webnovel

Kara

"Sebenarnya….aku kehilangan beasiswaku."

"Apa?" Nando terkejut. Namun ia berusaha menerima informasi itu dengan kepala dingin.

Kara menunduk dan memejamkan mata. Tidak berani menatap kakaknya. Nando memegang bahunya.

"Lihat, Kakak tidak marah kan?"

Kara mendongak. "Beneran?"

Nando mengangguk. "Kakak akan mendengar alasannya lebih dulu. Kakak tahu kau tidak akan melakukan hal yang berbahaya sampai kehilangan beasiswa seperti ini. Aku akan mendengar ceritamu."

Kara menatap kakaknya dan hampir menangis.

Sebelum pulang dari asrama.

Suara dentuman musik menggema di seluruh ruangan. Hip-hop atau sejenis musik apalah. Memekik digendang telinga. Sorotan lampu biru berpijar, kelap-kelip memusingkan kepala. Pria, wanita, tak ada bedanya. Semua menari layaknya mabuk kepayang. Tunggu dulu, apa ini club malam? Ah ternyata bukan. Ini hanyalah sebuah pesta remaja tujuh belas tahun. Pesta yang tidak etis tentunya. Dan tidak mungkin tanpa kendali seseorang. Siapa lagi kalau bukan anak itu. Siswa IPS-5 yang gayanya memenuhi langit dan samudra pasifik. Cetar membahana bak Syahrini. Tidak ada yang tidak mengenalnya di sini. Seisi sekolah tahu. Bahkan alien sekalipun.

Kara menghela napas sembari menggeleng. Ia bersandar di daun pintu. Kaki kanannya tak berhenti bergerak dilantai. Mulutnya komat-kamit mendumel umpatan. Ia mati kutu di dalam sana. Berfikir semua orang telah terhipnotis oleh mantra murahan. Alisnya berkerut, matanya memicing. Betapa menyesal dirinya datang ke tempat para pecundang menghabiskan masa muda.

Seorang pria mendadak menghampirinya. Kara mendecih, seolah tak sudi berbicara omong kosong.

"Hei Anak Mama!" teriak pria itu, dentuman musik hampir menelan suaranya. "Apa kau sudah lupa cara menghibur dirimu sendiri?" oloknya.

Suara semakin bising dan mendesak di telinga. Volume yang melebihi petir di langit. Kara tak terlalu mendengar ucapannya. Pria itu mendadak berteriak seperti kehilangan kewarasan.

"Woi Gadis Norak!" teriakannya menggema. Namun deru musik dan lagu masih membumbung. "Kalau kau mau mengadu, sana mengadu!"

Kara mendecakkan lidah. Air mukanya datar. Malas menanggapi gonggongan anjing.

"Woy Tuan Superstar, kuberitahu ya" Kara menunjuk bahu pria itu sembari menekan ucapannya dan berbicara lantang. "Bagaimana kau bisa berfikir sesuai etika, jika sifat menjijikkan non etismu itu tidak kau hilangkan!"

"Kenapa? Kau punya masalah dengan sifatku? Atau dengan wajah tampanku? Aku ini seorang Bintang. Jadi untuk apa aku mendengar nasihat tuamu itu. Lebih baik kau pulang dan mengadu kepada wali kelas! Kau puas!"

Dia tertawa terbahak bahak. Tangannya memegang soda seolah ia tengah minum alkohol. Akal sehatnya benar-benar hilang.

Satu persatu dari mereka mulai tertarik dengan obrolan di dekat pintu yang melibatkan Si Bintang Populer dan Gadis Si Nomor Satu. Sekedar menoleh penasaran dengan apa yang diperdebatkan. Aktivitas menari, menyanyi, dan bergembira lainnya pun terhenti tiba tiba. Ada hal yang lebih menarik dan menegangkan untuk disaksikan. Pergolakan Si Superstar dan Si Jenius. Berkerumun seolah bertaruh siapa pemenangnya.

Kara memperhatikan sekeliling, manusia yang tak hentinya berbisik. Hingga berbusa mulut mereka. Ia menghela napas berusaha menetralkan emosinya. Matanya memicing menatap pria superstar setengah mabuk di hadapannya. Dalam hati, ia mengumpat dan mendoakan sesuatu yang buruk terjadi padanya besok.

"Kenapa diam, huh?" gertak pria superstar itu meremehkannya. "Sebaiknya kau segera melarikan diri dengan kakimu itu. Sebelum aku memakan harga dirimu hidup-hidup, Kara Kirana" ia menekan nama panjang Kara di belakang.

