webnovel

Part 3

Amanda's Pov

"Ardi, Sayang. Kangen yaa sama Bunda, anak ganteng bobok siang dulu yaa, Sayang." Ucapku saat bercengkrama dengan Baby Ardi.  Meski masih bayi tapi aku suka sekali mengajaknya berbicara dan lucunya dia selalu membalas ucapanku dengan senyuman. Senyuman yang membuatku begitu nyaman. Bayi mungil yang begitu saja membuatku jatuh cinta. Andai aku bisa mengapdosimu, Nak. Batinku. Tapi aku tidak ingin kamu terluka dengan perlakuan papanya Bunda.

"Sya, kenapa tidak kamu bawa saja Ardi pulang? Sepertinya kalian begitu dekat. Kalau Mbak tidak tahu siapa kalian, pasti akan mengira dia anakmu." Aku seketika memandang Mbak Indah yang ada di sampingku saat ia mengatakan pertanyaan tadi. Mbak Indah dan aku memang sedang berada di taman menjaga anak-anak yang sedang bermain.

"Andai Tasya bisa, Mbak. Tasya akan sangat senang membawa Ardi pulang, tapi Tasya tidak bisa, Mbak.  Keluarga Tasya nggak akan mengijinkan terutama papa Tasya." Di panti ini tidak ada yang tahu kisahku,  dan bagiku tidak perlu semua orang tahu, aku tidak akan suka dipandang dengan pandangan kasian.

"Begitu yaa, Mbak juga sebenarnya sangat ingin membawa Ardi, tapi suami Mbak melarang, bukan karena Mbak atau suami Mbak tidak sayang, tapi takut tidak bisa memberikan yang layak untuknya."

"Mbak,  menurut Tasya sesuatu yang sangat diinginkan seorang anak adalah kasih sayang kedua orang tua, bukan hanya sekedar harta." Karena itu yang aku inginkan saat ini, meski ada mama dan papa mendiang Amar, tapi sebenarnya besar harapanku untuk bisa bersama keluarga kandungku sendiri.

"Tetap saja Tasya, mungkin karena kamu belum pernah jadi seorang Ibu, jadi kamu belum tahu rasanya saat anakmu menginginkan sesuatu tapi kamu tidak mampu membelikannya. Di situ terkadang Mbak merasa belum mampu menjadi seorang Ibu. Meski anakmu terlihat tersenyum saat kamu larang atau saat kamuntidak bisa turuti kemauannya tapi yakinlah Tasya hatinya pasti kecewa."

"Maaf Mbak, bukan maksud Tasya menyinggung, Mbak?" Aku tersenyum kikuk saat Mbak Indah bilang begitu, memang benar aku belum jadi seorang Ibu, tapi aku pasti akan jadi Ibu kan? Dan aku tidak ingin mengecewakan anak-anakku.

"Nggak papa, Tasya. Mbak mengerti kok. Ya sudah sepertinya Ardi sudah tertidur, kamu bawa ke kamar saja kasian."

"Iya Mbak, Tasya duluan ya, Mbak." Segera aku beranjak dari taman belakang dengan Ardi yang berada di gendonganku. Membawa bayi mungil ini ke peraduannya di kamar. Andaikan nanti Allah menjodohkan kamu untuk jadi anakku pasti Bunda akan mendapatkanmu, Nak.

Nail's Pov

Acara hari ini sukses. Alhamdulillah tidak sia-sia semalam mencari materi, jadi tidak membuat malu. Ternyata sesudah acarapun masih banyak yang ingin bertanya padahal Ustaznya sudah pulang, alhasil akulah yang dikejar-kejar, untungnya aku bisa jawab. Hari ini alamat pulang malam dah,  huft baru magang gini amat yaa,  apalagi sudah kerja,  duh bisa diperbudak waktu dan kerjaan kalau begini. Batinku.

Meski kerja halal juga termasuk ibadah bila diniatkan untuk Allah, tapi kalau kerja sampai melalaikan waktu salat amit-amit, jangan sampailah.  Ya walau aku sendiri juga terkadang tidak selalu di awal waktu salatnya. Suka sedih rasanya saat mementingkan dunia dibandingkan Salat fardu lima waktu.

