Usai mendapat wejangan dari Kiyai Akmal, aku tak lagi bisa mendapatkan waktu yang lama untuk melakukannya.
Tapi aku tak bisa mengatakan ini ke Mas Fadil. Aku wanita yang hanya bisa menerima itu semua. Mana mungkin aku meminta melakukan hal tersebut duluan. Walaupun dia suamiku, orang yang berhak memberikan nafkah batin kepadaku.
Entah kenapa aku merasa biasa saja, kupikir ini karena trust issue yang aku selalu pikirkan, dan diam-diam malah menjadi beton keras yang menghalangi kebahagiaan kami sebagai sepasang suami istri.
Kalau aku melakukan hal itu, yang ada di pikiran terbesit rasa takut luar biasa, takut kala dia mendapatkan semuanya, Mas Fadil akan cuek terhadapku, dan aku belum siap dengan pemikiran-pemikiran itu.
Namun, walaupun begitu, setidaknya beberapa kali pernah kejadian hampir melakukannya, tetapi kami segra sadar dan menghentikannya.
Ini semakin menjadi pertanyaan besar untukku yang selalu saja merasa nyaman-nyaman saja. Tidak tahu kalau Mas Fadil yang merasakan, apa kah dia juga tak mempermasalhkan itu, atau jangan-jangan dia memang sudah mendapatkannya dari wanita lain. Entahlah, aku enggan mengatakannya ini terlalu jauh. Aku tak mau menuduh siapapun tanpa bukti.
Sesampainya Wisnu mengantarku, dia tak berkata hal penting, hanya bilang kalau aku bisa mengandalkannya saja, tapi aku tak menerima perkataanya begitu saja.
"Kamu pernah bilang tahu sesuatu tentang masalah ini. Dan siapa sebenarnya Mas Fadil, katakan saja, aku tak akan membocorkannya dengan Mas Fadil karena dia akan marah juga kalau aku mengatakan keujuran itu."
Wisnu mematikan mesin motornya dan dia segera mendekat ke arahku, lalu berkata hal yang membuat pendirianku goyah untuk terus bertahan dengan suamiku.
"Mas Fadil itu bukan seorang perjakan yang baru menikah, dia lebih dulu punya istri dan setiap tahun istrinya selalu terganti, entah apa yang mereka dapat dari menikahi Mas Faidil, tapi kami semua hanya tahu kalau pernikahan suami Mba, itu gak pernah langgeng, selalu aja cerai sebelum tahun berganti."
Aku tahu ini yang dimaksud dengan Wisnu, jangan-jangan saat ada beberapa foto KTP yang tersebar secara sembarangan setelah aku mengobrak-abrik isi gudang karena Bu Putri yang meminta.
"Sebaiknya Mba minta cerai saja, kalau gak sanggup dengan apa yang akan terjadi nanti. Saya jujur saja mau memanfaatkan Mba lebih banyak lagi, tapi saat menatap mata Mba yang kosong saya kok jadi gak tega, saya gak bisa selalu bantu Mbak Fira."
Wisnu berkata dengan nada suara yang kecil, dia menatapku sekali lagi dan tangannya yang bebas, merogoh saku celananya, lalu dia memberikan benda yang kujadikan jaminan itu.
'Ambilah kembali barang ini, siapa tahu akan lebih berguna di hari ke depannya, seperti yang saya katakan, kalau tak mungkin selalu ada untuk membantu dan mengarahkan Mba ke mana setelah ini."
Aku mengambilnya dan memasukkannya ke dalam saku celanan.
"karena semuanya tergantung dengan Mba Fira yang mau apa di hubungan ini, saya doakan semoga selalu sukses karena kalau iya, Mba akan lepas serta bebas. Kalau begitu saya permisi lebih dulu, tolong hati-hati saat pulang nanti, sampai jumpa lagi," lanjutnya lagi.
"Kenpa kalian semua takut?" tanyaku. "Kita bisa bersatu membongkar ini semua dan tentu hidup kalian juga akan tennag tanpa menyimpan masa lalu seseorang, bukan? kalau seandainya aku tak berhasil, lalu aku mati, siapa lagi yang akan diperlakukan tak adil?"
Aku menunjuk diriku sendiri, aku akui telah lelah dengan pemikiran buruk ke Mas Fadil, sekalipun dia memang buruk menurut orang lain, tapi aku tak punya bukti apa pun utuk berbuat jahat kepadanya. Ini sangat tak adil,aku tak bisa melakukannya untuk diriku sendiri.
