webnovel

Penawaran Ify

'Enggak, enggak! Aku belum siap dicintai si pelit. Walau pernah aku berkata tak ingin dia bersikap dingin, mengetahui fakta dia jatuh cinta padaku membuat dunia seakan berhenti berputar dari porosnya. Dia gila, sejak kapan itu ada?'

Sofia menggosok piring kotor lebih kuat. Mengingat kembali ciuman hangat yang sempat membuat darah di sekujur tubuhnya mendidih, terkadang dia geli.

'Kenapa harus? Kenapa diam waktu itu! Aaargh!' jeritnya dalam hati.

"Kamu kenapa?" Suara Nazam terdengar begitu dekat di telinga. Ketika menoleh, Sofia sudah mendapati suaminya ada di belakang punggungnya. Bahkan, wanita itu tak sadar Nazam telah melingkarkan tangannya di perut Sofia.

"M-Mas, kamu apaan, sih? Saya lagi cuci piring," protes Sofia keberatan. Tangannya yang penuh dengan busa-busa putih melepas pelukan Nazam.

"Eits, ingat perjanjiannya. Mulai sekarang jangan panggil saya, saya, dan saya lagi. Aku kamu saja, ya?"

Bibir Sofia terbuka ketika Nazam kembali mengingatkan hal itu.

"Lagian apa salahnya, sih, peluk kamu?"

'Sumpah ini orang kesambet setan jomlo kayaknya! Sejak nginep di hotel itu, dia mendadak jadi orang yang suka main cium sana cium sini. Sial, jangan-jangan ini kemasukan setan mesum, nih. Harus kubawa ke dukun kalau begini urusannya!'

"Kenapa bengong, Sofia? Kamu kayak orang linglung."

Buyar sudah segala lamunan yang berkecamuk liar di alam bawah pikirnya. Sofia terhenyak kaget sendiri. Saat ini Nazam sudah duduk menghadap dirinya di kursi kayu tepat di depan meja dapur samping Sofia.

'Heh, dia juga bisa bergerak secepat itu? Bener ini dugaanku. Dia bukan suamiku! Dia cowok jadi-jadian yang gila atas diriku!'

"Hey, Sayang. Malah ngelamun?" Nazam mengerlingkan mata genit. Membuat Sofia syok bukan main.

'Sa-say ... dia beneran kesambet setan!'

Gegas Sofia mencuci tangan, memilih untuk tak meladeni Nazam yang seakan menggila. Dia berlari kencang menuju kamar.

BRAAK!

Pintu kamar dibanting olehnya. Sofia mematung di balik pintu sambil memegangi jantung yang berdetak tak karuan.

Nazam masih duduk di tempat sama. Wajahnya mengerut heran.

"Dia manis sekali," gumam Nazam diselingi senyum.

"Aku tak tahu akan jatuh hati secepat ini. Kukira akan sulit menumbuhkan cinta di lahan gersang, ternyata kalau rajin menyiram meski hanya dengan setetes air pun lama-lama tunas akan muncul juga," lanjutnya berusaha bersuara rendah. Ia tak mau sampai Sofia mendengarnya.

Akan tetapi, di balik senyum itu, tanpa siapa pun tahu, ada segunduk kesedihan berkecamuk dalam dadanya. Entah apa, tetapi sepertinya itu adalah hal serius.

"Tapi, apakah aku bisa menjadi alasan Sofia bahagia sesuai janji awalku? Aku rasa dia sama sekali belum membuka hatinya sedikitpun untukku. Mungkin akan sulit membuat dia move on dari mantannya yang menyebalkan itu."

Nazam mengepal tangan ketika mengingat wajah Naran. Ia menatap kosong, rautnya berubah menakutkan.

'Aku harap semua berjalan lancar sesuai rencana awal. Aku tak bisa banyak membuang waktu. Aku harus segera mencapai misiku yang sesungguhnya.'

***

Di lain tempat, ayah Naran sedang mengamuk kepada sang istri kalap. Mengetahui istrinya diam-diam membantu Naran membuat ia yang masih merasa lelah setelah melakukan perjalanan bisnis pun tak bisa menahan amarahnya yang meletup-letup.

"Papa, dia anak kita!"

"Anak kita yang sudah berubah jadi anak setan?!" Nada suaranya kian meninggi.