"Ternyata selain tidak etis, kau itu juga tak tahu arti kata 'malu' di kamus bahasa Indonesia ya, Bintang Norak?" balas Kara.

Diliriknya meja kecil tak jauh dari tempatnya berdiri. Kara bergumam bahwa inilah akhir dari riwayat Si Superstar yang telah menjatuhkan reputasinya. Mendumel seolah membaca syair pemusnah. Diraihnya segelas soda dengan cekatan. Tangan mungilnya begitu antusias. Tanpa pikir panjang, dituangkannya dengan cekatan air soda ke atas kepala pria sombong itu. Seolah air hujan mengucur dari rambut kepala hingga pakaian yang ikut basah. Dalam sekejap, Kara melarikan diri dari sana ketika tidak ada satupun anak yang memperhatikannya. Mereka sibuk histeris dengan keadaan Si Superstar yang dikagumi itu. Ia meninggalkan kerumunan para pecundang yang menghabiskan malam untuk hal yang tak berguna. Berpesta tak tahu etika dan bla bla bla.

Pria Superstar itu termenung. Wajahnya memerah menahan amarah yang bisa meledak kapan saja.

***

Nathan Adhyaksa. Kelas IPS-5. Diharap merapat ke ruang BK. Sekian.

Nathan menggertakkan giginya. Ia memasukkan kedua telapak tangannya ke dalam saku celana sembari mendecih. Umpatan dan sumpah serapah keluar dari mulutnya yang buas. Seolah akan memakan siapapun yang menatapnya. Matanya menajam penuh dendam.

Pengumuman yang Nathan-alias Superstar-baca di papan pengumuman hampir membuatnya gila dan kehilangan kewarasan. Bisa mampus dia kalau ayahnya tahu anaknya telah mempermalukan reputasi ayahnya sebagai kepala sekolah. Sungguh hukuman telak yang tak bisa ia elak.

Ia mengepalkan tangannya yang memanas bak bara api. Otaknya bekerja lebih cepat. Mencari taktik mematikan dan mengerikan untuk membalas gadis sialan itu. Dalam batinnya ia bersumpah akan membalasnya dua kali lipat dari ini.

"Cih! Gadis ini, awas saja kau!"

Ia berlari menyusuri koridor. Terengah penuh keringat. Namun tak mendapati Kara Si Gadis Pengadu itu diantara gerombolan siswi penggosip. Dicarinya ke perpustakaan, toilet, bahkan tempat parkir. Tetapi nihil. Ia berakhir dengan kelelahan. Ia berhenti sejenak setidaknya untuk bernapas. Nathan duduk bersandar di batang pohon Oak besar dekat lapangan belakang.

Panasnya udara dan terik matahari, membuatnya makin tidak sabar. Gadis itu sulit ditemukan. Ia yakin, pasti dirinya sengaja bersembunyi di suatu tempat seolah hilang. Nathan mengibas ngibaskan kerah kemeja seragamnya mencari angin. Keringat membasahi rambut dan tubuhnya. Ia berlari mengitari bangunan sekolah seolah sedang lomba lari. Mendadak sesuatu menarik perhatiannya.

"Itu kan...Kara!" jerit batinnya.

Bergegas ia berlari menghampiri Kara yang tengah duduk nyaman di bangku sisi lapangan. Ada banyak pepohonan rindang di sana dan suasananya sepi. Pantas saja, dicari sampai ujung Antartika pun ia tak akan ditemukan.

"Oi Gadis Pengadu!" teriak Nathan dengan penuh amarah. Ia mendekat untuk bertatapan langsung dengannya. Namun yang ia dapati...

"Haa! Tidur?" Nathan mendadak gagap.

Ia duduk di sampingnya dan mengamati Kara yang tengah tertidur pulas. Kepalanya menyamping bersandar pada bangku. Buku Buku pelajaran tebal masih di pangkuannya dengan keadaan terbuka di halaman bab tertentu.

Nathan terpaku pada wajah polos Kara yang terlihat teduh dan hangat. Sesekali rambut panjangnya yang tergerai diterbangkan angin hingga beberapa helai menutupi wajahnya. Nathan tersenyum memandangnya. Mirip seorang bayi.

