webnovel

Membalas Kebaikan

"Kalau kau tertarik bilang ya. Senior pasti akan membantu."

"Terima kasih banyak, ya Kak, hehe." Maya mengengeh lalu pamit pergi dari sana.

Ia bahkan melambai sembari tersenyum lebar pada seniornya. Rimba membalas lambaiannya. Rimba menatap Maya yang terlihat kecil, entah dari dekat atau kejauhan. Dia pendek dan imut.

"Pantas saja Tian marah aku membandingkannya dengan gadis lain. Maya memiliki vibes yang positif dan jujur. Dan dia sangat imut dan lucu seperti kucing."

Rimba mengingat lagi saat ia berjalan melewati lorong saat meninggalkan ruang kelas tadi. Beberapa orang membicarakan Ella yang ternyata bukanlah sang diva yang sempurna. Yang lain bahkan mengatakan Ella memang cantik namun ternyata mengkhianati temannya dan pacaran dengan mantan pacar temannya. Ternyata gosip tentang Ella kemarin telah menyebar. Dia yang awalnya sangat disukai semua orang. sekarang berbalik, meskipun masih banyak orang yang fanatik dan menghujat Maya.

Seketika itu, Rimba tersadar bahwa apa yang ia lontarkan pada Tian kemarin memang pantas dimarahi. Ia menyesal membandingkan perempuan secara fisik, padahal ia belum mengenal dekat keduanya. Rimba menghela napas berat melihat Maya. Untuk menebusnya ia memberi informasi tentang lomba itu secara pribadi untuknya. Meskipun dirinya tidak seharusnya termakan gosip tentang Ella atau tentang siapa yang salah diantara dua gadis itu.

"Aku sudah menebus kesalahanku kan," kata Rimba.

***

Maya kembali ke apartemen dan berniat mengajak Tian dan Oska secara langsung alih-alih menghubunginya lewat chat. Ia berdiri di depan kamarnya lalu menoleh ke kanan dan kiri. Ia bingung harus ke kamar Tian atau Oska dulu.

"Bukankah aku harus berterima kasih pada orang yang menggendongku kemarin? Ah sial, tapi siapa? Kenapa aku tidak ingat sih?"

Ia hendak ke kamar Oska, namun tiba-tiba pintu kamar Tian berdecit. Tian keluar dari kamar membawa kantung sampah. Ia berpakaian biasa, training dan rambut yang basah seperti habis keramas. Ada handuk kecil putih yang melingkar di leher belakang. Maya terperangah menatapnya. Sialnya, mata mereka bertemu. Tidak hanya Maya, Tian juga terkejut. Ia menaruh kantung sampah di kotak sampah dekat kamarnya tanpa melihat Maya. Dengan cool ia segera kembali ke kamar dan menguncinya.

"Kenapa aku diam saja?" batin Maya. Ia lalu berjalan cepat ke depan pintu dan mengetuknya.

"Se…senior," panggilnya.

Tanpa Maya tahu, wajah Tian memerah karena malu. Sejak kemarin saat Maya sakit, entah kenapa ia terus memikirkannya. Hingga membuatnya saat ini sangat gugup bahkan jantungnya berdegup kencang. Tian sebenarnya mendengar Maya karena ia berdiri di balik pintu sembari memegang dadanya panik.

"Kenapa aku begini?" Tian merutukinya sikapnya sendiri.

"Senior? Kau mendengarku? Bisakah kita bicara sebentar?"

Tok tok tok.

"Ada apa?"

"Haruskah kita mengobrol seperti ini. Setidaknya buka dulu pintunya."

Tian terpaksa membuka pintunya dan menghadapi Maya.

"Ada apa?" Tian berdiri di hadapan Maya. Maya menatapnya, dan jantungnya makin tak karuan. Ia benar-benar kacau.

"Anu….kemarin," Maya juga sebenarnya sangat malu mengatakannya. "Terima kasih ya."

Tian memalingkan wajahnya malu, namun Maya menangkapnya bahwa seniornya sedang marah. Ia panik.

"Senior, aku minta maaf merepotkanmu kemarin. Kudengar dari Kak Rimba katanya kau tidak masuk kelas. Apa kau sakit?"

