webnovel

Beasiswa

"Kemana Si Anak Kepala Sekolah yang manja itu?" gumam Kara kesal.

"Kau mencariku?" suara seseorang dari belakangnya.

"Nathan!" bentak Kara seraya melemparkan slip pembayaran ke wajahnya. "Apa lagi ini? Apa kau sudah kehilangan kewarasanmu? Kau anggap aku ini apa, huh!" Kara berkaca-kaca.

"Kenapa malah marah, harusnya kau berterima kasih." Nathan santai.

"Kau membuatku kehilangan beasiswa, dan sekarang kau mengurus masalah administrasiku. Ini benar-benar sudah kelewatan!"

"Aku hanya ingin menebus kesalahanku. Hanya itu! Aku tidak tahu kalau kau akan jadi semarah ini"

Kara menghela napas. Air matanya tumpah. Laki-laki itu sudah keterlaluan. Ia berlari meninggalkan Nathan. Ia lelah menghadapi sifat Nathan yang kekanakk-kanakan. Tetapi tiba-tiba Nathan menarik pergelangan tangan Kara dan membalikkan badannya. Hingga posisi mereka berdua nampak seperti orang berpelukan.

"Apa yang akan kau lakukan?" tanya Nathan.

"Apa kau sebegitunya membenciku? Apa kau sangat membenci siswi miskin sepertiku?" Kara hampir menangis.

"Sebenarnya aku tidak sungguh-sungguh membencimu. Aku hanya... hanya..."

"Apa!"

"Apa aku jatuh cinta padamu?" Nathan nampak linglung dengan pertanyaannya sendiri.

Ia menggenggam tangan Kara begitu erat. Secepat kilat Nathan mendekatkan wajahnya ke wajah Kara. Namun Nathan berhenti ketika bibir mereka hanya berjarak satu senti. Dadanya berpacu sangat cepat. Ia tidak mengerti kenapa hal ini bisa terjadi padanya. Ia sungguh membenci Kara, tetapi kenapa bertanya sesuatu yang tidak masuk akal? Hingga dirinya tak menyadari ada seseorang dari kejauhan, tengah mengambil foto keduanya dengan ponsel kamera.

***

Paginya, ia terus kepikiran tentang Nathan yang kemarin. Ia sampai melamun di asramanya. Teman sekamarnya bertanya kenapa ia tampak pucat, namun Kara menyangkalnya.

"Kalau sakit lebih baik kau izin saja, Kara."

"Tidak. Aku baik baik saja kok."

"Apa kakakmu menghubungimu?"

"Tidak. Tidak ada hubungannya dengan Kak Nando."

"Sekali kali kau harus menghubunginya."

Kara diam dan murung.

Kara melangkah pelan di trotoar. Wajahnya lesu dan tidak bersemangat. Sesampainya di sekolah, ia langsung merebahkan kepalanya di meja kelas. Ia tidak tahu apa yang sedang di pikirannya. Hatinya berdegup kencang ketika mengingat kejadian di lapangan basket kemarin. Tidak ada yang terjadi, tetapi ia merasa aneh. Ia terus memikirkan Nathan sejak saat itu.

"Ah, entahlah. Aku tidak tahu," gersahnya di pagi hari sambil menghela nafas berat.

Ketika jam kelas berakhir. Murid-murid mulai berbisik-bisik dan tertawa kecil sembari melirik kearah Kara. Kara yang menyadarinya hanya cuek saja. Ia membersihkan buku-buku di mejanya. Kemudian bangkit dari kursinya namun tiba tiba sesuatu terjadi.

Kreeek....

Roknya robek seketika, karena kursi tempat ia duduk telah ditempeli permen karet, akibatnya Kara dengan segera kembali duduk dan terkejut setengah mati. Murid murid lain menertawainya dan tidak ada satupun yang menolong. Kara benar-benar bingung sekaligus marah. Siapa yang melakukan ini padanya? Tiba-tiba datang tiga orang perempuan dari kelas sebelah. Mereka terkenal sebagai fans Nathan. Ratu adalah ketua geng tersebut. Mereka bertiga menghampiri Kara dengan berlagak sombong.

"Ini belum seberapa, Cewek Miskin. Jika kau berani mendekati Nathan kami. Kau tidak akan keluar dari sekolah ini hidup-hidup," kata Ratu sambil menggebrak meja.

"Miskin? Siapa yang kau panggil miskin?"

"Di mana mana murid beasiswa itu miskin! Haha." Ratu dan antek anteknya tertawa bak penyihir.

"Sorry ya. Beasiswa ku itu untuk orang cerdas!" Kara menekan kata katanya. "Oh ya, murid bodoh kayak kalian mana paham."

"Dasar gadis ja*lang! Sudah miskin, pelakor lagi! Nih lihat!"