Wisnu terdengar mengela napas lelah, dia tampak menatapku sendru, matanyaa terlihat putus asa, ada apa dengan pria yang tadinya membuatku kesal, kenapa sekarang aku malah iba saat melihatnya.
'Mba, semua orang sudah berusaha menurut porsinya masing-masing, Kami hanya tak tahu harus berkata apa lagi, kepada semua wanita yang nekat menikah dengan Fdil termasuk Mba, bahkan Kiyai Akmal mengancam saya untuk tak melibatkan dia lagi setelah ini. Maka dari itu saya menyarankan agar Mba bisa meikirkan untuk tetap di sini atau pergi dan meninggalkan desa ini, semua keputusan ada di tangan Mba dan saya tak berhak memaska, kalau begitu maaf, saya harus benar-benar pergi dari sini, sudah tak ada waktu lagi, cepat pulang sebelum matahari benar-benar tenggelam dan jalanan jadi sunyi serta gelap."
Wisnu tak mau lagi menatapku dia tak juga mau menggubrisku yang terus bertanya apa yang dia maksud. Wisnu menattap lurus ke depan kemudian memacu kuda besinya meninggalkanku.
Aku mendesah lelah dan memutuskan bergegas ke rumah Pak Rt, takut kalau sampai Mas Fadil lebih dulu sampai lalu aku tak lagi bisa menghindari pertanyaannya yang akan sepanjang kereta.
Akan tetapi, aku juga berharap kalau tidak berduaan saja dengan Bu Tuti, takutnya dia melakukan hal menakutkan seperti kemarin lagi. Itu sangat mengerikan, aku tak mau melihat dia dirasuki lagi.
Sepanjang perjalanan, tampak orang-orang yang tak sengaja berpapasan denganku, bertingkah kaget, ada yang terang-terangan bertanya apakah akau saudari dari Bu Shita yang sudah lama tiada itu.
Aku mengatkan tidak, tapi tak ada yang percaya.
"Kalian seperti pinang di belah dua, apa kamu bohong karena takut?" tanya seorang Ibu berdaster yang menggembala kambingnya, aku menggeleng. Mungkin sikapku ini sangat menyebalkan baginya, tapi mood-ku memang sedang jelek, pasti semua orang ini tak ada yang mau mengatakan apapun jika aku bertanya.
"Pergilah yang jauh sebelum semua terlambat, kau terlalu berharga untuk mereka."
Aku menghentikan langkah dan ibu itu juga sudah berjalan berlawanan arah denganku. Dia mengatakan itu dan sepertinya sudah paham dengan apa yang menimpaku, ini harus dimanfaatkan.
Aku tak tahu dia akan menolak seperi orang lain atau tidak, tapi mungkin saja dia orang yang perduli denganku.
"Bu, ada yang mau saya ...." Aku membeku, saat berbalik tak kutemukan dia, atau bahkan kambingnya sekali pun.
Bulu kuduk langsung merinding, tak tahu apa yang kutemui tadi, setan atau manusia sekarang mulai susah bagiku membedakannya.
Aku terus saja berjalan menjauh dan kapok untuk mendengarkan hal-hal yang terus saja berdengung di telingaku.
Aku berjalan menundukkan kepala, dan akhirnya bisa sampai tepat waktu di rumah Pak RT, aku bisa melihat pria yang menggunakan peci hitam dan baju batik itu baru saja turun dari kuda besinya yang terparkir di teras.
Aku menyapanya dan dia tersenyum simpul, di dekatnya Bu Tuti melihatku dengan sorot yang tak bisa dijelaskan bagaimana, yang pasti aku tak mau mempermasalahkannya.
Sampai di kamar aku langsung masuk dan ketika berbalik dari kamar aku menemukan Mas Fadil yang duduk menghadapku.
Matanya sangat sayu, dia tersenyum, dan senyumannya itu tampak berbeda.
"Kenapa lama sekali, aku merindukanmu," ujarnya, dia memelukku erat, napasnya yang hangat menggelitik leherku.
"Aku menunggu saat-saat ini, aku menginginkannya malam ini," katanya, aku mengerenyit, kenapa bisa keinginanku dan Mas Fadil sama.