webnovel

Kabar Mengagetkan

Naran masih enggan melepas pandangannya dari Ify barang sedetik. Wanita itu sedang menegak susu hamilnya serius. Sambil mengelus perut, terkadang ia bicara sendiri dan tersenyum.

Sejak tak sengaja memergokinya pulang semalam entah dari mana, Naran menaruh curiga. Namun laki-laki itu masih mencoba memendam sendiri. Berharap agar Ify mengatakan dengan mulutnya jika bisa.

Tanpa Naran tahu jika sebenarnya malam itu Ify baru pulang sehabis menemui ayahnya. Menawarkan sesuatu untuk ditukar dengan restu yang Naran sendiri tak bisa dapatkan dengan mudah.

Hal tersebut masih menjadi misteri yang hanya disimpan oleh Ify. Dan wanita itu tak akan pernah memberitahukannya kepada orang lain, termasuk Naran.

"Naran, kenapa kamu bengong terus?"

Tanpa laki-laki itu sadari, Ify telah berdiri tepat di hadapannya, sebab ia terlalu fokus pada pertanyaan besar yang menguasai pikirannya.

Naran berusaha mematri senyum. Meski kentara sekali kalau itu hanya kepalsuan yang ia paksakan.

"Enggak, aku cuma lagi mikir besok harus kerja apa. Soalnya belum dapat kerjaan tetap," ungkap Naran berbohong. Mana mungkin ia katakan sedang berpikir tentang wanita itu.

Naran cukup hati-hati, tetapi bukan berarti akan diam terus sampai mati. Ia akan cari tahu sendiri nanti.

Mata Ify berkaca-kaca. Ia menggenggam tangan Naran.

"Maaf, ya, kamu jadi kesulitan karena aku." Wajah cerianya berubah drastis menjadi murung.

Jika trio sahabat Sofia melihatnya, mereka akan tahu kalau wajah itu hanya kepalsuan yang menjijikkan.

"Tidak, bukan begitu. Jangan berpikir aneh, ya. Aku tidak mau kamu sedih, nanti anak yang lagi kamu kandung akan ikut sedih juga." Naran melawan rasa curiganya setelah tertipu lagi dengan raut Ify.

Wanita itu mengangguk, mematri senyum kecil masih senang memainkan dramanya.

"Coba sentuh perutku, biar anak kita bisa merasakan sentuhan tangan ayahnya."

Naran menurut. Laki-laki yang belum bisa menaruh cinta kepada Ify pun mengelus perutnya pelan. Bahkan ia menempelkan telinga, berharap mendengar atau merasakan tendangannya.

"Kok, belum nendang, ya?" Naran bertanya penasaran.

"Belum, dong. Kan, usianya juga baru dua bulan. Nanti empat bulan ke atas sudah mulai gerak."

"Aku tak sabar untuk menantikannya. Anakku." Naran tersenyum tulus.

Meski sejatinya ia menjalani kisah bersama Ify tanpa adanya landasan cinta, tetapi memikirkan buah hatinya, Naran bahagia. Bagaimanapun, anak dalam kandungan Ify adalah darah dagingnya sendiri. Ia sudah menyayanginya bahkan ketika anak itu belum lahir ke dunia.

Ify melihat wajah rupawan itu tanpa mengurangi rasa kagum dan bahagia. Setelah melewati banyak hal yang memuakkan akhir-akhir ini, Ify akhirnya bisa sedikit lega setelah merasakan Naran banyak berubah. Dia tak lagi sedingin dulu, ketika pertama kali Naran terbangun di sampingnya setelah melewati malam panas di bawah pengaruh alkohol.

Kenangan memuakkan itu kembali tergambar jelas. Kenangan pahit yang Ify pikir akan berakhir dengan ia yang akan dicekik mati oleh Naran. Di detik-detik ia mengabarkan tentang kehamilannya.

Saat itu mereka bicara di balik pintu tangga darurat. Hanya berdua.

"Aku hamil." Ify menunduk tak berani menatap mata Naran ketika mengakui dirinya mengandung.

Saat itu sudah sangat sore, bahkan matahari telah berangsur semakin dalam ke ufuk barat. Meninggalkan sisa-sisa cahayanya yang indah.

Naran terpaksa menemuinya karena Ify tak henti membuntuti ke manapun kakinya melangkah sejak kejadian tidur bersama tanpa rencana itu terjadi. Termasuk saat Naran dan Sofia sedang ngedate berdua.

