Akhirnya Surya bisa menjerit dengan lega. Matanya sudah terbuka, tapi sekujur tubuhnya masih terasa sakit. Dia mencoba untuk menetralkan pandangan mata. Di dalam kamarnya minim penerangan, sebab hanya ada sebuah damar ceplik yang digunakan sebagai penerangan.
Ternyata di depan Surya sudah ada Siti yang sedang menatapnya tajam. Surya menundukkan kepala tidak berani menatap Siti dengan jari-jarinya sedang meremas sarung yang dia kenakan sebagai pengganti selimut, dia takut kalau nanti Siti akan memarahinya atau bahkan sampai memukul karena menganggap Surya sebagai pengganggu waktu istirahat mengingat di pagi buta mengharuskan Siti untuk bekerja sebagai petani sekaligus mencari sisa-sisa panen padi untuk dijadikan sebagai makanan pokok untuk keluarga.
"Kenapa, Surya?" Tanya Siti.
"Nggak apa-apa, Bu," jawab Surya tanpa memandang wajah Siti.
"Nggak apa-apa gimana? Tadi saja kamu menjerit."
"Tadi cuma mimpi saja."
Siti menghela napas kemudian dia duduk di sebelah kanan Surya. Jantung Surya berdebar ketika dia sengaja melirik ekspresi wajah Siti yang masih saja menatapnya tajam. Jika sikap Siti sudah seperti itu, biasanya dia akan memarahi Surya tanpa ampun sampai emosinya benar-benar sudah terlampiaskan karena dia adalah seorang ibu yang memiliki sifat tempramental.
Tiba-tiba Siti mengelus rambut Surya, tentu saja hal tersebut mampu membuat Surya terkejut karena hal ini merupakan salah satu momen yang jarang Siti lakukan kepada anaknya. Namun, hal tersebut mampu membuat keringat dingin pada telapak tangan dan kaki Surya. Siti pun menghela napas sambil menggelengkan kepala.
"Nggak perlu tegang, memangnya tadi mimpi apa? Coba cerita sama Ibu."
"Aku nggak apa-apa kok, Bu," kata Surya memberanikan diri untuk menatap Siti.
Kedua mata Siti melotot dan hal itu mampu membuat Surya terkejut kembali, tiba-tiba Surya langsung merinding hingga pori-pori tangan nya membuka dengan bulu kuduknya berdiri. Surya merasa wajah Siti seperti sosok wanita yang ada di dalam mimpinya tadi. Namun, hal tersebut tidak memungkinkan karena di dalam mimpinya tadi adalah seorang anak kecil, tetapi wajahnya tidak terlihat begitu jelas.
"Nggak usah bohong! Ibu nggak pernah ngajarin kamu bohong. Ibu memang nggak baik dan jarang ada waktu buat anak, tapi ibu ingin memiliki anak yang berpribadi baik, termasuk jujur. Ingat, Surya, kepercayaan itu ibarat berlian yang harus dijaga karena berlian adalah barang yang mahal, sama hal nya seperti kepercayaan yang di dalamnya terdapat kejujuran. Jadi, jangan sampai kamu membuat orang lain kecewa karena kebohonganmu itu," nasihat Siti dengan tangannya yang masih mengelus pelan puncak kepala anaknya, dia masih teringat ucapan seorang dukun bayi yang telah mengingatkannya bahwa Surya adalah anak gandeng mayit.
"Iya, Bu," sahut Surya.
"Coba cerita sama Ibu."
Surya menghela napas dan kedua matanya menatap wajah Siti. Sebenarnya dia sangat malas menceritakan hal tadi karena rasa kantuk sangat menyerang dirinya. Namun, mau bagaimana lagi, perintah Siti harus dituruti agar dia tidak akan marah.
"Jadi, tadi aku mimpi buruk, Bu. Tubuhku tidak bisa bergerak, suaraku menghilang, dan aku juga merasakan sesak napas secara tiba-tiba."
"Oh itu namanya rep-repan, biasanya orang sini sering menyebutnya sedang direp-repi."
"Direp-repi itu apa, Bu?"
"Direp-repi itu saat kamu merasa bangun tidur tapi badan kamu sulit digerakkan dan mulut terkunci. Sebenarnya kalau masalah suara memang seperti terdengar, tapi itu hanya jeritan batin saja, sehingga tidak bisa didengar langsung oleh diri sendiri maupun orang lain melalui indra pendengar. Nah, yang paling parah napas kamu memang akan terasa sesak seperti ada orang yang menindih tubuh kamu," jelas Siti.
