webnovel

Menyatukan Dua Hal Berbeda

Kedua tangan Eiryl merentang saat langkah nya melewati pepohonan rindang di bahu jalan. Meneduhkan sinar matahari yang cukup terik. Angin berembus menguraikan rambut nya yang indah. Kedua mata terpejam sejenak untuk merasakan hembusan angin yang menerpa wajah nya.

"Hari jum'at sampai minggu sekolah kita ada acara penerimaan tamu ambalan anggota Pramuka baru. Kamu ikut?" tanya Alga kembali membuka obrolan nya yang lain. Semoga Eiryl tidak bosan dengan nya yang memang membosankan.

Eiryl mengangguk ambisuis. "Ada tiga ekstrakurikuler sekolah yang aku ikuti. Pramuka, PMR, dan seni tari," ujar nya kemudian. Ia membuka mata nya dan menatap Alga yang wajahnya yang lurus ke depan.

"Lalu apa ekskul yang kamu ikuti?" tanya nya pada Alga yang malah mengedikkan bahu.

"Kok nggak tau?" Lagi-lagi Eiryl memprotes jawaban nya.

"Kurang suka sama ekstrakurikuler sekolah," jawab Alga.

"Salah satu pun nggak ada yang kamu ikuti?" tanya Eiryl lagi.

Alga diam sejenak. "Ada," jawab nya.

"Apa?"

"Pramuka. Mungkin."

"Kok mungkin? Yang pasti dong!"

"Saya belum ijin sama orang tua. Jadi belum bisa memastikan."

Eiryl kembali memilih diam. Hingga sampai lah langkah nya tepat di depan gerbang besar rumah nya. Tanpa ragu ia pun masuk. Tapi langkah nya harus berhenti saat tidak terdengar suara satu langkah pun dari sepatu Alga. Ia pun membalikkan tubuh nya menatap Alga yang malah tersenyum ke arah nya.

"Kok diem?" tanya Eiryl heran.

"Bukan nya ini rumah kamu?" Dengan wajah nya yang bingung Alga malah berbalik tanya.

"Emang kamu nggak mau main?" balas Eiryl meski sebenar nya agak gemas.

Alga malah terpaku di tempatnya. Tanpa segan Eiryl menarik Alga untuk ikut masuk ke dalam rumah nya.

"Kamu tunggu disini, ya. Aku buatin minum dulu," ujar Eiryl mendudukkan tubuh Alga di sofa ruang tamu yang empuk nya membuat Alga tanpa sadar menguap.

Eiryl yang hendak berlalu menoleh ke arah nya dan Alga malah nyengir lebar. Menunjukkan gigi gingsul nya di sebelah kanan, membuat nya terlihat begitu manis.

"Maaf. Ini jam tidur siang," ujar Alga terkekeh geli.

Eiryl memutar bola matanya dengan gemas. Kemudian berlalu meninggalkan Alga.

Sepeninggalan Eiryl dari ruang tamu, Alga mengedarkan pandangannya ke seluruh sudut ruang. Rumah yang begitu mewah untuk seukuran nya. Ah, bahkan bisa di sebut sebagai surga nya dunia. Tangga rumah yang berdiam gagah di sisi ruangan. Juga piano yang dengan anggun nya bertengger memenuhi ruang tengah. Tidak hanya itu, ada guci hias dengan ukuran nya yang mungil dan sengaja malah di isi tanaman oxalis plant. Tanaman berwarna ungu dengan bentuk nya yang unik.

"Kamu tau tanaman itu?" tanya Eiryl yang ternyata sudah berdiri di samping nya.

"Iya." Alga hanya mengangguk saja. "Suka warna ungu?" tanya nya penasaran.

"Mama yang suka. Kalo aku lebih suka warna cokelat," jawab Eiryl sembari memberikan jus jeruk yang di buat nya kepada Alga.

"Oh," Alga ber-oh ria. Ia menerima jus jeruk buatan Eiryl lalu meneguk nya sedikit. Diri nya masih takjub dengan isi dalam rumah Eiryl.

"Yuk," ajak Eiryl.

"Kemana?"

"Lantai dua."

Pandangan Alga mengedar ke arah tangga itu.

"Ayo," ajak Eiryl menuju lantai dua yang siap menyuguhkan pemandangan asri dari halaman luas rumah nya.

Mau tidak mau Alga mengekor hingga langkah nya tiba di lantai dua yang tidak pernah ia duga dan semakin membuat nya takjub. Ruangan luas dan terbuka di tumbuhi pepohonan mungil yang membuat sekitar nya menjadi lebih sejuk.

Langkah nya berhenti saat netra nya harus terpanah akan indah nya pemandangan gedung-gedung pencakar langit di kejauhan sana.

"Kamu boleh kok, setiap hati ke sini," ujar Eiryl sembari meletakkan minuman yang ia bawa di meja bundar.

Alga malah tertawa lantas duduk di samping Eiryl. "Ternyata kamu seorang putri dari sebuah kerajaan besar yang papa mu bangun," ujar nya.

Menanggapi nya Eiryl hanya tersenyum. Kemudian ia bangkit dan berjalan ke dalam rumah nya untuk mengambil gitar akustik milik nya.

"Bisa nyanyi?" tanya nya setelah kembali dan duduk di samping Alga.

"Suara saya fals," balas Alga hanya untuk beralasan.

"Bohong," sangkal Eiryl cepat.

Alga hanya bisa berdecak.

Tanpa aba-aba Eiryl mengintro sebuah lagu yang tidak asing pula di telinga Alga. Ia memetik gitar nya dengan begitu halus.