Ia menatapnya lama. Dari kelopak matanya yang tertutup, bulu mata yang cantik, pipi yang merona dan bibir merah merekah yang membuatnya semakin cantik. Tidak salah jika banyak rumor tentang banyak kakak kelas yang mengajaknya berkencan. Tapi tak ada satupun yang dipilihnya. Mungkin karena itu juga dia tidak punya teman dan sering sendirian. Teman-teman perempuan lainnya menganggapnya sombong dan keras kepala.

Nathan menggeleng. Ia menepuk kedua pipinya dan berusaha menyadarkan diri. Misinya adalah balas dendam, tidak ada yang lain.

Kara menguap lebar. Beberapa bukunya jatuh ke tanah. Ia mengedipkan matanya beberapa kali. Ia menggaruk tengkuknya dan merasa tadi ada seseorang yang tengah duduk bersamanya. Namun ia tak mengindahkannya dan mengacuhkannya. Mungkin ia hanya mimpi. Kara berjongkok memunguti bukunya yang jatuh. Saat mengambil buku tiba-tiba sepasang sepatu terpampang di depannya. Ia mendongak siapa yang berdiri di hadapannya. Namun Kara terkejut bukan main hingga mulutnya terbuka lebar.

Sambil menyilangkan kedua tangan, seolah tenang-tenang saja. Nathan melambaikan tangan kanannya dan menyapanya santai. Ia tersenyum licik.

"Kau sudah bosan hidup, huh!" ujar Nathan.

Ia berbicara dengan kasar dengan seringaian wajah yang menakutkan. Ia melemparkan kertas peringatan yang tertempel di mading (majalah dinding) tadi ke wajah Kara.

"Kenapa terkejut?" Kara tersenyum remeh. "Bukannya kau yang semalam menyuruhku melaporkannya? Jangan bilang karena mabuk soda kau jadi melupakannya? "

"Waahh. .. gadis ini benar-benar..." Nathan memegangi kepalanya.

"Harusnya aku yang mengatakan kalimat itu bukannya kau!"

"Aku ini seorang Bintang. Terserah aku mau melakukan apa!"

"Termasuk membuatku kehilangan beasiswa!" Kara berkaca-kaca.

Nathan nampak canggung mendengarnya.

Setelah itu Kara berlalu dan meninggalkan Nathan seorang diri di lapangan. Ia bergegas kembali ke kelas. Kara sudah lelah dengan tingkah-tingkah konyol Nathan yang selalu menghalangi urusannya. Ia menghapus air mata, dan berusaha mengenyahkan pikiran itu. Sebenarnya yang terjadi antara dirinya dan Nathan hingga bermusuhan seperti ini adalah beberapa minggu yang lalu.

Saat itu tengah berlangsung ujian. Nathan sengaja menaruh kertas contekan di laci meja Kara. Itu tidak terjadi sekali, tetapi berkali-kali. Awalnya Kara benar-benar bingung dan tidak tahu kenapa hal itu terjadi padanya. Gara-gara kejadian itu Kara dipanggil dan dari hasil rapat pun memutuskan untuk mencabut beasiswa Kara. Untuk bulan ini Kara tidak tahu harus mencari uang kemana lagi.

Paginya Kara dipanggil kepala administrasi. Pikirannya kacau kemana mana, dirinya pasti akan mendapat surat peringatan karena terlambat membayar.

"Tidak mungkin," cemberutnya. "Apa yang harus aku katakan pada Kak Nando jika tahu aku kehilangan beasiswa?"

Kara masuk ke ruangan itu.

"Pak," Kara berbicara dengan hati hati. "Untuk masalah uang bulanan…"

"Namamu Kara Kirana ya?"

"I…iya."

Kara dikejutkan dengan urusan keuangan sekolahnya yang ternyata sudah dibayar bahkan untuk bulan depan. Ia juga menerima slip pembayaran. Ia penasaran siapa yang telah melunasinya,

"Nathan, anak kepala sekolah yang sudah mengurunya." kata petugas keuangan itu sembari meliriknya. Mungkin ia merasa heran kenapa anak kepala sekolah mengurusi administrasi siswa lain.

Jangankan petugas bagian keuangan, Kara saja bingung. Ia lalu berlarian menuju kelas tapi orang yang dicarinya tidak ada di sana. Akhirnya ia kepikiran untuk datang ke lapangan basket. Namun di sana tidak ada siapapun.

"Kemana Si Anak Kepala Sekolah yang manja itu?" gumam Kara kesal.

"Kau mencariku?"