"Ha? Rimba? Ck." Tian nampak sebal mendengar namanya setelah kemarin anak itu membanding-bandingkan member baru club.

"Apa kau menggendongku kemarin? Senior aku…."

"Kenapa kau terus memanggilku senior! Kau memanggil bocah sialan itu Kakak kenapa panggil aku senior terus?"

Maya kaget mendengar Tian yang marah dan kesal. Suaranya meninggi. Ia tidak tahu kalau Rimba dan Tian benar-benar bertengkar. Kemarin dia hanya menduga saja. Maya diam menatap Tian.

"Maaf. Aku bukannya marah padamu," kata Tian kemudian. "Jangan panggil aku senior senior terus, paham?"

"I…iya."

"Apa ada yang mau kau bicarakan lagi?"

"Itu…." Maya ragu. "Maukah kau makan bersamaku?"

"HA?" Tian kaget. "Apa dia gila? Dia mengajakku kencan?" batin Tian.

"Aku sangat berterima kasih kemarin. Jadi aku ingin membalasnya. Hehe." Maya mengengeh.

"Ah begitu, cuma membalas kebaikan rupanya," Tian kecewa.

"Apa Kak Tian tidak mau?"

"Bukan itu. Baiklah kalau begitu."

Maya tersenyum lebar. Tian menatapnya, entah kenapa ia malah tambah tidak nyaman.

"Apa kau selalu tersenyum seperti itu?"

Maya sontak berhenti meringis.

"Tidak. Tersenyum saja. Tunggu dulu, aku ganti baju dulu."

"Kau tidak sakit kan berarti?"

"Hem," kata Tian lalu masuk dan menutup pintunya. Di dalam ia melangkah ke sana kemari karena khawatir suara degup jantungnya yang sangat keras terdengar keluar seolah mau copot. Dia pikir dirinya sudah gila.

Sementara itu mengajak Tian sudah berhasil, saatnya Maya mengajak kamar sebelahnya lagi, yaitu Oska.

Tok tok tok.

"Kak Oska. Apa kau di dalam?"

Oska yang memakai hoodie dan celana pendek selutut, keluar dengan rambut yang agak acak-acakan. Maya baru sadar kalau ini pertama kalinya melihat wajahnya yang sangat bersinar. Dia sangat putih dan tampan. Maya terperangah sesaat hingga Oska menyadarkannya.

"May? May?"

"Eh iya iya hehe."

"Ada apa?"

"Apa aku mengganggu waktu istirahatmu? Maaf ya."

Oska hanya menggeleng pelan. Ia memang jarang berbicara.

"Anu itu Kak…. tentang kemarin terima kasih sudah menolongku. Aku minta maaf sudah merepotkan. Aku selalu saja merepotkan dan bikin masalah. Sekali lagi terima kasih."

"Kau sudah makan?"

"Eh?" Maya terkejut karena itu yang harusnya ia tanyakan pada Oska.

"Kau sangat ringan saat kugendong kemarin. Kurasa kau kurang asupan. Kau harus banyak makan, May. Bukankah kau ingin tumbuh tinggi?"

"Heeeeehh? Jadi Kakak yang menggendongku kemarin?? bukan Kak Tian? Astaga!" Maya menutup mulutnya.

"Apa ada yang salah?" Oska benar-benar berwajah datar. Padahal Maya sangat malu.

"Aku sangat malu," Maya menunduk.

"Oh maaf. Aku tidak tahu itu membuatmu merasa begitu."

"Apa Kakak tidak malu mengatakannya? Kau dewasa sekali, aku jadi iri."

Oska memang lebih tua beberapa tahun dari Maya. Melihat gadis itu menunduk malu, ia tersenyum tipis melihatnya.

"Auhhh dasar," Oska lalu mengacak poni rambutnya dengan pelan.

"Oh ya, aku belum makan siang. Maukah Kak Oska makan siang denganku?"

"Kau tidak ada jadwal club?"

"Ehm," Maya bersemangat. Matanya berbinar.

Oska memperhatikannya dengan lembut tanpa Maya sadari.

"Aku mau mengucapkan terima kasih tentang kemarin."

"Baiklah. Aku ganti baju dulu."

"Oke."