"Kok bisa seperti itu, Bu?" Tanya Surya, ini kali pertama dia mengalami kejadian aneh dalam keadaan tidur.
"Hal tersebut terjadi karena tubuh kamu ditindih oleh makhluk tak kasat mata."
Pada saat itu juga tubuh Surya langsung menegang, dia tidak bisa membayangkan seberapa besar makhluk yang telah menindih tubuhnya. Tiba-tiba bulu kuduk Surya meremang dan kedua bahunya terasa berat. Kedua matanya menyapu lingkungan sekitar dengan hembusan angin lewat sela-sela pagar meniup api damar ceplik, sehingga membuat cahaya ruangan tidak bisa stabil. Tangan kanan Surya mengelus leher belakangnya, dia merasakan ada aura mistis di dalam kamar karena dia merasakan hawa panas dingin menyerang tubuhnya dan hembusan angin di dekat telinga kirinya mengganggu pendengaran. Reflek tangan kiri dia menggosok telinga kirinya.
Surya memejamkan mata sekejap dan berusaha tenang untuk melawan rasa takut yang terus menyerang dirinya. Setelah itu, dia kembali memfokuskan tatapan mata ke wajah Siti. Jangankan ke belakang, ke samping kanan dan kiri saja dia tidak berani.
Tiba-tiba Surya merasakan ada sesuatu yang aneh lagi. Bahunya terasa seperti ada tangan yang sedang menggelitiki. Respon tangan Surya begitu cepat untuk memegang area yang membuatnya tidak nyaman. Anehnya, dia tidak menemukan satu pun sesuatu di kedua bahunya. Dia bingung mengenai hal tersebut, antara tangan makhluk ghaib atau hanya perasaannya saja. Semakin memikirkan hal tersebut maka semakin ciut pula nyalinya. Akhirnya dia memutuskan untuk membuang segala pertanyaan negatif yang membuat dirinya ketakutan.
"Kamu kenapa?" Tanya Siti.
"Ah, nggak apa-apa, Bu. Cuma sedikit terkejut saja karena tadi aku hanya mengira bahwa diriku sudah meninggal. Apa yang membuat diriku ditindih makhluk halus, Bu? Padahal aku tidak pernah mengusik dunia mereka deh."
"Kalau kata nenek kamu dulu, direp-repi itu terjadi karena tempat yang kamu tiduri kotor. Kemungkinan kamu jarang membersihkan kamar, sedangkan makhluk halus menyukai tempat-tempat yang kotor," jawab Siti.
Ternyata benar, di pojok kamar terdapat bungkus plastik bekas jajan sejak 2 hari yang lalu. Surya menepuk jidatnya karena lupa membuang plastik sampah tersebut. Pada saat itu, dia kehilangan diri sendiri karena otaknya dikuasai oleh rasa malas dalam hal kebersihan. Selain itu, kondisi rumah juga yang menjadikan dirinya semakin tambah malas dalam hal kebersihan, terutama kondisi lantai. Jangankan di keramik, lantai semen saja tidak. Kalau mau lantai keramik sama saja over halu bagi Surya. Rumah saja masih terbuat dari bilahan bambu, boro-boro mau di keramik.
Hidup serba terbatas tidak membuat Surya putus asa dalam menjalani hidup, dia sangat bersyukur atas apa saja yang telah dimilikinya, meskipun dia dan keluarganya hidup di sebuah rumah yang masih terbuat dari bilahan bambu dengan lantai yang masih terbuat dari tanah. Setidaknya rumahnya bisa digunakan untuk berteduh ketika cuaca panas maupun hujan. Mungkin beberapa orang sudah tidak heran lagi jika menemukan persoalan seperti hal tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
"Oh, seperti itu ya, Bu. Di mimpiku tadi ada seseorang yang rasanya deket banget sama aku, Bu. Wajahnya nggak jelas dan aku nggak mengenalnya, tapi aku bingung karena aku merasa bahwa batinku itu kuat banget sama dia, seakan aku dengan dia seperti memiliki ikatan tali persaudaraan?" Tanya Surya penasaran mengenai sosok anak yang ada di dalam mimpi tadi.