G#...

F# C# G#

F# C# G#...

Kemudian berhenti dan menatap Alga. "Aku mau kamu yang nyanyi," ujar nya memberikan gitar nya pada Alga.

Alga menerima nya. "Oke," gumam nya pasrah. Ia pun mulai mengulang intro lagu yang Eiryl inginkan. Lalu kemudian menyanyikan lagu tersebut dengan penuh perasaan.

Terlihat Eiryl begitu menikmati lagu yang Alga bawakan. Lebih tepat nya menikmati suara serak basah yang terdengar begitu halus. Gadis itu tersenyum melihat rona manis wajah Alga saat menyanyikan lagu yang ia pinta.

Lagu itu berakhir. Alga mendekap gitar milik gadis nya. Ehm, ralat. Milik Eiryl, gadis yang memiliki senyuman tulus di balik sifat nya yang rendah hati. Alga tahu itu. Ia tahu dari roman Eiryl yang selalu berkata jujur.

Ditatap nya Eiryl lekat-lekat. Seolah-olah ia ingin menyatukan sesuatu yang mulai tumbuh jauh di dalam sana.

"Ini tentang sebuah musik. Yang di bawakan dengan rasa. Dan perlahan menumbuhkan benih lebih dari sekedar suka. Lantas ini tentang puan. Apa aku bisa memiliki nya? Sedang ada dua hal perbedaan. Dunia dan keyakinan."

Sungguh Alga tidak sadar mengatakan perasaan yang sebaik nya ia kubur dalam-dalam. Ia seharusnya sadar, siapa diri nya dan siapa Eiryl yang memiliki segala nya.

Eiryl membisu bersama tubuh nya yang terpaku. Ia menunduk saat merasakan debaran hebat mulai menyerang jantung nya. Alga terlalu cepat berkata jujur. Dan diri nya, terlalu cepat jatuh terkubur di antara bunga-bunga hati yang bermekaran.

Akhirnya Alga tersadar dengan apa yang baru saja ia katakan sehingga membuat atmosfer di sekitar nya membeku kaku. Ia berdehem pelan. Berusaha mencairkan suasana.

"Gimana? Apa saja layak untuk masuk ekskul teater?" tanya nya kemudian sekaligus beralibi.

Eiryl terkesiap. Ia sudah tersipu. Tapi apa ini?

"Jadi itu..." Eiryl tidak dapat melanjutkan kata-katanya.

"Iya. Sejak SMP saya pengen banget buat ikut masuk ekskul teater. Tapi... ya sudahlah. Lupakan," jawab Alga meyakinkan Eiryl. Ia ingin Eiryl tahu perasaan nya, tapi ini terlalu cepat untuk mengatakan nya. Pasal nya, baru kemarin ia mengenal gadis ini.

"Tapi apa?"

Alga seharusnya dapat menduga bahwa Eiryl akan selalu banyak tanya.

"Bapak nggak kasih ijin," ujar Alga sekenanya. Lagi pula memang itu yang paling ampuh untuk beralasan dari sekian ribu alasan. "Yo wes, saya nurut," lanjut nya.

"Oh," komentar Eiryl terlihat lesu.

"Kalo kamu mau, nanti kapan-kapan ikut saya ke suatu tempat," ucap Alga lagi. Berusaha untuk mengukir senyuman dari bibir Eiryl.

"Kemana?" tanya Eiryl.

"Nggak jauh dari sini. Tapi saya yakin kamu akan suka," jawab Alga begitu percaya diri.

"Oh ya?" Ah, Eiryl meragukan nya.

"Ya." Alga hanya mengangguk.

Eiryl menyandarkan tubuh nya pada sandaran sofa yang empuk. "Aku pikir tadi itu kamu serius," gumam nya pelan dengan bola mata yang tertuju ke arah meja bundar.

Sekarang Alga merasa sangat bersalah. Ia sudah menyentuh hati Eiryl yang ternyata mudah luluh untuk nya. Ia tersenyum, meski saat ini cukup berat untuk mengangkat kedua sudut bibir nya. Ia sekarang tau, Eiryl memang gadis yang unik.

Eiryl tertawa. Hambar. Bahkan masam. Ia merunduk untuk mengambil album keluarga yang di simpan di laci bawah meja bundar.

Tangan nya bergerak membuka album halaman demi halaman. Lalu menunjukkan nya pada Alga.

"Ini kamu?" tanya Alga begitu penasaran saat melihat foto seorang gadis kecil dengan rambut panjang nya.

"Iya," jawab Eiryl.

"Dan ini papa dan mama mu? tanya Alga lagi dan Eiryl mengangguk.

"Ini oma dan ini opa," ujar Eiryl menunjuk lembaran foto tersebut.

Hening. Eiryl menatap foto papa dan mama nya dengan penuh kerinduan.

"Papa dan mama pun berbeda."

Alga terdiam berusaha mencerna kata-kata Eiryl.

"Papa seorang Kristiani dan mama seorang Hindu. Tapi akhir nya papa dan mama bersatu. Langit merestui cinta nya."

"Hebat. Cinta itu luar biasa. Bisa menyatukan dua hal yang berbeda," gumam Alga tidak percaya.

"Dan mama pun memilih untuk ikut dengan papa." Eiryl menatap Alga. "Apa kita bisa seperti mereka? Yang bersatu dalam cinta," tanya nya serius.

Alga meneguk salivanya dengan susah payah. Ia tidak percaya dengan hal ini yang di ungkapkan langsung oleh Eiryl. Apa ia tidak salah dengar?