Ibu Naran terperangah di tempat. Tak menyangka jika mulut suaminya bisa setajam itu terhadapnya.

"Ingat apa yang dia lakukan? Dia mempermalukan keluarga kita! Karena kelakuannya itu, aku tak punya muka kalau betemu dengan keluarga Sofia."

"Tega kamu, Pa! Dia itu darah dagingmu! Mama tahu dia melakukan kesalahan besar, tapi tak bisakah dia dimaafkan kali ini? Dengar, pokoknya mama akan membawa dia pulang dan menikahkannya dengan Ify! Mereka harus menikah!" Tak kalah kencang suaranya.

"Lakukan saja, tapi langkahi dulu mayatku!" tantang ayah Naran.

Hening. Tak ada lagi perdebatan di antara keduanya. Pertengkaran itu hanya berakhir menjadi keterdiaman yang tak ada ujungnya. Menciptakan dinding tinggi yang membuat komunikasi baik itu hancur.

Keduanya memilih untuk saling diam saat ini.

Malam hari, tanpa disangka siapa pun, Ify mendatangi kediaman keluarga Naran. Wanita licik itu bermaksud untuk menemui ayah laki-laki yang sangat ia cintai.

"Maaf, Pak. Ada seseorang yang ingin bertemu Anda." Meski tak enak telah mengganggu waktu berharga tuannya, seorang ART tetap harus menyampaikan soal kedatangan tamu ini. Sebab, saat ini nyonya rumah sedang tak ada, pergi ke rumah orang tuanya karena marah.

"Siapa yang berani mengganggu waktu santaiku? Katakan siapa si berengsek itu!" pria yang belum bisa meredakan amarahnya ini berdiri dengan mata terbuka lebar. Dengan kesal membanting ponsel ke ranjang.

"Anu, Pak. Namanya tadi ... Ify."

Hening. Mata lebar itu kini menyipit tajam.

"Mau apa dia kemari malam-malam begini?" gumamnya penasaran. "Apa dia datang dengan Naran?" tanyanya kemudian kepada sang asisten rumah tangga.

"Tidak, Pak. Dia datang sendiri," jawabnya gugup.

"Baik. Suruh dia masuk. Aku penasaran sekali mau apa dia datang ke sini, sendirian pula," titahnya tanpa memandang mata sang ART.

"Ba-baik, Pak."

Wanita separuh baya itu buru-buru berlari. Menuruni anak tangga dan tergesa menuju pintu utama. Tangannya susah payah menarik gagang pintu agar terbuka, sebab terkadang tenaganya tak cukup kuat walau hanya untuk menarik daun pintu.

Ify menyambut dengan raut datar.

"Gimana, apa sekarang saya boleh masuk dan menemui tuan rumah?" tanya Ify menatap lama.

"Iya, silahkan masuk. Bapak akan segera turun, mari ...."

Ify tak membuang waktu. Ia melangkah angkuh masuk ke dalam mengikuti ART itu. Berhenti di ruang tengah dan disuruh untuk menunggu.

Ayah Naran menatap sinis dari lantai atas.

"Berani sekali dia," cibirnya.

Ayah Naran perlahan menuruni anak tangga tanpa melepas pandangannya dari punggung Ify. Ia yakin, wanita itu datang hanya untuk mengemis restunya agar bisa menikahi Naran.

'Jangan bermimpi! Gadis miskin seperti kamu mana bisa hidup di antara kami. Kamu bukan level keluarga ini!' batinnya menolak. Tentu, pada kenyataannya ayah Naran memang tak pernah sudi mempunyai menantu seperti Ify.

"Wah, beraninya kamu datang ke sini. Ada apa? Mau mengemis agar aku memberikan restu pada kalian? Atau ... kamu mau uangku?"

Ify menoleh sinis. Ucapan ayah Naran terdengar seperti penghinaan terhadapnya. Membuat suatu kemarahan dalam dada bergemuruh.

"Saya tidak butuh uang Anda, Pak. Saya ke sini ingin menyampaikan penawaran bagus. Tentu saja ini akan menguntungkan Anda yang gila akan pangkat dan kehormatan. Saya tahu Anda adalah orang yang serakah," balas Ify tak mau kalah. Biar dikata dia miskin, tetapi dirinya tidak bodoh, bahkan kecerdasannya ia pakai untuk merancang ide buruk yang bisa menguntungkannya.