"Nail, hari mau ikut kita-kita nggak?" Celetuk salah satu sahabatku dikampus dan juga magang.

"Ke mana?" tanyaku pada Rasya, meski aku tak ikut tapi tak apalah bertanya.

"Biasalah makan-makan."

"Sepertinya tidak bisa, ini umi sudah chat suruh cepat pulang," tolakku halus.

"Ahh anak umi kamu mah."

"Ya kan aku lahir dari rahim umi, Sya, selagi kita masih punya orang tua lengkap kenapa tidak? Aku hanya berusaha jadi anak yang baik selagi umi dan abiku masih ada Sya. Nggak ada salahnya mengikuti kehendak mereka yang penting tidak melenceng dari agama," jawabku, akan ada masanya kita kelak berpisah dengan orang tua, mungkin menikah bekerja dan lainnya, jadi menurutku saat masih punya kesempatan untuk membahagian orang tua dan berkumpul dengan mereka, tidak ada ruginya.

Tapi sejurus kemudian aku tersadar akan sebuah kenyataan, ya Allah bagaimana aku bisa. "Maaf Sya, aku lupa," kataku selanjutnya saat melihat perubahan raut muka Rasya. Ibu Rasya sudah berpulang kepada Allah setahun lalu, dan aku melupakannya.

"Kamu benar Nail, jangan sampai kamu menyesal sepertiku nantinya," sesalnya penuh kesedihan.

"Maaf Sya, aku tidak bermaksud mengingatkanmu, masih ada ayahmu Sya, meski tidak akan sama dengan adanya kedua orang tua, ayahmu juga orang tuamu sayangi beliau. Temani beliau karena aku yakin beliau ingin sekali berkumpul dengan anak-anaknya apalagi kamu anak satu-satunya. Ayahmu adalah orang yang paling kehilangan Sya, beliau yang biasanya selalu ditemani ibumu saat menunggumu pulang, sekarang ia hanya sendiri di rumah. Tidakkah kamu merindukan beliau? Pulanglah dan temani beliau ngobrol, jangan sampai kamu menyesal untuk kedua kalinya."

"Terima kasih Nail, aku akan pulang, dan membawakan makanan kesukaan beliau." Kulihat senyum kembali tersungging di bibirnya.

"Oke, kalau begitu ayo kita pulang ke rumah, di mana kasih sayang yang sebenarnya selalu menaungi kita." Kurangkul pundaknya untuk menguatkan.

"Senang deh rasanya punya teman yang selalu mengingatkan dalam kebaikan."

"Haha bisa aja kamu Sya, jangan dipujilah takut sombong sama Riya' nantinya, hehehe."

"Pujian itu terkadang melalaikan ya, Nail." Aku tersenyum mendengar argumennya,  memang benar sih kadang kita bisa lupa klau sudah di puji-puji.

"Bener Sya. Karena lima dari enam huruf pujian adalah ujian. Jadi terkadang pujian bisa menjatuhkan kita karena tumbuhnya kesombongan."

"Sipp lah, semoga kita dihindarkan dari hal itu ya, Nail."

"Aamiin."

Kami segera meninggalkan ruangan kantor dan menuju tempat parkir. Ku lihat kedua temanku yang lain sudah menunggu kami.

"Duhh kalian lama amat sih," keluh Dani saat kami baru sampai parkiran.

"Iya nihh, jadi nggak?" tambah Rio

"Aku nggak ikut guys. Umi minta aku pulang cepet," tolakku sama seperti pada Rasya tadi.

"Loe mah gitu, selalu nggak bisa ikut kalau diajak kumpul."

"Bukannya gitu, tapi bagiku titah Ibunda Ratu harus didahulukan selagi masih diberi kesempatan."

"Gue juga nggak bisa, Dan. Gue mau pulang kasihan Bokap sendirian." Alhamdulillah, akhirnya bukan di depanku saja Rasya menolak. Aku yakin ayah Rasya pasti senang mlihat anaknya ada di rumah.

"Dih ketularan Ustaz dia," kata Dani menepuk Rasya, aku hanya tersenyum sebagai balasan ucapan Dani.

"Nggak papa dong ketularan pinter dan salehnya" jawab Rasya santai.

