webnovel

Saya Mau Kamu

"Gue nggak suka nunggu," ketus Eiryl. Setelah menunggu kedatangan Alga hampir setengah jam.

Laki-laki itu baru saja menampaki kaki nya tepat di samping Eiryl dan hanya diam seakan tidak mendengarkan apapun yang gadis itu katakan. Sampai akhir nya dengan gemas Eiryl membalikkan tubuh nya menatap Alga.

"Saya, bukan gue," sanggah Alga datar. Pandangan nya pun tertuju lurus ke arah jalanan di depan nya.

Tanpa sadar Eiryl meremas tangan nya dan ingin mencakar wajah Alga. "Nggak usah sok!" maki nya.

"Punya keturunan dari China?" Tanya Alga membalikkan tubuh nya menghadap Eiryl dengan tenang.

"Emang yang boleh ngomong lo-gue itu cuma orang China?" sedang Eiryl cukup kesal dan menatap Alga dengan berang.

"Mencintai bahasa sendiri itu lebih baik," balas Alga tetap tenang.

Eiryl memilih diam dan enggan lagi membuka pembicaraan, apapun itu topik nya. Ia mengayunkan kaki nya dengan tidak memedulikan Alga. Namun tanpa disadari, tatapan Alga begitu memperhatikan pada cara nya berjalan.

"Putri Keraton, ya?" tebak Alga lagi setelah menyejajarkan langkah nya.

Seketika Eiryl menghentikan langkah nya dan menatap Alga dengan galak.

"Emang kenapa? Mau ngejek aku lagi? Kalo aku ndak pantes pake bahasa gaul lagi? Hah?!" omel Eiryl benar-benar meluapkan emosinya. Nada bicara nya pun lebih terdengar mirip dengan orang-orang Jawa saat marah.

Melihat kemarahan Eiryl, Alga malah tersenyum. "Ojo nepsu, ayu," balasnya dengan bahasa Jawa yang tidak kalah kental.

*Jangan marah, cantik*

Eiryl seketika bungkam. Ia menunduk malu.

"Kenapa?" Eiryl tidak menjawab pertanyaan Alga. "Tersipu?" lanjut Alga dengan senyuman yang mengembang di sudut bibirnya.

Eiryl masih diam.

"Saya juga asli Jawa. Tapi entah kenapa malah terdampar di ibu kota. Padahal saya nggak pernah berharap jadi warga ibu kota," ujar Alga.

"Me-memang nya kenapa?" tanya Eiryl meski terasa kelu.

Alga tidak menjawab pertanyaan Eiryl dan malah menatapnya lekat-lekat. Mungkin ini bagian terpedih yang bapak dan ibu rasakan saat harus terusir dari rumahnya sendiri. Lalu mencari pelarian dari keluarganya yang tidak lagi mau menerima nya.

"Yowes, ndak usah di bahas lagi," putus Eiryl akhirnya. Ia melanjutkan langkah nya.

"Maaf," ujar Alga pelan. Namun terdengar jelas oleh Eiryl, hingga gadis itu membalikkan tubuh nya dan menatap Alga.

"Kenapa harus minta maaf?" tanya nya.

Ah. Iya. Kenapa harus minta maaf? Oh, ayolah Alga! "Kalo gitu, nggak jadi deh," balasnya meringis.

"Aneh," ujar Eiryl terkekeh.

"Aneh?" ulang Alga tidak mengerti.

"Iya. Kamu laki-laki aneh," ujar Eiryl memperjelas.

Namun Alga semakin bingung akan maksud dari gadis di samping nya.

"Kenapa? Heran?" Eiryl menatap Alga dengan perasaan puas. Akhirnya ia bisa membuat laki-laki itu mengernyitkan dahi nya.

"Ah, iya. Saya memang aneh," Alga menggaruk tengkuknya.

"Memang," respon Eiryl cepat.

"Aneh. Mulai menyukai seorang gadis yang baru saya kenal. Aneh bukan?"

Langkah Eiryl tiba-tiba berhenti begitu saja. Hingga nyaris saja Alga yang sedang berjalan di belakangnya menabrak tubuh nya yang tidak sepadan. "Maksud mu apa?" sarkas nya menatap Alga.

Alga malah termangu menatap Eiryl dengan mata nya yang lugu. "Nggak ada," jawab nya setelah terdiam cukup lama.

"Lalu, siapa gadis itu?" selidik Eiryl hingga menelisik ke dalam retina laki-laki di hadapan nya.

Alga malah terpaku dengan lidah nya yang begitu kelu. "Udah lah. Nggak usah di bahas," putus Alga segera berlalu.

Sekali lagi Eiryl berteriak, "Dasar aneh!" Gadis itu berlari keluar dari gerbang sekolah menuju bus yang berhenti tepat di halte depan sekolah. Namun bus itu tidak lama kemudian sudah berlalu lebih dulu sebelum Eiryl memijakkan langkahnya di halte.

Di kejauhan sambil berjalan dengan santai, Alga menjulurkan lidah nya ke arah Eiryl. Kemudian ia tertawa, meski gadis yang kini berada di hadapan nya terlihat cemberut.

"Itu nama nya azab. Bilangnya mau bareng malah ngeduluanin," oceh Alga langsung duduk di bangku panjang halte.

Eiryl tidak membalas ocehan Alga. Ia malah meledek nya dengan wajah nya yang dibuat aneh. Alga pun sukses tertawa karena nya. Namun tidak lama kemudian Eiryl ikut tertawa dengan bola mata tertuju lurus ke arah Alga.