Siti hanya diam dengan tatapan mata kosong, sehingga Surya pun kembali bergidik ngeri. Dia masih tetap diam di saat Surya mengibaskan tangan kanannya di depan wajah Siti. Nyali Surya kembali semakin menciut dan berpikir bahwa Siti sedang kesurupan. Surya berusaha ngesot, yaitu dengan memundurkan pantatnya guna jaga-jaga jika nanti ada hal buruk yang terjadi secara tiba-tiba.
Ketika tubuh Surya semakin ke belakang, tiba-tiba Siti kembali menatapnya tajam. Surya lebih memilih untuk diam sejenak daripada mengambil resiko yang tak lain hukuman dari Siti, dia terkejut ketika Siti tiba-tiba berdiri. Jantungnya kembali terasa seperti akan terlepas begitu saja.
"Sudah malam, tidur!" Suruh Siti dengan raut wajah dingin dan datar, dia membalikkan badan dan meninggalkan Surya di dalam kamar. Surya hanya bisa menatap Siti dari punggungnya yang semakin menjauh.
Angin kembali berhembus melewati celah-celah pagar. Hawa dingin terasa menusuk ke setiap pori-pori. Gerimis datang membasahi rumah yang terbuat dari pagar. Pikiran Surya belum bisa tenang karena masih bertanya-tanya tentang kejadian pada malam ini dan belum mendapatkan jawaban pula.
Bagi Surya, malam ini adalah malam yang begitu menyeramkan. Apalagi ditambah dengan suasana menegangkan seperti ini setelah terjadinya gerimis. Terkadang ada kilatan petir yang begitu cerah membuat rumah seperti memiliki penerangan penuh secara sementara.
"Ya Tuhan lindungilah aku," batin Surya.
Saat surya memandang wajah Arga, dia ingin sepertinya untuk menikmati tidur malam tanpa ada gangguan. Surya yakin bahwa tidur Arga terlalu nyenyak karena dia mendengar suara dengkurannya. Wajah Arga terlihat sangat polos dan damai seperti orang tanpa masalah.
Surya kembali merebahkan tubuh dan membungkus tubuhnya menggunakan sarung. Setidaknya bisa mengurangi udara dingin yang terus menyelimuti tubuhnya. Dia ingin kembali tidur, tapi cukup sulit pada saat ini. Hal bodoh yang terlintas di pikiran Surya, yaitu menghitung genteng untuk memancing rasa kantuk lagi.
"Satu... Dua... Tiga... em--"
Jduaarrr!
Suara guntur dengan kilatan petir secara bersamaan membuat Surya semakin takut. Lagi-lagi dia dipaksakan oleh keadaan untuk bisa tetap diam dan tenang. Jika saja dia kembali menjerit maka Siti akan kembali datang sambil memarahinya, sehingga Surya hanya bisa menggunakan bantal untuk menutup wajahnya sambil memejamkan kedua mata. Setidaknya dapat mengurangi rasa takutnya pada malam ini. Akhirnya Surya berhasil tertidur. Namun, ada hal aneh kembali terjadi, dia mendengar suara isak tangis perempuan.
Kali ini Surya bertekad untuk mencari sumber suara tersebut, dia sendiri tidak tahu mengapa hal ini bisa kembali lagi terjadi pada dirinya. Seakan tubuhnya memang diprogram untuk mencari sumber suara tersebut, padahal dari hal-hal aneh tadi saja sangat membuatnya takut dan cukup lelah. Bukan hanya kegiatan yang menggunakan tenaga saja yang bisa lelah, menggunakan otak pun bisa, apalagi jika dipaksakan untuk bisa berpikir terhadap apa yang seharusnya tidak masuk akal untuk dipikirkan.
"Aku harus berani," ujar Surya menyemangati dirinya sendiri.
Langkah kaki Surya sangat pelan bahkan nyaris sampai tidak mengeluarkan suara, dia berhenti sejenak untuk memastikan suara tangis tersebut yang semakin dekat dan semakin terdengar jelas pula. Sepertinya suara tersebut tepat di hadapannya hanya terhalang oleh gorden saja. Akhirnya dia pun membuka gorden tersebut untuk memastikan asal suara tersebut.
"Astaga!" Pekik Surya dengan kedua mata yang sudah membulat sempurna.