehingga air hujan langsung masuk ke dalam sumur. Namun, cipratan air hujan tersebut tetap saja mengenai tubuh Surya dan Anes. Cipratan tersebut meninggalkan rasa dingin pada kulit karena menembus pori-pori.

Bibir Anes semakin terlihat pucat, mungkin dia sangat kedinginan karena dia hanya menggunakan kaos dan celana pendek selutut, bajunya pun sudah agak basah. Kini tatapan Surya tertuju pada kuku-kuku jari kaki Anes yang terlihat memucat dengan kulit kakinya yang sedikit ada kerutan kecil. Sedikit ada rasa khawatir dan curiga, tapi Surya berusaha secepat mungkin untuk menghilangkan pikiran negatifnya, yang dibutuhkan Anes saat ini hanyalah kehangatan yang di dapat sebagaimana orang tidur pada umumnya, bukan malah tuduhan yang tidak jelas asal mulanya.

"Nes, ayo masuk ke kamar!" Ajak Surya. Dia menggosok kedua telapak tangannya agar sedikit merasa hangat kemudian ditempelkan pada bagian leher. Pandangan matanya tak lepas dari wajah pucat Anes. "Kakak takut kalau nanti kamu masuk angin karena udaranya cukup dingin."

Lagi-lagi tidak ada jawaban dari Anes membuat Surya menghela napas. Sifat keras kepala Anes memang sulit terkalahkan saat dirinya sudah menangis. Surya yakin pasti ada sesuatu yang Anes sembunyikan karena tidak mungkin kalau Anes akan menangis sendirian.

"Mau kakak gendong ke kamar?" Tawar Surya, sedangkan Anes hanya menggelengkan kepala lagi sebagai jawaban.

Hal tersebut tidak membuat Surya langsung putus asa karena dia benar-benar khawatir dengan kondisi Anes, meskipun setiap hari sering kali bertengkar hanya masalah sepele. Apa pun akan dia lakukan untuk Anes sebagai bentuk rasa tanggung jawab sebagai kakak. Oleh karena itu, dia berusaha untuk terus membujuk Anes agar mau masuk ke dalam kamar tidur.

"Nes, kalau kamu nggak masuk kamar nanti sakit loh. Kalau kamu sakit, siapa yang akan mengurusmu? Ibu? Ibu sibuk kerja, kakak-kakak mu? Nggak mungkin karena kakak harus membantu Ibu. Ingat, Nes, kita harus bantuin ibu terus, Kasihan kalau dia nggak ada yang bantuin. Kamu kan tahu sendiri kalau Bapak sukanya nganggur dan keluyuran nggak jelas," ujar Surya berusia untuk mengingatkan adiknya, tapi Anes menggelengkan kepala lagi.

Surya diam berpikir sejenak untuk membujuk dan menarik perhatian Anes. Sebuah ide terlintas di kepalanya. Tangan kanannya kembali mengelus rambut Anes. "Kalau kamu nggak bisa tidur nanti Kakak temenin. Bagaimana kalau nanti kita main bareng?"

Anes menganggukkan kepala dan dia langsung berdiri sambil tersenyum saat menatap Surya. Akhirnya usaha tidak menghianati hasil. Dia ikut bahagia ketika melihat senyum Anes kembali terbit di bibirnya. Sesimpel itu kebahagiaan Surya, karena dia itu orang yang suka berpikir simpel juga.

Tangan Surya kembali menyelipkan anak rambut Anes ke belakang telinga. Setelah itu, jempolnya mengusap kedua kedua kantung mata Anes guna membersihkan jejak air mata. Awalnya Surya merasakan dingin pada setiap jari yang menempel pada pipi Anes. Ketika diusap, dia merasakan pipi Anes becek.

Ada benda kenyal berwarna merah yang menempel di jari Surya. Banyak darah yang mengenai tangannya dan bau amis yang sangat pekat membuat Surya mual dan ingin memuntahkan segala isi perutnya. Satu hal yang terlintas di dalam pikirannya, yaitu daging Anes. Kedua tangan dan kakinya bergetar tak sanggup membayangkan jika apa yang sedang dipikirkannya itu benar-benar terjadi. Akhirnya Surya mencoba untuk memastikan kalau yang menempel di jari-jarinya benar daging milik Anes. Sedikit demi sedikit dia mencoba untuk mendongakkan kepala. Betapa terkejutnya dia saat melihat daging di pipi Anes benar-benar hilang setengah dan menyisakan tulang pipi saja. Anes kembali meneteskan air mata seakan dia merasakan perih pada luka tersebut. Surya semakin heran dan merinding ketika melihat kornea mata Anes berubah menjadi warna putih dan bibirnya pun sangat pucat.

Surya ingin menjerit untuk meminta tolong, tapi mulutnya terasa seperti terkunci. Dia ingin berlari, tapi tubuhnya seperti tertarik magnet. Dia ingin menundukkan kepala, tapi terasa seperti ada yang menyangga dagunya. Seakan Surya memang diprogram untuk menatap Anes. Bau darah semakin menyengat membuat perutnya semakin terasa mual.

Tubuhnya yang masih kaku membuat Surya muntah dengan posisi tegak. Segala isi perutnya tiba-tiba keluar begitu saja mengenai dagu, baju, dan celana. Sekarang giliran bau isi perut tersebut semakin membuatnya tambah mual. Akhirnya dia membaca do'a sekaligus mantra ilmu kejawen yang dia bisa agar terlepas gangguan yang mengikat tubuhnya.

Kini hanya bola mata Surya yang berhasil bergerak setelah membaca doa dan mantra ilmu kejawen tersebut. Dia memandang ke arah bawah untuk menghindari tatapan Anes. Bukannya dia merasa tenang, tapi malah semakin ketakutan karena kaki Anes tidak menapak di tanah. Surya baru menyadari, bahwa anak kecil di depannya saat ini bukan Anes, tapi makhluk ghaib yang sengaja menyamar sebagai Anes.

"Ya Tuhan lindungilah aku dari setan yang terkutuk ini," batin Surya sambil menutup mata.

Tiba-tiba tubuh Surya terasa lemas seperti tidak memiliki tenaga lagi hingga dia terjatuh tepat di depan hantu itu berdiri. Dia mencoba membuka matanya kembali. Sayup-sayup dia melihat kaki hantu tersebut menggantung tepat di depan wajahnya.