"Gimana? Aneh nggak?" tanya nya sambil menahan tawa.

"Iya. Aneh." Alga mengiyakan dan Eiryl malah semakin cengar-cengir tidak karuan.

"Seaneh apa aku di mata kamu?" tanya Eiryl ikut duduk di samping Alga.

Alga mengedikkan bahu nya. "Entah" jawabnya malas berpikir panjang.

"Kok entah?!" protes Eiryl.

Alga bangkit dan membawa Eiryl menuju cermin cembung di dekat halte dan gerbang sekolah. "Seaneh ini," ujar nya sambil memegang kedua bahu Eiryl.

"Kamu juga aneh," balas Eiryl menatap Alga dari cermin cembung di depan nya. "Kita sama-sama aneh," lanjut nya sambil tertawa.

Suara deru kendaraan bongsor terdengar semakin mendekat dan tak lama kemudian berhenti tepat di depan halte.Dengan segera Alga dan Eiryl melangkah cepat menuju bus. Menaiki nya dan langsung menuju ke deretan bangku paling belakang.

Eiryl mengeluarkan ipod-nya lalu menyambungkannya dengan earphone dan tersenyum saat pandangan Alga jatuh kedalam retina nya. "Aku kurang suka sama suara bising," ujar nya jujur.

Alga tidak berkomentar banyak, karena ia pun begitu. "Suka lagu apa?" tanya nya.

"Banyak," jawab Eiryl.

Alga terkekeh.

"Kok ketawa?" Eiryl mengernyit heran.

"Sekarang saya tanya, boleh?"

"Tanya apa dulu."

Alga menarik napas nya. " Pernah merasa tidak rela kepada seseorang?"

Eiryl terdiam sejenak. Beberapa menit kemudian ia mengangguk.

"Kalo boleh tau, siapa orang itu?" Alga menatap Eiryl dengan lekat. Seakan jika ia berkedip sekalipun, gadis di hadapannya ini akan menghilang.

Tapi nyaris dua puluh detik, Eiryl memilih bungkam sebelum akhir nya membuka mulut nya dan berucap, "Kamu," dengan lirih.

Alga merasa napas nya tercekat. Ia buru-buru menolehkan kepala nya ke arah lain. Sedangkan Eiryl menundukkan kepala nya.

"Maaf," ujar Eiryl.

"Kamu unik," balas Alga.

"Unik?" Eiryl mengerjap-ngerjapkan mata nya.

"Ya," balas Alga singkat dan kembali memilih diam.

Eiryl terkekeh geli sendiri. Lalu pandangan nya ia arahkan pada jendela di samping nya. "Unik," gumam nya lagi.

Alga menoleh pada gadis yang kini tengah senyum-senyum sendiri. Benar-benar unik, hanya karena hal sekecil itu Eiryl dapat menguraikan senyuman nya. Senyum manis milik Alga pun mengembang.

"Saya mau kamu," bisik nya pada Eiryl yang seketika termangu.

Bus yang di tumpangi nya sebentar lagi terhenti, petugas bus trans pun mulai menginformasikan halte tujuan. Sampai akhirnya bus itu berhenti, Eiryl masih menatap Alga berharap dapat menangkap maksud dari yang laki-laki itu katakan. Namun ia harus tersadar karena halte tujuan nya sudah sampai.

Tangan Alga terulur di balik banyak nya penumpang yang hendak turun. Dengan ragu Eiryl meraih uluran tangan itu. yang ternyata begitu hangat dalam genggaman nya dan begitu halus dari cara nya menggenggam.

Kaki nya sudah menapaki pelataran halte bersamaan dengan bus yang berlalu, serta para penumpang tadi yang imut berhamburan ke arah tujuan nya masing-masing.

"Kamu bersama ku," lanjut Alga dengan ucapan nya yang sebenarnya sempat terpenggal karena berisik nya suara kondektur bus.

Kini Eiryl yang sukses di buat nya tercekat. Apa ia tadi salah dengar? Ah, bukan. Apa ia mulai jatuh hati? Apa semudah itu untuk terjatuh?

Alga sadar dengan kesalahan besar nya, yaitu membuat gadis di hadapannya ini menjadi bersemu merah.

"Maaf," ujar nya merasa sangat bersalah.

"Nggak apa-apa," balas Eiryl yang kemudian mendahului langkah Alga.

Alga kemudian mengekor di belakang Eiryl. Tidak jauh, hanya delapan puluh sentimeter dari jarak gadis itu.

Eiryl melepas earphone yang sedari tadi menyumpal di telinga nya. "Kamu bisa main musik?" tanya nya kemudian.

"Cuma bisa main gitar, nggak ada yang lain," ujar Alga sekenan nya.

"Nggak coba belajar alat musik lainnya?" tanya Eiryl lagi.

Ah, Alga mendesah panjang. Seperti nya Eiryl memang di ciptakan untuk menjadi seorang wartawan. Kemudian ia menggeleng pelan.

Eiryl menghentikan langkah nya. "Kenapa?" Ia menatap Alga lagi.

"Nggak pernah punya cita-cita buat jadi anggota band," jawab Alga dengan enteng.

"Emang apa cita-cita kamu?"

Alga membalas tatapan Eiryl. "Membahagiakan orang-orang yang saya sayang."

"Hm." Eiryl bergumam, "Setiap seorang anak selalu bercita-cita begitu," ujar nya.

"Memang." Alga menyetujui nya.