webnovel

DEWA

[Mature 21+] Patah hati karena dikhianati sang kekasih membuat Nindi trauma pada hubungan asmara. Bahkan perjuangannya untuk menyembuhkan lukanya terasa begitu sulit. Hingga pada pagi tak terduga, Nindi bertemu dengan Dewa si pria dingin yang menjadi kakak sahabatnya. Kehadiran Dewa seolah obat penawar luka untuk Nindi. Apalagi pria itu tidak sedingin penilaiannya selama ini. Mampukah Nindi benar-benar sembuh dari luka traumanya akan kisah asmara berkat kebersamaannya dengan Dewa? ___________ Cover cangtip by @tiadesign_ on Instagram

dmliza_cess · Thành thị
Không đủ số lượng người đọc
129 Chs

23. Dosbing (Dosen Pembimbing)

"Kok lo tahu?"

"Heboh mah di grup fakultas. Lo aja yang gak pernah nongol. Kudet sih," cibirnya. Aku hanya memutar bola mata. Fia dan ke updetan nya.

"Ganteng loh, Nin. Lihat nih, beruntung lo. Katanya dia dosbing inceran anak-anak jurusan kita. Apalagi yang cewek-cewek genit kayak Risa. Beuh, masuk koleksi cogannya ini mah."

Aku tertawa mendengarnya menyebut kelakuan Risa. Fia menyodorkan ponselnya ke depan wajahku. Melihat sekilas foto dosen yang akan menjadi pembimbing proposal dan skripsi ku.

"Lumayan."

Fia mendelik tidak suka ke arahku. "Lumayan mata lo."

"Apaan?" tanyaku.

"Ini tuh ganteng bingits, Nin."

"Gantengan laki gue," ucapku memeletkan lidah ke arah Fia.

Kami sudah sampai di depan ruang dosen. Melihat banyaknya mahasiswa yang duduk di kursi tunggu di sebelah pintu membuatku menghembuskan napas kasar. Pasti membosankan, batinku.

"Itu gak masuk itungan. Laki lo mah gantengnya kebangetan. Koleksi cogan Risa lewat dibandingin sama laki lo."

Kami tertawa. Menertawakan Risa lagi-lagi yang terkena ujungnya.

"Sialan lo berdua! Nyeritain cogan-cogan gue."

Eh?

***

Setelah kejadian di depan ruang dosen tadi, di mana aku dan Fia tercyduk sedang menceritakan cogan-cogannya, Risa mulai berceloteh. Menuduh aku dan dan Fia itu tukang julid. Ck. Risa dan kesensitifannya terhadap para cogan.

Saat ini kami sedang berada di kantin fakultas. Kebetulan sudah masuk waktu makan siang dan antrian di depan ruang dosen bukannya berkurang, malah semakin bertambah mahasiswa yang nangkring di sana. Aku menggeleng tidak yakin semisal bisa bimbingan hari ini. Makanya aku mengalah dan memilih mendekam di kantin bersama Fia dan Risa.

"Pembimbing lo siapa, Ris?"

Risa yang sedang sibuk live di Instagram mencoba menyapa para fans cogannya terpaksa terurungkan mendengar pertanyaan Fia.

"Pak Edo."

"Serius, Ris? Samaan dong sama gue." Aku spontan berkata demikian. Merasa senang juga bisa mendapatkan dosbing yang sama dengan salah satu sahabatku.

"Gue tahu udah dari 2 hari lalu sih. Gak sengaja kelihat map lo pas gue di jurusan mau ambil map gue. Intip sikit. Eh, sumringah. Dapet dosbing sesama Pak Edo," kekehnya kelewat semangat. Lupa kalau dirinya masih terhubung dengan dunia maya.

Fia mendengkus sebal. Pasalnya dia juga menginginkan dosbing yang sama dengan kami. Namun urung, karena dosbingnya Buk Hasna. Dosen senior yang perfect nya Allahuakbar.

"Cian deh lo gak samaan sama kita." Risa tertawa puas melihat raut kesal yang kentara di wajah Fia.

"Nasib gue emang sadis!" dongkol Fia setengah menggerutu sambil meminum jus lemon tea nya.

"Eh, Tika sama Amel gak kampus? Tumben banget."

Risa mengangkat bahunya acuh mendengar Fia bertanya. "Nah, ini nih yang barusan lo tanya, Fi. Nongol di penonton siaran gue." Dan Risa mulai heboh dengan dunia mayanya.

"Mel, Tik, lo ditanyain Fia ini. Katanya rindu."

Aku geleng-geleng kepala melihat kelakuan Risa. "Tuh, Fi. Kata Amel jangan rindu. Berat. Biar Dilan aja."

Aku tertawa. Seperti inilah Risa. Teman sudah dongkol malah ditambah memperburuk suasana hatinya. Fia hanya mengusap dadanya dengan dramatis.

***

"Mas,"

Dewa baru saja memasuki kamar. Aku yang kebetulan selesai mandi dan masih menggunakan handuk yang melilit ditubuhku segera mendekat ke arahnya. Mengambil alih tas kerja dan membuka simpul dasinya. Perlahan jemari lentikku membuka satu persatu kancing kemeja kerjanya. Dewa kelihatan sangat lelah.

"Wangi," ucapnya saat kancing kemejanya sudah berhasil kulepaskan. Dia memelukku sambil menciumi wajah dan leherku bertubi-tubi.

"Mau aku pijitin?" tawarku.

"Mas mandi dulu ya. Baru dipijit plus-plus," ucapnya lagi sambil mengedipkan sebelah matanya dengan jenaka ke arahku.

Aku sontak saja tertawa. "Eh, pesanan aku tadi mana, Mas?"