Ratu melemparkan foto-foto Nathan dan dirinya ketika di lapangan sekolah. Entah siapa yang mengambil foto itu dan memberikannya pada Ratu. Yang jelas ia pasti sangat membenci Kara. Kara hanya terdiam. Ia benar-benar merasa lemah sekarang. Bagaimana mereka bisa melakukan hal serendah ini? Menempel permen karet di kursi. Benar-benar menyebalkan. Kara menatap mereka dengan penuh amarah. Namun ia tidak bisa berbuat apapun. Ia masih duduk di bangkunya.

"Ada apa dengan matamu? Kenapa melotot seperti itu? Memang kau berani menentangku?" bentak Ratu.

"Seorang Ratu sepertimu bisa bisanya stalking hidupnya murid biasa. Sepertinya kau kurang kerjaan, ck ck."

"Menyebalkan sekali sih dia!" kata salah satu anteknya.

"Dasar cewek ban*sat!"

Ratu dan teman temannya hendak menyerang Kara, namun seseorang menghentikannya.

"Berhenti!" teriak seseorang. Nathan tiba-tiba muncul di kelas itu.

Kelas menjadi riuh ketika Nathan datang. Murid-murid saling berbisik melihat pemandangan di hadapan mereka. Bukankah ini mirip seperti di film-film? Beberapa dari mereka bahkan merekamnya dan mengunggahnya ke media sosial.

Nathan membuka jaketnya. Kemudian menutupi rok bagian belakang Kara dengan jaket. Ia menggenggam pergelangan tangan Kara. Air muka Nathan memerah. Ia benar-benar marah melihat Kara diperlakukan seperti itu. Ia tidak tahu perasaan apa ini. Yang jelas dirinya tidak ingin melihat Kara terluka dan menangis.

"Ku beritahu kalian semua," Nathan menegaskan pada orang-orang yang ada di dalam kelas terutama pada geng Ratu alias pembuli.

"Mulai sekarang jangan ada yang mengganggu Kara! Karena dia ini bawahanku."

"APA!"

Geng Ratu terkejut setengah mati. Apalagi Kara. Ia tidak tahu harus senang karena di selamatkan atau bagaimana.

"Apa yang kau katakan?" bisik Kara.

"Nathan! Kenapa kau membelanya?!" teriak Ratu.

"Cukup Ratu. Mau sampai kapan kau akan seperti ini. Kau tidak lihat berita di luar sana? Pembuli bisa di tuntut secara hukum. Dan banyak saksi di sini. Satu lagi, murid beasiswa tidak serendah yang kau pikirkan. Itu lebih baik dari pada menghabiskan uang orang tua sepertimu."

Ratu tertegun mendengar kata kata dari pria yang disukainya. Sangat menusuk dan membuatnya marah besar. Namun ia hanya bisa diam karena seluruh kelas mendadak menatapnya.

Segera setelah Nathan mengatakan itu. Ia menarik Kara pergi meninggalkan kelas. Semakin lama berada di dalam kelas hanya akan membuatnya ingin membanting meja dan kursi. Nathan membawa Kara ke lapangan basket, mereka duduk di stadion penonton.

"Ada apa denganmu?" tanya Kara canggung. Ia melepaskan genggaman tangan Nathan.

"Kau tidak mau berterima kasih?" Nathan tersenyum kecil.

"Barusan kau tertawa?" Kara berdecih sembari tersenyum. "Dasar Bintang norak."

"Ya ya terus saja mengataiku sepuasmu jika membuatmu senang."

"Apa kau gila tadi? Kenapa mengatakan hal seperti itu?"

"Bukannya kau senang. Akhirnya bisa membuat si Ratu dan antek anteknya malu."

"Tapi kan dia pacarmu."

"Eh?" Nathan tertawa lebar. "Kau percaya rumor itu? Dasar konyol."

"Kau yang konyol."

***

Kara menceritakannya pada Nando.

"Maafkan aku, Kak." Kara menundukkan kepala merasa bersalah.

"Sudahlah." Nando mengelus kepala adiknya. "Nanti cari beasiswa yang lain lagi. Sekarang banyak beasiswa yang terbuka lebar. Asal kau serius mencarinya dan menjadi siswa berprestasi. Paham?"

Kara mengangguk.

"Coba lihat kakak."

Kara mendongak.

"Tidak apa apa. Jangan merasa bersalah, paham?"

Kara mengangguk lesu.

"Mau roti bakar?" Nando tersenyum. Ia berusaha membuat adiknya berhenti merasa bersalah.

"Mau. Aku juga mau cokelat panas," Kara mengengeh.

Nando tersenyum adiknya yang kembali membaik.

Dari cerita yang Nando dengar dari Kara. Ia malah merasa sedih setelah ia tahu bahwa adiknya dirundung gara gara dekat dengan anak kepala sekolah dan gara gara beasiswa itu juga. Ia merasa sedih dan tidak rela adiknya diperlakukan seperti itu. Tapi adiknya malah berusaha membuatnya agar tidak marah. Kakak mana yang akan marah kalau adiknya diperlakukan seperti itu.

"Bukannya marah tentang beasiswa itu, aku ingin marah pada mereka yang membuat Kara merasa dirinya tidak berharga," batin Nando dengan wajah sedih. Namun ia berusaha terlihat baik baik saja di depan Kara.