"Mending kita pulang ke rumah, keluarga kita juga ingin kita ngumpul bareng mereka.  Coba aku tanya kapan terakhir ngumpul sama keluarga dan makan bareng?" tanyaku pada mereka dan jawabannya hanya menunduk.

"Kamu kan tahu Nail,  gue ama bokap nggak cocok, dia ingin gue masuk militer kayak dia sedangkan gue nggak suka militer."

"Kasihlah pengertian, aku yakin beliau sudah menerima keputusanmu sekarang ini. Coba aku tanya siapa yang bayar kuliahmu?"

"Bokap."

"Nah itu tandanya beliau sudah menerima keputusanmu, tidak mungkin orang tua yang belum menerima pilihan anaknya, tetap memberikan biaya."

"Itu kan kewajibannya, nyatanya sampai saat ini dia nggak pernah nanya gimana kuliahku? Dan selalu Abang yang dibangga-banggakan, karena menuruti kemauan bokap." Balas Roy dengj berapi, ya Roy memnag sedang bersitegang dengan ayahnya sejak dia masuk kuliah. Sebenarnya aku yakin hanya gengsi yang keduanya tonjolkan sehingga tidak pernah bertemu penyelesaian. Kuhela napas sebelum mengajukan sebuah argument.

"Ada beda pendapat pada ulama tentang nafkah wajib dari orang tua, mayoritas ulama mengatakan nafkah wajib bagi laki-laki sampai dia Baligh dan untuk perempuan sampai dia menikah. Ada pula yang mengatakan tetap wajib sampai si anak memiliki harta untuk mencukupi kehidupannya tinggal kamu mengikuti yang mana Roy? 

"Dan untuk jawaban yang kedua kenapa tidak kamu yang memulai, untuk menghangatkan kembali suasana dengan ayahmu. kalau keduanya sama-sama gengsi ya nggak kelar-kelar.  Setiap orang tua pasti bangga sama anaknya Roy, asal anaknya nggak menyeleweng dari Agama. Mulailah dari sekarang, coba bawakan makanan kesukaan beliau dan ajak beliau ngobrol ceritakan semua yang ada di kampus, sebenarnya Roy beliau ingin di butuhkan.

Beliau ingin kamu sekolah militer bisa jadi kalau seandainya kamu sedang down beliau bisa memberikan masukan karena beliau menguasai militer, sedangkan untuk yang lain beliau tidak terlalu mengusai. Beliau takut kamu tidak membutuhkan bantuannya lagi, cobalah berpikir dari sisi ayahmu." Nasehatku karena dulu aku pun pernah ada pada kondisi bersitegang dengan abi mengenai pilihan.

"Oke lah aku akan coba, thank ya Nail, kalau gitu gue akan pulang," meski sedikit ragu Roy akan melakukannya tapi aku berharap dia benar-benar mencoba berbaikan dengan orang tua.

"Kamu, Dan? Mau tetap jalan?" Tanyaku pada Dani yang sejak tadi berdim diri, sambil menyandar pada mobilnya. Sedangkan Roy kulihat sedang mengusap air matanya, apakah dia menangis?

"Ahhh masakan emak gue keknya bikin lapar, jadi gue pulang ajalah. Thank Nail gue bakal inget terus nasehat lho." Pernyataan Dani mmebuatku sedikit lega.

"Jangan sampai kalian menyesal guys,  cukup gue aja yang pernah ngerasain kehilangan Ibu di saat gue nggak ada di sisinya," sambung Rasya.

"Ibu kita Ibu loe juga Sya, kirim doa tiap selesai Salat, insya Allah, itu akan membantu," ucap Roy, membuatku sedikit melongo?

"Wahh Ustaz baru ni," kelakar Dani.

"Aamiin, Best Friends  Forever,  sampai kesurga ya Guys," ucapku

"Aamiin"

Akhirnya kami pulang kerumah masing-masing, karena rumahlah tempat di mana keluarga kita berada. Rumah dengan berjuta kenangan yang tak bisa tergantikan oleh apapun, canda,  tangis, marah, kesal semua ada,  setiap sudut penuh dengan cerita. Pulanglah karena keluargamu rindu akan keberadaanmu.