Ify mengiriminya pesan akan mengadu tentang pelecehan yang dilakukan Naran kepada Sofia kalau tak mau menemuinya. Alhasil, Naran terpaksa menemui Ify saat itu juga. Untuk bisa menuruti wanita menyebalkan tersebut, ia harus berbohong akan pergi ke toilet. Terpaksa tentunya.

"Apa? Ham—" Naran tak bisa melanjutkan kata-katanya. Ia terlalu takut untuk sekadar mengatakan kata 'hamil' itu.

Pupil mata Naran membesar, jantungnya seperti dipompa hebat. Berdebar dipenuhi ketakutan.

"Kamu ... tidak, tidak mungkin itu terjadi!"

"Tidak mungkin apanya! Kamu memaksaku malam itu! Kamu pikir aku wanita murahan yang bisa tidur dengan siapa aja?! Aku tak mau tahu, kamu harus tanggung jawab! Kalau tidak, entah akan bagaimana nasibku ini. Andai bayi ini tak hadir, demi Tuhan aku tak akan mengacaukan rencana pernikahan kalian. Tapi lihatlah Naran, apa kamu tega membuang anakmu sendiri demi bisa menikah dengan Sofia?"

Dan setelah usaha Ify yang cukup gigih itu berbuah hasil, kini wanita itu tak akan membuang satu kesempatan pun. Demi bisa bersama Naran dalam sebuah ikatan pernikahan, ia juga sudah menyiapkan mental dan rencana dari jauh-jauh hari. Bahkan rencana itu sudah berjalan. Ia hanya tinggal menunggu, duduk manis menanti hasilnya.

"Naraan! Naraan!"

Teriakkan familier membuyarkan lamunan Ify. Naran juga berhenti mengelus perut wanita itu dan mencari dari mana asal suara tersebut.

"Mama?" Naran sedikit kaget ketika kedatangan sang ibu ke kawasan kosan milik Richard. Matanya mengedar jauh ke belakang ibunya yang kini diikuti oleh beberapa pengawal berseragam hitam.

Naran segera menuruni teras, menyambut kedatangan ibunya yang panik luar biasa. Ify menyusul dari belakang.

"Naran! Naran!" Masih dengan nada tinggi ia memanggil kembali putranya.

"I-iya, Ma. Kenapa? Apa Mama baik-baik aja? Ngapain ke sini, gimana kalau papa tahu. Bisa gawat. Mana bawa pengawalnya, pula." Naran menerima rangkulan ibunya. Ia merasakan napasnya tersenggal karena berlari cukup kencang.

"Itu ... papa kamu!"

"Iya, papa kenapa, Ma? Marah sama mama? Papa tahu kalau mama bantu kami?" tanya Naran masih diserang kepanikan yang tak terkira. Ia menoleh pada Ify. "Kamu jangan diam aja, bawakan air minum buat Mama," suruhnya kepada Ify.

"Oh, i-iya." Ify langsung berlari kecil masuk ke dalam kosan, sementara Naran menenangkan ibunya dengan segala upaya. Menariknya untuk duduk di kursi yang ada di teras itu.

"Tenang, Ma. Oke, rileks. Baru bicara, ya." Naran mengusap punggung tangan ibunya harap-harap cemas.

Tak lama Ify datang dengan membawa segelas air.

"I-ini, Tante. Diminum dulu," ucap Ify tergagap. Ini adalah kali pertama ia bertemu muka secara langsung dengan ibu Naran. Ify agak gugup.

Tanpa kata, ibu Naran langsung menegak minuman itu tandas. Matanya mulai memancarkan ketenangan. Lebih tenang ketimbang baru tiba beberapa detik lalu.

"Aduh, Raan. Mama sampe susah ngomong," ucap ibu Naran sambil menyandarkan diri. Ia menatap wajah Naran dan Ify secara bergantian.

"Ada apa, Ma? Jangan bikin khawatir."

Ify hanya membisu. Ia bingung dengn situasi ini. Canggung dan mendebarkan.

"Papamu sudah merestui kamu dengan Ify, dan menyuruh mama buat jemput kalian. Sekarang juga."

Hah? Benarkah? Naran bertanya-tanya dalam benaknya. Apakah ini mimpi?

Tidak. Semua nyata terjadi. Dan ini adalah hasil dari usaha Ify. Rencananya berhasil. Diam-diam wanita itu menyungging senyum.