Beberapa saat kemudian, Oska keluar lebih dulu lalu diikuti Tian. Mereka berdua memakai kaus warna putih dan jaket warna cokelat dan memakai celana warna cream. Entah mengapa outfit keduanya hampir sama. Maya sendiri kaget melihatnya.
Tian dan Oska saling pandang canggung.
"Apa kita berangkat sekarang?" ajak Maya menoleh ke Tian dan Oska bergantian.
"Apa?!" Tian terkejut. "Kau juga mengajaknya?" Tian menunjuk Oska.
"Kenapa? Kalian berdua sudah membantuku kemarin. Terima kasih kakak-kakak yang baik, hehe." Maya mengengeh.
"Ahhhh astaga!" teriak Tian dalam hati. Apa yang ia pikirkan seperti kencan malah jadi seperti ini.
"Apa kalian pacaran?" tanya Oska tanpa beban.
"Tidak!" sahut Tian dan Maya barengan.
"Ayo berangkat saja."
"Tunggu tunggu, kita akan jalan kaki?" tanya Tian.
"Kenapa? Tempatnya dekat dengan kampus kok."
"Di mana?" tanya Oska.
"Di seberang jalan kafe punch."
"Lumayan dekat. Sudah sore jalan-jalan juga bagus. Kita lewat jalan setapak ddari arah kampus saja, biar cepat."
"Okey."
Maya dan Oska saling melempars enyum lalu melangkah mendahului Tian.
"Apa aku tidak dianggap di sini? Cih." batin Tian.
Mereka lalu turun menggunakan lift. Di dalam lift, Maya di depan dan di tengah, sedang Tian dan Oska di belakang. Mereka berdua sama-sama memasukkan tangan ke saku celana. Maya menoleh ke belakang dan melihat gaya berdiri mereka yang sama.
"Eh? Baju kalian….seperti anak kembar. Apa kalian janjian?" canda Maya.
"Kau mengolok kami?" kata Tian.
"Maaf, maaf. Kalian sangat imut." Maya tersenyum lebar.
Mendadak Tian mengingat lagi isi majalah laknat yang ia sempat baca kemarin kemarin. Gadis mungil sangat imut ketika tertawa kecil bahkan sangat sangat manis. Level imut 100 PERSEN!
Tian menggeleng menyadarkan dirinya.
"Bukan kamu, tapi kau yang imut," sahut Oska sembari mengusap puncak kepalanya lagi. Ia tersenyum hangat layaknya kakak.
Tian shock melihatnya.
"Aku imut? Benarkah?"
"Apanya? Tidak ada imut-imutnya sama sekali," sanggah Tian sarkas.
"Ck. Kau memang punya lidah pedas seperti biasa." Maya malas menanggapi jokes Tian yang tidak lucu. Ia lalu berbalik badan dan kembali menghadap ke depan.
Tiba-tiba muncul segerombolan anak laki-laki SMA yang tinggi. Mereka sepertinya club sepak bola, karena membawa keranjang bola. Ada sekitar 6 siswa masuk ke lift. Maya seketika mundur untuk memberi mereka ruang.
"Masih SMA tapi tinggi-tinggi," batin Maya merasa iri.
Bahu salah satu dari mereka menendang Maya agak keras, siswa itu menoleh, sehingga teman-temannya ikut menoleh.
"Maaf," katanya.
"Iya tidak apa-apa," jawab Maya.
Oska lalu menarik lengannya dan merangkul bahunya dari samping.
"Ke sini saja, biar tidak tertendang lagi."
Maya hanya menurut. Ia sangat canggung dan malu dirangkul begitu, padahal kalau biasanya dengan Nico dia biasa saja.
"Apa dia mencari kesempatan dalam kesempitan? Cih!" batin Tian sembari melirik jutek. Tian lalu menempel ke sisi bahu Maya yang satunya dan melepaskan lengan Oska dari bahunya.
"Kau tidak lihat dia tidak nyaman?" bisiknya.
Oska lalu melepaskan rangkulannya.
"Maaf, May. Aku tidak tahu kalau kau tidak nyaman," bisiknya di telinga Maya.
Maya mengangguk dan tersenyum seolah menandakan tidak apa-apa. Tian yang melihat kedekatan keduanya merasa sangat panas. Entah kenapa ia ingin marah, padahal dirinya mengklaim tidak menyukai Maya. Sial!
