webnovel

Bukan Dia

Aku menahan tangaan Mas Fadil yang tiba-tiba bergeriliya menyentuh bagian tubuhku.

"Ada apa, sih, Mas? Kenapa kamu aneh begini?" tanyaku, ini tak biasa dan membuat rasa tak nyaman datang menghampiri.

Mas Fadil sama sekali tak menjelaskan apapun kepaddaku. Dia hanya menatapku dengan mata sayunya.

Aku tak bisa diam saja, walaupun aku istrinya setidaknya dia memberitahuu apa yang terjadi, kenapa dia malah begini.

Aku berusaha menjauh ketika wajah pria yang kini memelukku semakin mendekat, dan hampir saja menyentuh pipiku.

Aku menempelkan jemariku ke depan bibirnya, dan menatapnya sesaat.

"Maaf, Mas, aku baru pulang dan aku mau memebrsihkan tubuh dulu, kita akan ngobrol dan ...."

Mas Faddil segera melepaskanku dengan agak kasar, kemudian dia berkata sesuaatu hal yang membuatku kaget.

"Kamu kenapa bisa jalan sama pria lain? Kamu kesepian, sampai-sampai mau cari perhatian dan janagan-jangan sentuhan dari pria yang jelas-jelas jauh lebih muda dari kamu, apa selama ini aku kurang menjadikanmu ratu dalam rumah tangga kita yang baru saja berjalan ini?" tanyanya.

Aku bagai mendengar kilat yang menyambar dengan kuat. Aku ada di tengahnya dan hampir saja mendapat sambaran itu.

Ternyata Mas Fadil tahu aku bertemu dengan Wisnu, tapi sepertinya dia hanya cemburu, bukan karena masalah yang sebnenarnya.

"Mas ini gak seperti yang kamu pikir, aku hanya meminta dia untuk membawaku ke tempatnya Kiyai yang kira-kira bisa menolong kita dan membersihkan rumah kita, Mas!"

Mas Fadil menatapku sengit setelah mendengar apa yang kukatakan, dia enggan mengatakan rasa setujunya tetap saja aku yang jadi sumber masalah dan orang yang memikul segala hal buruk baginya.

"Aku sudah peringatkan kamu, Fira, aku gak diam aja, kan, aku katakan apa yang perlu kamu lakukan, Hanya diam saja, selebihnya biar aku aku yang bergerak dan kamu terima beres. Tapi apa, aku malah melihat kamu dibonceng laki-laki yang sangat meenyebalkan itu, orang yang sudah membuat kamu curiga kepadaku, kan?"

Mas Fadil memegang keningnya, kemudian dia terduduk dan mengacuhkanku yang masih diam di tempat, tak tahu harus seperti apa lagi.

"Mas, tolonglah sekali ini saja, biarkan aku melakukannya, biarkan aku membuktikan kalau semua yang kamu katakan adalah benar kalau tak ada apa-apa di ruma itu dan kamu bisa menyelesaikan masalah yang terlanjur merebak serta membuat nama kamu jelek."

Aku mendekatinya dan mengelus pundaknya, Mas Fadil masih diam dan enggan memberi respons yang kuinginkan.

Dalam benak aku berperang,  mau melakukannya malam ini atau tidak, tapi aku harus melakukannya secepat mungkin, lagipula ini hubungan yang resmi dan sah. Kami bebas melakukan apapun dengan tubuh kami berdua.

Aku mendekat dan duduk di sampingnya, membuka jepit rambut yang sejak tadi bertengger, lalu merapikan rambut dengan menyisirnya dengan jemari.

Aku menggunakan shampo yang aromanya sangat disukai Mas Fadil, shampo dengan harga yang cukup mahal ini kami dapatkan dari kado teman-teman kantorku.

Wanginya tak hilang meski sudah  dua hari ini aku tak membasuh rambut.

Mas Fadil mulai menunjukan reaksinya, dia menyentuh tanganku yang ada di atas pahanya, Mas Fadil meembawa ke dekat bibirnya dan menempelkannya.

Lalu dia kembali menggenggam erat tanganku dan berkata, 'Tolong Fira jangan datangi rumah Kiayi Akmal, dia bukan orang baik, sejak lama dia tak menyukaiku."

Aku terdiam menyadari banyak hal yang kini menyusun banyak kpingan puzzle yang menghilang.

Semua sikap warga desa. Semua orang yang menyapa Mas Fadil seakan -akan dia aadalah orang lama yang baru datang dari Desa dan menikmati banyak peristiwa di sini.

Aku menatapnya dari samping dan dia terlihat terkejut juga dengan apa yang barusan dia katakan dengan lantang tentang larangan dengan Kiayi Akmal serta perbedaan dengan Wisnu.

Mas Fadil menghela napas beratnya dan dia menatapku juga lalu tersenyum kecil, tarikan di bibirnya itu mengungkapkan banyak makna yang tersembunyi dan aku enggan sekali memecahkan sesuatu tanpa petunjuk sekalipun.