***
Di latihan berikutnya, Maya menemui Tian, Olla dan senior lainnya di ruangan club. Ia berniat bertanya lebih lanjut tentang kompetisi badminton tunggal antar universitas.
"Apakah biayanya memang selalu semahal ini?" tanya Maya.
"Iya, May. Kompetisi olahraga memang biasanya agak mahal. Aku juga tidak yakin apakah bisa ditanggung club atau tidak," jawab Olla.
"Begitu ya, Kak. Terima kasih infonya."
"Kau ingin ikut, May?"
"Aku cuma tanya infonya kok."
"Maaf ya aku tidak bisa membantu. Tapi bisa kuajukan, tapi dananya biasanya agak lama cairnya. Dan sampai saat itu mungkin pendaftarannya sudah tutup."
Maya kecewa mendengarnya tapi mau bagaimana lagi.
Ketika bekerja pun, Maya nampak tidak bersemangat dan jarang bicara, tidak seperti biasanya. Ia sangat sedih tentang kompetisi itu. Ia sangat ingin mengikutinya, namun fee nya sangat mahal. Sedang gajinya pas-pasan untuk membayar sewa dan buku baru semester depan. Ia melihat tanggal gajian di kalender, masih jauh sekali dari akhir bulan.
Ketika shift selesai jam 10 malam, Maya bersiap untuk pulang. Oska ingin menemaninya, sayang sekali shiftnya sampai jam 12 malam. Meskipun dekat, ia tetap khawatir.
Sesampai di apartemen, Maya rebahan di ranjang setelah mandi. Ia memandangi poster kompetisi itu sembari menghela napas berat.
"Sudahlah, tidak usah ikut saja," keluh kesahnya. Maya memejamkan matanya berusaha istirahat.
Tiba-tiba ponselnya berdering. Maya bangkit dan meraihnya. Itu dari mamanya. Tidak biasanya ia menelepon.
"Mama? Ada apa malam-malam begini?" gumamnya. Maya lalu mengangkatnya.
"Halo."
"Maya," panggil ibunya sesenggukan."
"Mama? Kenapa? Ada apa?" Maya sadar mamanya tidak baik-baik saja.
"Bagaimana ini?"
"Ada apa, Ma??"
"Aku menghilangkan uang arisan, hiks."
"APA!"
"Bagaimana ini? Apa yang harus aku lakukan, Nak?"
"Kakak bagaimana?"
"Aku tidak sampai hati menghubungi kakakmu. Dia bekerja siang malam."
"Lalu aku bagaimana? Apa hanya kakak yang menderita?!" Maya menahan amarahnya. Matanya berkaca-kaca. "Kenapa kau selalu seperti ini? Membuat masalah tentang uang dan berlari kepadaku? Apa hanya kakak anakmu?"
"Maya…."
"Bagaimana bisa hilang? Apa sudah diperiksa di seluruh rumah?"
"Mama yakin tadi taruh di meja tapi tiba-tiba hilang. Hiks… hiks…"
"Berapa? Berapa uang arisan yang Mama hilangkan?"
"10 juta."
***
Roy melirik nama salah satu pelamar untuk menjadi asisten adiknya. Dia adalah Maya Forenzo. Tertulis di sana, ahli dalam urusan ART alias urusan rumah tangga. Roy melotot. Ia lalu meraih ponselnya dan menghubungi teman yang menjadi recruiter pelamar.
"Apa kau sudah dapat kandidat?"
"Kau ini sebenarnya ck….bagaimana caramu menjelaskan pekerjaan ini pada mereka sih? Aku butuh asisten bukan pembantu!"
"Roy, kau itu jarang pulang kan? Apa kau tahu apa menu makan siang favorit Viola? Berapa kali kau mengajaknya makan makanan rumahan? Kau dan adikmu tidak butuh psikolog atau konseling. Jujur saja, kau itu sebenarnya butuh istri. Yah maksudku Viola baru 16 tahun, dan pekerjaanmu sangat menyebalkan baginya. Bukan berarti istri adalah ART. Hanya saja aku memang sengaja mencari yang pandai memasak dan beres-beres."
"Jadi apa maksudmu sekarang? Pelamar ini akan jadi istriku? Begitu?"