"Aku mau mengakui, kalau aku adalah warga dari desa ini dan aku pindah saat aku mau merantau mencari pekerjaan, masaalh wanita yang digosipkan menjadi istriku adalah salah, mereka memang membenciku yang bisa memiliki uang dari pekerjaan di kota. Rumah lamaku sudah hancur karena kebakaran dan aku tak tahan sendririan, tanpa siapa pun, jadi aku tak mau menyusahkan siapa pun di sini."

Aku tak tahu harus menaruh kepercayaan yang tinggal sedikit lagi ini atau tidak, karena sepertinya Mas Fadil juga mengatakannya dengan meyakinkan sekali, aku jadi bingung harus ke mana lagi bertanya karena tempat bertanya itu sudah menyerah.

Wisnu atau Kiyai Akmal tak maumenolongku lagi, jadi aku tak bisa banyak bergerak sekarang dan mungkin bisa langsung mengatakannya kepada orang yang lebih pintar lagi di daerah ini.

Selama aku masih bisa memegang gelang yang cukup mahal ini, aku akan mencari bantuan sampai aku menemukan jawaban yang lebih logis lagi.

Tapi sekarang aku mau melakukan apa yang dikatakan oleh Kiyai Akmal tentang melakukan hubungan suami Istri yang akan membawaku pada suatu petunjuk.

Aku memulai aksiku dengan memegang tangan hangat Mas Fadil dan aku beranjak dengan memeluk leher suamiku , tempat yang menjadi kelemahannya.

Dia mulai menggeliat dan berusaha melepaskanku dengan dorongan yang tiada artinya, tanpa tenaga sekalipun, aku melakukannya lagi dan lagi tak mau sampai terlewat sedikitpun karena ini yang akan aku mulai dan tak boleh ada gagal sedikitpun.

"Mas, aku ...." Aku sengaja menggantung ucapan dan mendaratkan kecupan hangat di lehernya, Mas Fadil juga sepertinya mulai terpancing, dia mendekatkan bibirnya untuk membalas perlakuanku yang telah menggodanya.

"Jangan menggodaku Fira, atau aku tidak akan berhenti sampai kamu menyesalinya."

Aku tak tahu arti omongan yang dia katakan dan aku melakukannya lagi agar dia cepat-cepat menyerangku sekalian.

Ma Fadil mendorongku hingga terlentang di ranjang dan dia siap menggagahiku. Ketakutanku berlipat-lipat datang dan aku merasa bingung di titik ini, tapi aku perlu melakukannya, dan menyerahkaan diriku untuk suamiku.

Sudah sangat lama rasanya aku tak mendapatkan kehangatan yang dilakukan Mas Fadil semenjak aku dan dia sering sekali bertengkar tentang gangguan di rumah. Tak percaya sekarang kami akan melakukannya,.

Mas FAadil meloloskan kausnya dan dia terlihat polos sampai ke pinggang. Aku mencoba memegang dadanya meskipun agak grogi karena ini addalah pertama kalinya aku berusaha agresif dan memulainya duluan.

Mas Fadil menjatuhkan tubhnya di atasku, meraih rambutku dan meremasnya, aku berusaha melepas apa pun benang yang ada di tubuhnya dan dia tak butuh lama menyadari tindakannku seketika tubh pria ini malah bangkit dan dia meninggalkanku setelah mengenakan lagi kausnya.

Aku tak tahan lagi, sambil mengikat rambut yang berantakan aku menyusulnya yang ternyata berjalan entah ke mana, saat aku menemui Bu Tuti aku diarahkan ke belakang, katanya Mas Fadil berjalan ke sana dengan wajah yang marah.

Aku mengikuti arahannya dan menyusul, memang benar ada dia di sana sedang berdiri dengan mengepalkan tangan. Aku akan mencoba memintanya kembali dan menuntaskannya.

"Ayolah, lakukan saja, aku sangat menginginkannya. Mas juga wajib memberikannya kepadaku, kan?"

Mas Fadil diam saja tangannya terasa dingin mungkin karena dia merasa gugup, aku pun seperti itu merasakan hal yang sama.

Tanpa menunggu rayuan dan bujukku lagi, dia menurt masuk bersamaku, meskipun dia tak mau bicara.

Saat sampai di kamar Mas Fadil malah jadi brutal dan sangat kasar denganku, dia mendorong tubuhku ke atas ranjang dengan kasar.

Aku menjerit tertahan dan tak mau ada kesalah pahaman dengan Pak RT atau Bu Tuti jika mereka tak sengaja mendengarkannya.

"Mas, pelan-pelan, dong?" Aku protes, dia tak mendengar dan mendekatiu, membalikan tubuhku hingga tertelungkup.

Aku tak menyukai caranya yang tak sepelan tadi, dia malah menakutiku karena suara napassnya yang mulai memburum terasa sekali menyapu tubuhku yang dia poloskan, aku hendak berbalik dan saat itu juga dia kembali mendorong tubuhku.

Tak lama berselang aku mendengar ssuara ketukan pintu. Lalu daun pintu terbuka dan di sana terlihat Mas Fadil baru masuk.

Dia agak kaget melihat ke arahku, dan aku yang menyadari ada yang salah, langsung berteriak histeris.